Opini

Pasrah: Ikhlas yang Tak Menuntut

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

ADA saatnya manusia sampai pada tepi segala daya, ketika segala rencana telah diupayakan, setiap langkah telah ditempuh, dan lidah tak henti-henti berdoa, namun kenyataan tetap bersikukuh berjalan di luar kehendak. Pada saat seperti itulah, pasrah bukan lagi sekadar sikap, melainkan jalan pulang—kepada yang Maha Mengatur, kepada yang tahu detak yang belum berdetak, kepada yang menggenggam segala takdir.

Pasrah bukanlah menyerah yang kering dan hampa, melainkan penyerahan yang lembut namun kukuh. Ia lahir dari kedalaman jiwa yang menyadari bahwa manusia hanyalah satu titik kecil di antara luasnya semesta. Bahwa sekeras apa pun usaha dan secerdas apa pun akal tetap ada ruang yang tak dapat dijangkau oleh tangan manusia. Di sanalah pasrah menjelma menjadi bentuk paling murni dari kebijaksanaan—mengetahui kapan berusaha dan kapan membiarkan Allah mengambil alih.

Dalam keheningan batin, pasrah adalah bisikan yang berkata: “Aku telah mencoba, kini aku serahkan hasilnya kepada-Mu.” Kalimat yang sederhana, namun mengandung kekuatan yang tak terlihat. Sebab orang yang pasrah bukanlah orang yang berhenti berjuang, melainkan orang yang telah berjuang dengan sepenuh jiwa lalu berdamai dengan apa pun hasilnya.

Pasrah bukanlah pintu keluar dari tanggung jawab, melainkan pintu masuk ke dalam penghambaan yang tulus. Ia mengajari manusia tentang keterbatasan tanpa membuatnya rendah diri, tentang harapan tanpa membuatnya terjebak dalam ilusi. Dalam pasrah, ada ikhlas yang tak menuntut, ada tenang yang tak rapuh, ada cinta yang tak bersyarat kepada takdir yang datang—meski tak selalu sesuai rencana.

Dan di dalam kehidupan yang penuh gelombang ini, pasrah adalah perahu kecil yang membuat hati tetap mengapung, tak karam oleh kecewa, tak tenggelam oleh kehilangan. Ia membentuk cara pandang yang luas—melihat bahwa hidup bukan hanya tentang menang dan kalah tetapi tentang bagaimana tetap berpegang pada kepercayaan bahwa semua yang terjadi, terjadi bukan tanpa alasan.

See also  Berbagai Pendustaan Kebenaran

Dalam kerja, dalam cinta, dalam duka, dalam segala rupa peristiwa yang mewarnai hidup, pasrah hadir sebagai pelengkap dari ikhtiar. Ia adalah akhir dari upaya, sekaligus awal dari penerimaan. Dan di sana, diam-diam, tumbuhlah sejenis damai yang tak dapat dijelaskan oleh logika, hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang telah belajar percaya.

Pasrah, pada akhirnya, bukan berarti lemah. Ia adalah kekuatan paling dalam, ketika manusia memilih untuk tidak melawan arus yang tak mampu ia ubah, namun tetap teguh mengayuh di antara gelombang, dengan hati yang lapang dan pikiran yang jernih, karena tahu: ada tangan yang lebih bijak tengah menuntun ke arah yang terbaik.

“وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ”
“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 3)

Ayat ini mengandung makna yang agung: bahwa pasrah dalam bentuk tawakkal adalah pengakuan total terhadap cukupnya Allah sebagai penolong. Bukan hanya dalam perkara besar, bahkan dalam hal-hal kecil yang seringkali luput dari perhatian. Tawakkal—yang menjadi ruh dari pasrah—adalah penyerahan yang dilandasi oleh kepercayaan, bukan keputusasaan.

Dalam pasrah, ada pertemuan antara ikhtiar manusia dan kehendak Ilahi. Allah tidak menuntut hasil dari usaha kita, tapi menilai kesungguhan dan keikhlasan niat. Maka ketika hasil tak seperti harapan, pasrah menjadi jembatan menuju ridha—ridha kepada Allah, dan ridha kepada diri sendiri atas segala batas.

“عَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ”
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)

Makna ayat ini menampar keakuan manusia yang sering mendikte takdir. Di sinilah pasrah menemukan pijakannya—pada pengakuan bahwa ilmu manusia terbatas. Ada kebaikan tersembunyi dalam musibah, ada bahaya dalam kenikmatan yang tampak. Maka pasrah adalah cara untuk tetap melihat cahaya, meski dalam kegelapan, karena yakin bahwa Allah tak pernah mengatur sesuatu tanpa hikmah.

