Opini

Menelusuri Azab dan Musibah

Oleh Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

DALAM perjalanan hidup manusia, derita dan ujian kerap menjadi bagian dari skenario kehidupan. Namun, di balik setiap kejadian yang tampak menyakitkan, tersembunyi pesan yang dalam. Dua istilah yang sering kali bersinggungan dalam pengalaman ini adalah adzab dan musibah. Meski keduanya tampak serupa, kedalaman maknanya menyimpan perbedaan yang hakiki. Mari kita selami hakikat masing-masing dengan hati yang terbuka, nalar yang jernih, dan kesadaran yang mendalam.

Adzab adalah wujud ketegasan Allah terhadap manusia yang melampaui batas, menolak kebenaran, dan terus-menerus mengingkari seruan-Nya. Ia bukan sekadar penderitaan fisik, melainkan balasan atas kesombongan hati yang menutup pintu hidayah.

Allah berfirman:

فَكُلًّا أَخَذۡنَا بِذَنۢبِهِۦۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ أَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِ حَاصِبٗا وَمِنۡهُم مَّنۡ أَخَذَتۡهُ ٱلصَّيۡحَةُ وَمِنۡهُم مَّنۡ خَسَفۡنَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ وَمِنۡهُم مَّنۡ أَغۡرَقۡنَاۚ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang Kami kirimkan hujan batu, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada yang Kami tenggelamkan.”  (Q.S. Al-Ankabut: 40)

Adzab sering kali bersifat kolektif, menimpa kaum yang menentang risalah para nabi. Kaum ‘Ad yang ditimpa badai dahsyat, kaum Luth yang dihujani batu dari langit, dan Fir’aun yang tenggelam di laut, semuanya menjadi saksi abadi atas ketegasan Allah terhadap kezaliman. Adzab mengandung pesan moral yang tajam: bahwa keadilan Allah tidak pernah absen, dan kezaliman takkan dibiarkan tanpa balasan.

Berbeda dengan adzab, musibah adalah ujian yang Allah berikan kepada hamba-Nya, baik yang taat maupun ingkar. Musibah adalah cara Allah menyentuh hati manusia, menyadarkan mereka akan kelemahan diri, dan mengarahkan pandangan mereka kembali kepada-Nya.

Allah berfirman:

مَاۤ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (Q.S. At-Taghabun: 11)

Musibah adalah arena pembelajaran spiritual. Ketika hati dipenuhi kesabaran, musibah menjadi sarana penghapusan dosa dan peningkatan derajat di sisi Allah. Ketika musibah datang, Allah sesungguhnya sedang membimbing hamba-Nya menuju pemurnian jiwa.

Adzab dan musibah memiliki tujuan yang jelas, meskipun keduanya sama-sama berupa penderitaan.

– Adzab hadir sebagai bentuk keadilan dan balasan atas dosa-dosa. Ia memperlihatkan ketegasan Allah, mengingatkan generasi berikutnya, dan menegaskan kebenaran risalah para nabi.

– Musibah, di sisi lain, adalah ujian yang menguji keimanan, menyucikan hati, dan mengarahkan manusia kepada refleksi mendalam tentang kehidupan.

See also  Eksplorasi Kerjasama Ekonomi Indonesia dan Somalia dalam Industri Tekstil

Allah berfirman:

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ

“Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”  (Q.S. Al-Baqarah: 155)

Manusia merespons adzab dan musibah dengan cara yang berbeda.

– Terhadap adzab, manusia sering kali tak lagi diberi kesempatan untuk bertobat, sebab adzab datang setelah semua peringatan diabaikan.

– Terhadap musibah, manusia diberi ruang untuk meresapi, menyadari kekeliruannya, dan memperbaiki diri. Bagi orang beriman, musibah adalah pengingat bahwa dunia ini fana dan penuh ujian.

Adzab tidak turun tanpa sebab. Ia adalah akibat dari kezaliman manusia terhadap dirinya sendiri, masyarakatnya, bahkan terhadap alam yang diamanahkan kepadanya. Ketika manusia menentang hukum-Nya, enggan mendengar peringatan para rasul, dan terus berkubang dalam dosa, maka sunnatullah berlaku: peringatan berubah menjadi adzab.

Dalam sejarah umat terdahulu, adzab hadir dengan bentuk yang nyata dan dahsyat. Kaum ‘Ad dihancurkan oleh angin yang sangat dingin dan kencang selama tujuh malam delapan hari, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا۟ بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ۝سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَٰنِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا

“Adapun kaum ‘Ad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah tundukkan atas mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus.” (Q.S. Al-Haqqah: 6-7)

Kaum Lut pun tidak luput dari ketetapan-Nya. Ketika moralitas mereka melampaui batas, bumi di bawah mereka dibalikkan, dan hujan batu belerang dari langit memusnahkan mereka. Allah berfirman:

فَجَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةًۭ مِّن سِجِّيلٍۭ مَّنضُودٍ

“Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (Q.S. Hud: 82)

Adzab adalah pesan dari langit, bukan hanya untuk menegur, tetapi juga untuk mengingatkan manusia tentang jalan yang benar. Namun, respons manusia terhadap adzab mencerminkan berbagai tingkat keimanan dan pemahaman.

  1. Mereka yang mengingkari dan nenolak

Golongan pertama adalah mereka yang memandang adzab sebagai mitos atau kejadian alamiah semata. Mereka menolak untuk melihat keterlibatan Allah dalam peristiwa tersebut dan bahkan menganggapnya tidak relevan dengan dosa-dosa mereka.

وَإِذَا مَسَّ ٱلۡإِنسَٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلۡنَٰهُ نِعۡمَةً مِّنَّا قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمِۭ بَلۡ هِيَ فِتۡنَةٞ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ

See also  Rakyat Dibayangi Pertanyaan: Mungkinkah Komunisme-PKI Bangkit Kembali?

