Opini

Rahasia Keberhasilan Dakwah pada Dimensi Hikmah

Dr. Kiki Zakiah Darmawan, M.Si (dosen Fikom Unisba)

SECARA umum hikmah dipelajari dalam beberapa dimensi. Pertama, dimensi teologis. Dakwah dengan hikmah berarti meneladani metode Rasulullah ﷺ. Tujuannya bukan hanya menyampaikan informasi tetapi juga menyentuh hati dan mengubah perilaku.

Kedua, dimensi psikologis. Di sini Hikmah menuntut pemahaman karakter, kebutuhan, dan kondisi psikologis sasaran dakwah. Misalnya, ada perbedaan  cara menasihati anak muda yang kritis dibanding dengan orang tua yang konservatif.

Ketiga, dimensi komunikasi. Hikmah identik dengan communication skill, yakni kemampuan memilih bahasa, nada, dan media yang sesuai dengan audience. Dakwah yang hikmah tidak menimbulkan resistensi tetapi membuka ruang dialog yang kompromis..

Keempat, dimensi sosial-budaya. Di sini hikmah mengajarkan dakwah harus sensitif terhadap budaya lokal. Contohnya sejarah penyebaran Islam oleh  Walisongo. Mereka  berdakwah dengan hikmah melalui wayang, gamelan, dan budaya Jawa, bukan dengan konfrontasi langsung dengan masyarakat yang sebelumnya sudah lekat dengan budayanya.

Kita semua dilatih agar mampu mengaplikasikan hikmah dalam berbagai bidang.  Misalnya, hikmah dalam dakwah digital, yakni menyampaikan pesan Islami di media sosial dengan bahasa yang ramah, visual menarik, dan tidak provokatif, apalagi mengandung unsur hoaks atau hate speech. Hikmah dalam dakwah multikultural bentuknya menghargai keragaman budaya, suku, bahkan agama di Indonesia dalam menyampaikan nilai-nilai Islam. Hikmah dalam dakwah tematik bentuknya menggunakan pendekatan yang bijak saat membicarakan isu sensitif seperti gender, toleransi, atau radikalisme.

Mau‘izhah Hasanah

Secara bahasa, mau‘izhah berarti nasihat atau peringatan, sedangkan hasanah berarti baik. Dengan demikian istilah mau‘izhah hasanah dapat diartikan sebagai nasihat atau ajakan yang disampaikan secara baik, lembut, dan penuh kasih sayang.

Dalam konteks dakwah, mau‘izhah hasanah merupakan metode penyampaian pesan Islam melalui nasihat moral, motivasi, dan sentuhan hati agar mad’u (objek dakwah) terdorong untuk menerima ajaran Islam secara sukarela dan ikhlas.

Landasan Mau‘izhah Hasanah dalam Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an, Surah An-Nahl ayat 125 menyebutkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau‘izhah hasanah…”. Sementara landasan Hadist Nabi ﷺ, yakni Rasulullah sering memberi nasihat menggunakan bahasa lembut, penuh kasih, tanpa merendahkan audiens. Misalnya, ketika menasihati seorang sahabat yang meminta izin berzina, Nabi tidak marah, melainkan berdialog dengan penuh hikmah dan kelembutan sampai akhirnya orang tersebut menyadari tidak melakukan zina.

See also  Menyelami Taqiyyan, Ghaniyyan, dan Khafiyyan  

Karakteristik Mau‘izhah Hasanah

Mau‘izhah hasanah dipelajari melalui penekanan beberapa karakter, yakni mengandung keteladanan moral. Dakwah bukan sebatas kata-kata, melainkan harus ditunjang dengan perilaku da’i. Kedua, menggunakan bahasa yang menyentuh hati. Memakai ungkapan yang lembut, persuasif, bukan menghakimi. Relevan dengan kondisi mad’u. Nasihat disampaikan sesuai kebutuhan, usia, latar belakang, dan permasalahan audiens. Pamungkas, mengandung nilai edukatif dan solutif. Mau‘izhah hasanah bukan sekadar teguran tetapi juga menawarkan solusi Islami atas masalah hidup.

