Opini

Pendidikan Karakter Siswa: Guru Wali & Ekstrakurikuler

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag ( Wakil Dekan 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

PENDIDIKAN karakter merupakan denyut nadi dari seluruh upaya pendidikan. Di balik setiap rumusan kurikulum, sistem evaluasi, dan kebijakan manajerial, sesungguhnya tersimpan satu tujuan hakiki: menumbuhkan manusia yang beradab, berintegritas, dan berjiwa merdeka. Namun, dalam praktiknya, pendidikan sering terjebak pada ranah kognitif yang kering dari sentuhan kemanusiaan. Sekolah menjadi tempat menghafal, bukan menghayati; guru menjadi pengajar, bukan pembimbing; dan siswa menjadi penerima informasi, bukan subjek yang sedang tumbuh mencari makna.

Di tengah situasi itu, dua instrumen strategis hadir sebagai poros revitalisasi pendidikan karakter: peran guru wali dan kegiatan ekstrakurikuler. Keduanya menandai pergeseran paradigma pendidikan dari orientasi instruksional menuju pendekatan yang lebih humanistik dan integral. Melalui Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025, negara menegaskan bahwa mendampingi, membimbing, dan membentuk karakter murid bukanlah beban moral semata, melainkan tugas profesional yang bernilai pedagogis dan legal.

Revitalisasi Fungsi Guru Wali

Dalam dinamika pendidikan hari ini, peran guru kembali ditinjau dari esensi terdalamnya: bukan sekadar pengajar mata pelajaran, melainkan pendamping perjalanan hidup peserta didik. Hal ini menemukan pijakan baru dalam Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025, yang secara eksplisit mengakui guru wali sebagai bagian dari beban kerja profesional. Regulasi ini menandai babak penting dalam transformasi pendidikan Indonesia — bahwa mendampingi, memahami, dan menumbuhkan murid kini diakui sebagai kerja pedagogis yang sah dan bernilai.

Selama bertahun-tahun, kerja guru dinilai terutama dari jumlah jam mengajar di kelas. Padahal, sebagian besar pengaruh guru terhadap murid justru terjadi di luar jam pelajaran: dalam percakapan, nasihat, dan kehadiran yang menenteramkan di tengah kegelisahan anak-anak. Kini, peran itu dilembagakan. Guru wali memperoleh ekuivalensi dua jam tatap muka per minggu dalam pemenuhan beban kerja, menegaskan bahwa pendampingan murid bukan sekadar tambahan moral, tetapi bagian dari profesionalitas guru.

Perubahan ini sejalan dengan hakikat pendidikan sebagaimana digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, yang menempatkan pendidik sebagai pamong, penuntun kodrat anak menuju keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan bukan pemindahan pengetahuan, melainkan proses memanusiakan manusia. Dalam kerangka itu, guru wali menjadi wajah baru dari pamong modern — sosok yang hadir bukan hanya di ruang kognitif, tetapi di ruang emosional dan sosial anak didik.

Dalam konteks ini, pendidikan sebagai bimbingan (education as guidance) menemukan makna praksisnya. Guru wali menjalankan fungsi pembimbing akademik, pelatih karakter, sekaligus penguat daya tahan mental murid. Ia tidak hanya mengajar, tetapi memandu anak memahami dirinya sendiri — sebuah peran yang semakin krusial di tengah tekanan dunia digital dan kompetisi yang seringkali mereduksi nilai-nilai kemanusiaan.

Regulasi baru ini menetapkan bahwa guru wali bertugas mendampingi perkembangan akademik, keterampilan, dan karakter murid yang menjadi tanggung jawabnya sejak awal hingga lulus pada satuan pendidikan yang sama. Guru wali juga menjadi penghubung antara guru bimbingan konseling, wali murid, dan kepala sekolah dalam membangun sistem pembinaan yang terpadu. Dengan begitu, peran ini bukan seremonial, melainkan strategis dalam menopang ekosistem kesejahteraan peserta didik (student well-being).

See also  Beasiswa dan Penguatan Kebangsaan

Kebijakan ini juga membawa pesan simbolik yang kuat: kerja sosial-emosional guru kini diakui dan dihargai secara legal. Ia mengembalikan legitimasi pada aspek kemanusiaan profesi guru yang selama ini tenggelam dalam birokrasi administratif. Bila dulu empati guru tak tercatat dalam angka jam, kini empati itu bernilai, terukur, dan dianggap bagian dari kinerja profesional.