See also  Menyelami Taqiyyan, Ghaniyyan, dan Khafiyyan  

Pasrah juga menuntun jiwa untuk tidak tergesa-gesa dalam menilai keadaan. Dalam penantian, sering kali Allah mendidik sabar dan menyuburkan doa. Bukankah dalam kesabaran itu sendiri ada jalan pembuka segala pintu?

“فَصَبْرٌۭ جَمِيلٌۭ ۖ وَٱللَّهُ ٱلْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ”
“Maka kesabaran yang indah itulah (kesabaranku); dan kepada Allah saja tempat memohon pertolongan atas apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)

Kesabaran yang indah, menurut Ibnu Qayyim, adalah sabar yang tidak disertai keluhan kepada makhluk. Di sinilah pasrah menjadi laku batin yang anggun—ia tidak berisik, tidak menggugat, namun mengalir seperti air yang tetap jernih meski melintasi bebatuan.

Dan ketika pasrah telah menjadi bagian dari cara berpikir, cara merasa, dan cara hidup, manusia akan merasakan bahwa hidupnya lebih lapang. Bukan karena beban berkurang, tapi karena hati tidak lagi menolak apa yang datang. Bahkan luka pun bisa menjadi pelajaran, dan air mata menjadi penyubur iman.

“إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا”
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”(QS. Al-Insyirah: 6)

Ini adalah janji yang tidak akan pernah diingkari. Bahwa tak ada satu pun kesulitan yang hadir sendirian—ia selalu ditemani kemudahan, entah sebelum atau sesudahnya. Maka pasrah bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan menuju penyembuhan, menuju ketenangan, menuju kemenangan yang hakiki.

Dan ketika hati telah pasrah, doa menjadi lebih bening, harapan lebih tulus, dan langkah lebih ringan. Manusia tidak lagi terlalu takut kehilangan, karena tahu bahwa apa pun yang hilang bukanlah miliknya sejak semula. Ia pun lebih bersyukur atas yang masih dimiliki, karena sadar bahwa setiap nikmat adalah titipan yang bisa diambil kapan saja.

See also  Hikmah Hadirnya Malam Lailatul Qadar di Akhir Bulan Ramadlan

Bila engkau hari ini merasa lelah, dan merasa bahwa semua usaha telah buntu, mungkin inilah saatnya engkau membaringkan hatimu di pangkuan takdir, dengan penuh pasrah. Bukan untuk berhenti, tetapi untuk percaya bahwa tangan-tangan tak terlihat sedang menata hidupmu ke arah yang lebih baik, meski jalan itu belum tampak olehmu saat ini.*

Ya Allah,
yang menggenggam seluruh urusan langit dan bumi,
aku datang dalam sujud yang letih namun penuh harap,
membawa hati yang tak lagi tahu harus ke mana,
kecuali kepada-Mu, satu-satunya tempat pulang yang tak pernah menolak.

Engkau tahu betapa aku telah berusaha,
dengan segenap daya, segenap doa, segenap luka.
Namun apa yang kugenggam tak selalu menetap,
dan apa yang kukejar tak selalu kudapat.
Maka di sini, aku berserah, bukan karena lelah,
tapi karena tahu, kehendak-Mu jauh lebih indah dari segala rencanaku.

Ya Rabbi,
jika langkahku salah, luruskanlah.
Jika jalanku gelap, terangilah.
Jika hatiku goyah, kuatkanlah.
Dan jika aku terlalu mencintai dunia, genggamlah aku agar tak tenggelam di dalamnya.

Tuhanku,
ajarkan aku untuk ikhlas,
untuk mencintai takdir-Mu sebagaimana aku mencintai impianku.
Ajarkan aku sabar,
untuk menunggu waktu-Mu dengan tenang, bukan dengan gelisah.

Bila apa yang kuinginkan bukan yang terbaik menurut-Mu,
maka cabutlah tanpa meninggalkan luka yang menganga.
Gantilah dengan yang lebih Engkau ridhai,
meski tak selalu aku pahami maksudnya.

Ya Allah,
jadikan pasrahku ini bukan bentuk keputusasaan,
tetapi jalan untuk lebih mengenal-Mu,
lebih dekat, lebih tenang, lebih tunduk.
Karena Engkaulah sebaik-baik Pengatur,
sebaik-baik Penentu,
dan sebaik-baik Penjaga harapan yang kusimpan dalam diam.

Aamiin ya Mujibas-sa’ilin,
ya Raufan bi ‘Ibadih,
ya Latifan bi Khalkih. (ADS)

Show More

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button