Dimensi mau‘izhah hasanah dalam studi dakwah ada tiga, yakni dimensi spiritual dengan menumbuhkan kesadaran iman, takwa, dan rasa cinta kepada Allah SWT. Kedua, dimensi psikologis  dengan cara menguatkan jiwa, memberikan harapan, dan menghibur hati yang lemah. Terakhir, dimensi sosial-edukasi dengan cara mendorong perubahan sikap sosial dan perilaku masyarakat melalui nasihat yang inspiratif.

Aplikasi mau‘izhah hasanah dalam konteks kekinian. Di media sosial konten motivasi Islami berupa video singkat, kata-kata penyemangat, atau kisah inspiratif yang menenangkan hati. Di pendidikan nasihat dosen atau guru kepada mahasiswa/ siswa tentang pentingnya integritas, disiplin, dan tanggung jawab melalui  pendekatan humanis dan dilaksanakan secara persuasif.

Bagaimana realitasnya di lapangan? Di masyarakat dakwah dilakukan di masjid, majelis taklim, atau komunitas dengan pesan yang sederhana tetapi menyentuh kebutuhan jamaah sehari-hari. Audience di sini cukup dewasa sehingga mampu memilih tausiyah yang benar-benar secara pragmatis sesuai kebutuhannya.

Jidal Billati Hiya Ahsan

Kata Jidāl secara bahasa berarti perdebatan, diskusi, atau dialog yang melibatkan adu argumen. Billatī hiya aḥsan berarti “dengan cara yang terbaik.” Jadi, yang dimaksud dengan  jidāl billatī hiya aḥsan adalah metode dakwah yang dilakukan melalui dialog, diskusi, atau perdebatan sehat dengan argumentasi yang logis, sopan, dan santun, tanpa merendahkan lawan bicara.

Metode ini memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an, terutama pada QS. An-Nahl ayat 125, yang artinya“Dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik…” Juga pada QS. Al-‘Ankabut ayat 46 yang artinya“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, kecuali dengan cara yang paling baik…”Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ sering berdialog dengan kaum Quraisy, Yahudi, dan Nasrani melalaui  pendekatan rasional dan penuh etika.

See also  Membincangkan Ideologi

Metode ini mempunyai ciri-ciri argumentatif namun tetap santun. Menyampaikan hujjah dengan logika, dalil, dan data tanpa emosi atau cacian.  Rasional dan ilmiah, menggunakan akal sehat, bukti empiris, dan teks agama secara proporsional. Dialogis dan Inklusif, mengedepankan dialog dua arah, menghargai perbedaan pandangan, dan terbuka pada kebenaran. Tujuan mencerahkan, bukan menjatuhkan. Fokus pada pencarian kebenaran bersama, bukan kemenangan semu dalam debat.

Hadist-Hadist Kewajiban Dakwah

Beberapa hadist Nabi Muhammad ﷺ menjadi sumber utama (selain Al-Qur’an) yang menegaskan kewajiban dakwah bagi setiap Muslim. Dakwah tidak hanya kewajiban ulama atau da’i profesional tetapi juga amar ma‘ruf nahi munkar yang dapat dilakukan sesuai kapasitas masing-masing individu tanpa kecuali.

Contonya hadist tentang perintah menyampaikan walau satu ayat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR. Bukhari). Hadist ini menekankan bahwa kewajiban berdakwah berlaku bagi setiap Muslim, meskipun yang bersangkutan pengetahuannya sedikit.

Berikutnya dalah Hadist amar ma‘ruf nahi munkar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan tingkatan kewajiban dakwah melalui tindakan nyata, ucapan, atau minimal sikap hati.

Ketiga, Hadist penyampai syariat kepada umat lain. Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya, “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”(HR. Bukhari dan Muslim). Hadist ini mengandung prinsip transfer of knowledge dalam berdakwah.