Guru wali menjadi garda depan dalam membangun iklim sekolah yang sehat dan inklusif. Ia berperan sebagai safe point — tempat murid merasa didengar dan diterima tanpa penilaian. Di tengah meningkatnya  masalah kesehatan mental remaja, perundungan, dan tekanan akademik, kehadiran guru wali adalah mekanisme preventif yang sangat efektif. Pendampingan murid juga berfungsi memperkuat budaya refleksi dalam belajar. Murid belajar mengenali kekuatannya, memahami kesulitannya, dan menentukan langkah perbaikan secara sadar. Di sinilah pendidikan menemukan bentuk paling personal: kemerdekaan bukan berarti belajar sendirian, tetapi menemukan arah bersama pendamping yang memahami potensi diri.

Meski kebijakan ini visioner, implementasinya tentu tidak sederhana. Banyak sekolah belum memiliki sistem pendampingan yang terstruktur; rasio guru terhadap jumlah murid masih tidak ideal; dan sebagian guru belum dibekali keterampilan dasar konseling maupun coaching. Di beberapa sekolah, beban administratif bisa menggerus waktu dan energi guru wali untuk benar-benar hadir bagi murid.

Karena itu, pemerintah dan dinas pendidikan perlu menyediakan pelatihan profesional bagi guru wali, termasuk kemampuan komunikasi empatik, observasi perkembangan anak, dan teknik mentoring sederhana. Selain itu, sistem pelaporan kegiatan guru wali perlu dibuat ringkas dan berbasis refleksi, bukan hanya checklist administratif. Sekolah juga perlu menumbuhkan kolaborasi erat antara guru wali dan guru BK, agar fungsi pembimbingan bersifat integratif, bukan tumpang tindih.

Kehadiran guru wali mengisyaratkan transformasi identitas profesional guru. Guru tidak lagi diposisikan sebagai “penyampai kurikulum,” melainkan sebagai pendamping pertumbuhan manusia muda. Perubahan ini menuntut kompetensi baru: kemampuan berempati, mendengarkan aktif, serta membangun hubungan yang aman dan suportif. Namun di atas segalanya, dibutuhkan kematangan batin — karena mendampingi anak adalah pekerjaan yang memerlukan kehadiran jiwa, bukan sekadar keterampilan teknis.

Dalam jangka panjang, peran guru wali akan memperkuat ikatan antara sekolah dan keluarga, menurunkan tingkat kenakalan remaja, serta meningkatkan motivasi belajar yang bersumber dari dalam diri. Lebih dari itu, guru wali menjadi representasi nilai dasar pendidikan Indonesia: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani — di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

Peran guru wali merupakan inovasi kultural dalam sistem pendidikan nasional. Ia bukan hanya instrumen kebijakan, melainkan wujud kembalinya roh pendidikan yang humanistik-spiritualistik. Bila di kelas guru mengajar, maka melalui pendampingan ia menuntun jiwa; bila di kurikulum guru menilai hasil, maka dalam peran wali ia menilai tumbuh kembang manusia

See also  Pemuda dan Perubahan: Katalisator Inovasi dan Kreativitas di Kota Bandung

Optimalisasi Ekstrakurikuler

Selama bertahun-tahun, ruang kelas menjadi pusat perhatian dalam sistem pendidikan. Di sanalah guru mengajar, siswa belajar, dan nilai menjadi tolok ukur keberhasilan. Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler kerap dipandang hanya sebagai pelengkap, bahkan hiburan di luar kegiatan akademik yang dianggap utama. Namun, pandangan itu kini mulai berubah. Pendidikan abad ke-21 menuntut lebih dari sekadar penguasaan pengetahuan. Ia menuntut kemampuan berpikir kritis, empati sosial, dan kecakapan hidup yang hanya dapat tumbuh melalui pengalaman nyata.

Perubahan arah ini menemukan pijakan yang kuat melalui Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025, yang menegaskan bahwa kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler kini diakui sebagai bagian dari beban kerja profesional guru. Kebijakan ini membawa pesan yang sangat penting: kegiatan di luar kelas bukan lagi sekadar tambahan, melainkan bagian integral dari proses pembelajaran. Artinya, pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam ruang kelas, melainkan juga di ruang kehidupan tempat murid belajar berinteraksi, bekerja sama, menghadapi tantangan, dan menemukan makna.

Belajar sejatinya adalah proses hidup yang utuh. Banyak nilai penting justru tumbuh melalui pengalaman langsung di luar kelas. Dalam kegiatan pramuka, siswa belajar tentang kepemimpinan dan tanggung jawab. Dalam kegiatan seni, mereka berlatih mengungkapkan perasaan dan memahami keindahan. Dalam organisasi siswa, mereka belajar berdialog, menyusun strategi, dan menyelesaikan konflik. Semua itu tidak diajarkan lewat teori, melainkan dihidupi dalam keseharian. Di sinilah letak nilai mendasar kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler: sebagai ruang belajar yang nyata, kontekstual, dan menyentuh dimensi kemanusiaan peserta didik.