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami; kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, dia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S. Az-Zumar: 49)

Mereka hidup dalam ilusi, menganggap dirinya independen dari kehendak Ilahi. Dalam hati mereka, tidak ada ruang untuk introspeksi atau rasa takut kepada Allah.

  1. Mereka yang tenggelam dalam keputusasaan

Adzab bagi kelompok ini menjadi alasan untuk menyerah dan merasa kehilangan harapan. Ketika bencana menimpa, mereka terbenam dalam kesedihan dan melihatnya sebagai akhir segalanya. Mereka lupa bahwa rahmat Allah selalu lebih besar daripada murka-Nya.

إِنَّهُۥ لَا يَاْيۡـَٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (Q.S. Yusuf: 87)

Keputusasaan ini adalah jebakan setan yang membutakan mereka dari rahmat dan hikmah yang terkandung dalam setiap ujian.

  1. Mereka yang menjadikan adzab sebagai bahan olokan

Golongan ini lebih buruk daripada pengingkar. Mereka tidak hanya menolak pesan adzab, tetapi juga menjadikannya bahan ejekan. Mereka memandang rendah peringatan Ilahi dan menantang adzab dengan kesombongan.

وَإِذَا عَلِمَ مِنۡ ءَايَٰتِنَا شَيۡـٔٗا ٱتَّخَذَهَا هُزُوٗاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ

“Dan apabila dia mengetahui sesuatu dari ayat-ayat Kami, dia menjadikannya bahan ejekan. Mereka itulah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 9)

Kesombongan mereka menghalangi hati dari kebenaran. Bahkan ketika tanda-tanda adzab telah nyata, mereka tetap berpaling dan meremehkan.

  1. Mereka yang takut tetapi belum beranjak memperbaiki diri

Kelompok ini sadar bahwa adzab adalah peringatan, tetapi mereka hanya berhenti pada rasa takut tanpa tindak lanjut. Adzab membangkitkan kegelisahan dalam diri mereka, tetapi tidak cukup untuk menggerakkan hati menuju perubahan sejati.

Allah mengingatkan golongan ini dalam firman-Nya:

وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُ فَذُوقُوا۟ فَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍۢ

“Dan telah datang kepadamu pemberi peringatan, maka rasakanlah (adzab ini). Maka bagi orang-orang yang zalim tidak ada seorang penolong pun.” (Q.S. As-Sajdah: 14)

Rasa takut yang tidak menghasilkan tindakan adalah kelemahan yang akhirnya membawa pada kelalaian baru.

  1. Mereka yang menjadikan adzab sebagai jalan taubat

Ini adalah golongan yang memahami adzab sebagai peringatan peringatan penuh kasih. Mereka merespons dengan introspeksi, taubat, dan peningkatan kualitas hidup. Adzab menjadi momen refleksi yang membimbing mereka kembali kepada Allah.

See also  Melalui Nahwu, Sharaf, dan Balaghah Terbukalah Ilmu

فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلصَّيۡحَةُ أُخِذُوا۟ هُمۡ يَنظُرُونَ ۝ فَمَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُمۡ مَّا كَانُوا۟ يُمَتِّعُونَ

“Maka ketika datang suara keras yang mengguntur kepada mereka, mereka pun mati bergelimpangan di tempat tinggal mereka. Maka sekali-kali tidak bermanfaat bagi mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Hijr: 83-84)

Namun, bagi mereka yang beriman, musibah adalah jalan untuk mendekat kepada-Nya, sebagaimana firman Allah:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)

Bagi yang beriman, adzab adalah ujian, bukan akhir. Ia adalah kesempatan untuk introspeksi, kembali kepada-Nya dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini fana.

Rasulullah SAW bersabda:

“Ketika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka.” (H.R. Tirmidzi)

Di masa kini, meskipun bentuk adzab tidak lagi supernatural seperti zaman para nabi, kita tetap menyaksikan bencana, kemelut sosial, dan kehancuran moral yang berulang. Semua itu mengingatkan bahwa sunnatullah tetap berlaku. Ketika keserakahan menguasai hati, keadilan dipinggirkan, dan manusia berpaling dari Allah, maka bencana hadir sebagai pengingat.

Firman Allah:

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍۢ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri; dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.S. Asy-Syura: 30)

Dalam refleksi ini, terbesit sebuah kesadaran bahwa penderitaan dan adzab dunia bukan sekadar hukuman, tetapi juga rahmat yang tersembunyi. Ia mengajarkan bahwa setiap dosa membawa konsekuensi, setiap kesalahan meminta pertanggungjawaban. Tetapi Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan pintu taubat selalu terbuka.

Adzab adalah peringatan terakhir dari Allah yang memperlihatkan keadilan-Nya. Sedangkan musibah adalah bentuk kasih sayang Allah yang terselubung, membawa hikmah mendalam bagi mereka yang merenungi. Dalam musibah terdapat harapan, dalam adzab terdapat pelajaran. Maka, setiap peristiwa yang menimpa hendaknya menjadi sarana introspeksi bagi manusia untuk kembali pada fitrah ketaatan.

Setiap manusia akan diuji dengan adzab atau musibah dalam berbagai bentuk. Namun, yang membedakan adalah bagaimana mereka menyikapi peringatan tersebut. Dalam renungan ini, terlihat bahwa adzab sejatinya adalah cerminan kondisi hati manusia:  Apakah ia tunduk pada kebenaran atau tertutup oleh kesombongan?  Apakah ia takut dan menyerah, atau justru bangkit untuk memperbaiki diri?(ADS)

Show More

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button