Hadis-hadist tersebut dipahami dari beberapa perspektif, yakni dimensi teologis, yakni dakwah adalah kewajiban syar‘i yang berakar pada wahyu. Berikutnya dimensi komunikasi bahwa  dakwah berarti menyampaikan pesan (message) melalui media dan metode yang efektif. Sementara untuk dimensi sosial dakwah menjadi tanggung jawab kolektif (fardhu kifayah) untuk membina masyarakat Islami di suatu komunitas atau masyarakat.

Di sini ada beberapa prinsip-prinsip dakwah yang berasal dari hadist. Pertama, kewajiban individual yang menegaskan bahwa  setiap muslim adalah da’i, minimal dengan perilakunya. Kedua, kesederhanaan materi. Maksudnya tidak menunggu jadi ahli untuk berdakwah; cukup menyampaikan kebenaran yang dipahami meskipun sedikit. Ketiga, etika dan hikmah berupa amar ma‘ruf nahi munkar harus sesuai kemampuan, penuh hikmah, dan tidak menimbulkan kerusakan lebih besar. Terakhir kesinambungan dakwah. Penyampaian Islam tidak boleh berhenti, melainkan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, ada kesinambungan.

See also  Shaum Menyeimbangkan Hormon Tubuh

Selain itu ada enam  prinsip-prinsip nilai universal dakwah. Pertama, tauhid (Ketuhanan yang Esa). Di dalam dakwah ada penegasan pengesaan Allah sebagai dasar kehidupan. Hal ini relevan secara universal karena menekankan spiritualitas, makna hidup, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, kemanusiaan (al-Insâniyyah). Dakwah Islam menempatkan manusia sebagai makhluk mulia (QS. al-Isra: 70), menjunjung tinggi hak asasi, persamaan, keadilan, dan menolak diskriminasi. Ketiga, keadilan (‘Adâlah). Dakwah mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsip keadilan sosial ini menjadi nilai yang bisa diterima lintas bangsa. Keempat, toleransi (Tasâmuh). Bahwa dakwah mendorong hidup berdampingan secara damai (QS. al-Hujurat: 13). Nilai ini memperkuat dialog antaragama, harmoni sosial, dan inklusivitas. Kelima, kasih sayang dan cinta damai (rahmah & salam). Dakwah tidak mengindikasikan adanya paksaan (QS. al-Baqarah: 256), melainkan ajakan penuh kelembutan. Nilai kasih sayang ini menjadi jembatan dalam membangun perdamaian global. Keenam, amar ma‘ruf nahi munkar. Seruan untuk berbuat kebaikan dan mencegah keburukan berlaku universal. Hal ini dapat diwujudkan melalui gerakan sosial, advokasi lingkungan, hingga kampanye kesehatan publik.

Ada beberapa agenda implementasi dalam kehidupan modern yang berkaitan dengan aktivitas. Pertama, dialog lintas budaya. Dakwah dapat menjadi medium membangun toleransi antarumat beragama di mana pun berada. Kedua, gerakan sosial. Melalui dakwah ada nilai-nilai yang mendorong lahirnya program pemberdayaan masyarakat, filantropi, dan aksi kemanusiaan. Berikutnya  media digital bermanfaat untuk menyebarkan nilai kasih sayang, toleransi, dan edukasi melalui platform YouTube, TikTok, atau podcast. Terakhir global peace movement, yakni dakwah dapat dikontekstualisasikan dalam wacana perdamaian dunia dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Nilai universal dakwah menegaskan bahwa Islam bukan agama eksklusif, melainkan inklusif dan rahmatan lil ‘alamin. Dakwah yang dijiwai oleh tauhid, kemanusiaan, keadilan, kasih sayang, dan toleransi akan relevan sepanjang zaman dan dapat diterima oleh siapa pun, termasuk dalam konteks global dan modern. Wallahu a’lam.

 

Show More

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button