Keutamaan Kaum Hawa di Mata Islam
Oleh Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan) Unisba
DALAM setiap hela nafas kehidupan, Islam hadir sebagai cahaya yang membimbing umat manusia menuju keadilan, keseimbangan, dan harmoni. Ketika malam kegelapan menyelimuti zaman, dan perempuan dirundung kesewenang-wenangan patriarki yang tak bertepi, Islam hadir mengangkat harkat dan martabat mereka. Ia menjadi lentera yang tak hanya menerangi jalan tetapi menanamkan pondasi keadilan yang kokoh, mendobrak tradisi zalim, dan menempatkan perempuan dalam posisi yang agung sebagai manusia yang memiliki hak, kehormatan, dan keutamaan.
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 124)
Ayat ini adalah deklarasi agung yang memadamkan keraguan, menepis prasangka, dan menegaskan bahwa keimanan dan amal adalah ukuran nilai manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Di hadapan Allah, perempuan berdiri sejajar dengan laki-laki, bukan sebagai pelengkap tetapi sebagai mitra dalam perjalanan menuju ridha-Nya.
Islam memberikan perempuan hak yang tidak hanya melindungi mereka tetapi juga memberdayakan. Ketika masyarakat jahiliah mengubur bayi perempuan hidup-hidup, menganggap mereka sebagai aib, Islam datang membalikkan paradigma itu. Firman Allah SWT:
وَإِذَا ٱلْمَوْءُۥدَةُ سُئِلَتْبِأَىِّ ذَنۢبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (QS. At-Takwir: 8-9)
Dengan tegas, Islam mengutuk perbuatan biadab ini dan mengembalikan kemuliaan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat.
Tidak hanya itu, Islam juga mengangkat perempuan sebagai pribadi mandiri yang berhak atas pendidikan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
*طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim (laki-laki dan perempuan).” (HR. Ibnu Majah)
Melalui ajaran ini, Islam membuka pintu ilmu tanpa batas, melibatkan perempuan dalam ranah intelektual, sosial, dan spiritual. Contoh agung ini tergambar dalam kehidupan Aisyah RA, yang menjadi salah satu perawi hadis terbesar dan tokoh ilmu fiqih.
Dalam aspek ekonomi, Islam memberikan hak yang selama berabad-abad dinafikan. Perempuan berhak atas harta, warisan, dan kebebasan mengelolanya. Allah SWT berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa: 7)
Sistem ini menunjukkan keadilan yang dinamis, di mana pembagian harta warisan didasarkan pada tanggung jawab sosial masing-masing pihak, bukan diskriminasi gender.
Islam juga menempatkan perempuan dalam kedudukan tinggi sebagai ibu. Rasulullah SAW bersabda:
الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ
“Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menjadi refleksi bahwa peran perempuan dalam membangun generasi yang saleh adalah amal besar yang membawa kemuliaan dunia dan akhirat.
Namun, ajaran Islam tidak membatasi perempuan hanya di ranah domestik. Perempuan seperti Khadijah RA, seorang pengusaha sukses, dan Nusaybah binti Ka’ab, yang berani melindungi Rasulullah di medan perang, menunjukkan bahwa Islam mendukung perempuan untuk berperan aktif di ranah publik, selama tetap menjaga nilai-nilai agama.
Keseluruhan ini menunjukkan bahwa Islam adalah sistem yang tidak hanya membela perempuan dari kedzaliman, tetapi juga memuliakan mereka dengan hak-hak yang seimbang, sesuai fitrah, dan selaras dengan nilai-nilai keadilan ilahiah.
Dalam lembaran sejarah, peradaban Barat pernah mencatatkan fase-fase kelam dalam perlakuannya terhadap perempuan. Meski di masa modern Barat kerap menuduh Islam sebagai agama yang menindas perempuan, kenyataan sejarahnya menunjukkan bahwa Barat merendahkan perempuan hingga ke titik yang paling hina, sebelum era kebangkitan hak asasi manusia.
Dalam masa Yunani Kuno, perempuan dipandang sebagai sekadar pelengkap hidup laki-laki. Ada filosof yang menyebut perempuan sebagai “pria yang tidak sempurna,” sebuah pernyataan yang mengungkapkan ketimpangan pandangan pada masa itu. Perempuan tidak diberi hak dalam ruang publik, bahkan dalam rumah tangga mereka seringkali menjadi objek, bukan subjek yang memiliki suara.
Di masa Kekaisaran Romawi, status perempuan hanya sedikit lebih baik. Mereka sering kali dianggap sebagai barang milik suami, tanpa hak atas warisan, kepemilikan harta, atau bahkan pengambilan keputusan pribadi. Perempuan yang menikah kehilangan banyak hak hukum mereka dan sepenuhnya bergantung pada suami.
Dalam era dominasi lembaga agama abad pertengahan Eropa, posisi perempuan semakin tertekan. Bahkan dalam lembaga agama ada perdebatan apakah perempuan memiliki jiwa, sebuah wacana yang absurd namun nyata pernah terjadi. Perempuan dianggap sebagai sumber dosa, mengikuti ajaran bahwa Hawa (Eva)-lah yang menggoda Adam untuk melanggar perintah Tuhan. Narasi ini menjadi justifikasi untuk menyingkirkan perempuan dari kehidupan intelektual, politik, dan ekonomi.
Bahkan hingga era Renaisans yang dianggap sebagai titik pencerahan di Barat, perempuan tetap terkurung dalam peran domestik. Karya seni dan sastra pada masa itu sering menggambarkan perempuan sebagai objek estetika belaka, bukan sebagai pribadi yang memiliki kebebasan dan intelektualitas.
Barulah pada abad ke-18 dan 19, di Barat gerakan feminisme muncul didorong oleh ketidakadilan yang begitu mendalam terhadap perempuan. Perempuan di Barat akhirnya memperjuangkan hak dasar mereka, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, dan suara dalam politik. Namun, perjuangan ini memakan waktu berabad-abad, dan hingga kini masih banyak aspek ketimpangan yang belum sepenuhnya hilang.
Kontradiksi pun muncul di masa modern, ketika peradaban materialistik dengan gagah mengklaim pembelaan atas hak perempuan. Dalam realitasnya, budaya konsumerisme dan hedonisme yang merebak di sana justru sering menjadikan perempuan sebagai komoditas. Perempuan sering kali dieksploitasi melalui industri media, hiburan, dan periklanan sehingga tubuh mereka dianggap sebagai alat pemasaran yang dikomodifikasi untuk keuntungan ekonomi.
Pandangan Islam terhadap perempuan kontras dengan semua ini. Islam tidak hanya memberikan hak yang adil kepada perempuan, tetapi juga menjaga kehormatan mereka dari eksploitasi. Firman Allah SWT:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍۢ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sungguh, telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra: 70)
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa penghormatan terhadap manusia, termasuk perempuan, adalah bagian dari fitrah yang diberikan kepada seluruh umat manusia. Islam tidak pernah menempatkan perempuan sebagai objek, tetapi sebagai makhluk mulia yang memiliki peran, hak, dan tanggung jawab.
Peradaban materialis baik ateis, kapitalis, sosialis, sekular dan liberal dalam banyak aspek masih berjuang untuk mengimbangi keadilan yang telah Islam tawarkan lebih dari 14 abad lalu. Sementara itu, Islam tidak hanya memberikan perempuan hak formal, tetapi juga menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam harmoni yang menghormati fitrah manusia.
Islam, dalam kesempurnaannya, tidak hanya mengakui keberadaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang setara di hadapan Allah, tetapi juga sering menyandingkan keduanya dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Penyandingan ini menjadi bukti nyata bahwa keimanan, amal kebaikan, dan ganjaran dari Allah tidak dibatasi oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kualitas ketakwaan dan amal perbuatan.
Salah satu ayat yang secara gamblang menyandingkan laki-laki dan perempuan terdapat dalam firman Allah SWT:
إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّآئِمِينَ وَٱلصَّآئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةًۭ وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki yang berserah diri (muslim) dan perempuan yang berserah diri, laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki yang benar dan perempuan yang benar, laki-laki yang sabar dan perempuan yang sabar, laki-laki yang khusyuk dan perempuan yang khusyuk, laki-laki yang bersedekah dan perempuan yang bersedekah, laki-laki yang berpuasa dan perempuan yang berpuasa, laki-laki yang memelihara kehormatannya dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki yang banyak menyebut Allah dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)
Ayat ini adalah representasi kesetaraan yang indah dalam Islam, di mana setiap sifat dan amal kebaikan disebutkan secara berimbang antara laki-laki dan perempuan. Penyandingan ini bukan sekadar gaya bahasa, melainkan deklarasi bahwa perempuan memiliki hak dan peluang yang sama untuk meraih kemuliaan di sisi Allah.
Demikian pula, dalam firman Allah SWT yang lain:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةًۭ ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ayat ini menegaskan bahwa amal kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun, tanpa memandang jenis kelamin, akan mendapatkan ganjaran kehidupan yang baik dan keberkahan yang abadi. Perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Keselarasan ini juga tergambar dalam surah At-Taubah:
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍۢ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah: 71)
Ayat ini menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam sebagai mitra sejati dalam menjalankan tugas amar makruf nahi mungkar. Kesetaraan ini tidak hanya bermakna hak, tetapi juga tanggung jawab yang berimbang dalam menegakkan nilai-nilai Islam.
Melalui ayat-ayat ini, Islam memperlihatkan bagaimana laki-laki dan perempuan disandingkan dalam kesetaraan hakikat dan tanggung jawab di hadapan Allah, sekaligus menepis tuduhan bahwa Islam merendahkan perempuan. Kesetaraan ini bukan konstruksi sosial, melainkan ketetapan ilahi yang melampaui ruang dan waktu.
Ya Allah, Engkau yang Maha Adil dan Maha Penyayang, ajarkan kami untuk memahami hikmah agung di balik syariat-Mu yang penuh rahmat. Jadikan hati kami lapang untuk melihat keindahan keadilan-Mu yang memuliakan hamba-Mu, baik laki-laki maupun perempuan. Karuniakan kepada kami kekuatan untuk menjaga amanah-Mu, membela mereka yang lemah, dan menegakkan nilai-nilai kebenaran-Mu.
Ya Rabb, jadikan kami hamba yang senantiasa menempatkan perempuan dalam kemuliaan yang telah Engkau tetapkan. Bimbing kami agar terus berjuang di jalan-Mu, menegakkan cahaya Islam di atas segala gelap yang mencoba menyelimutinya.
رَبَّنَآ أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, dan wafatkanlah kami dalam keadaan Muslim.” (QS. Al-A’raf: 126) — (ADS)