Perubahan paradigma ini juga mengubah posisi guru pembina kegiatan siswa. Selama ini, banyak guru pembina bekerja di luar jam pelajaran tanpa pengakuan yang memadai. Kini, pengakuan atas peran mereka dalam beban kerja bukan sekadar persoalan administratif, melainkan pengakuan terhadap kemanusiaan profesi guru. Seorang guru pembina bukan sekadar pengelola kegiatan, melainkan pendidik yang menanamkan karakter melalui pengalaman. Ia membimbing dengan teladan, bukan hanya dengan instruksi; menumbuhkan tanggung jawab dan kerja sama, bukan sekadar mengatur acara. Ia adalah agen pembentuk karakter yang sesungguhnya.

Kegiatan ekstrakurikuler juga menyimpan potensi besar sebagai ruang inovasi pembelajaran. Di tengah perubahan zaman yang menuntut kreativitas, komunikasi, kolaborasi, dan kemampuan berpikir kritis, kegiatan siswa menjadi arena yang ideal untuk menumbuhkan keempat keterampilan itu. Melalui proyek sosial, murid belajar tentang empati dan tanggung jawab kemanusiaan. Dalam kegiatan kewirausahaan, mereka belajar daya tahan, inovasi, dan keberanian mengambil risiko. Sementara kegiatan jurnalistik mengajarkan literasi media dan pentingnya kebenaran. Dalam semua kegiatan itu, guru berperan sebagai fasilitator pengalaman belajar, bukan semata penyampai materi. Guru menghubungkan kegiatan dengan nilai-nilai Pancasila dan Profil Pelajar Pancasila, menjadikan setiap aktivitas sebagai proses pembentukan karakter dan kebajikan hidup.

Dengan demikian, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler menghadirkan keseimbangan baru dalam sistem pendidikan. Pembelajaran formal di kelas memang penting untuk menumbuhkan kecerdasan kognitif, tetapi kegiatan di luar kelas berperan membentuk kecerdasan emosional, sosial, dan moral. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Ketika keduanya berjalan seimbang, barulah pendidikan menghasilkan manusia yang utuh — bukan hanya pandai berpikir, tetapi juga matang dalam berperilaku dan berhati nurani. Dalam konteks ini, guru pembina kegiatan siswa memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan yang tidak mungkin diperoleh hanya dari buku pelajaran.

See also  Rahasia Keberhasilan Dakwah pada Dimensi Hikmah

Meski demikian, implementasi kebijakan ini tentu tidak tanpa tantangan. Banyak sekolah masih menghadapi keterbatasan waktu, fasilitas, dan jumlah guru. Tidak semua guru pembina memiliki kompetensi pedagogis atau manajerial yang memadai untuk mengembangkan kegiatan siswa secara bermakna. Selain itu, sistem pelaporan dan administrasi sering kali justru menghambat semangat inovasi yang hendak dibangun. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan nyata dari kepala sekolah dan dinas pendidikan agar kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler benar-benar menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran, bukan sekadar formalitas administratif.

Langkah-langkah kecil dapat dimulai dari sekolah. Misalnya, menjadwalkan kegiatan siswa secara proporsional agar tidak mengganggu pembelajaran inti, memberikan pelatihan kepada guru pembina tentang pendampingan karakter, dan menata sistem penilaian yang sederhana namun bermakna. Kepala sekolah perlu berperan sebagai pemimpin nilai yang menumbuhkan semangat kolaboratif di antara para guru dan siswa. Dinas pendidikan pun harus memberi dukungan moral, struktural, dan kebijakan agar setiap guru pembina merasa dihargai dan setiap kegiatan siswa mendapat ruang berkembang.

Pada akhirnya, pengakuan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari beban kerja guru adalah upaya mengembalikan ruh pendidikan itu sendiri. Mendidik tidak pernah semata-mata berarti mengajar, melainkan menuntun manusia menuju kedewasaan pikir, perasaan, dan tindakan. Melalui kegiatan yang menantang dan bermakna, siswa belajar untuk tangguh, jujur, disiplin, dan peduli terhadap sesama. Di sanalah esensi pendidikan karakter menemukan wujud nyatanya — bukan dalam ceramah panjang atau aturan ketat, tetapi dalam pengalaman hidup yang mendidik.

Sekolah yang sejati bukanlah yang siswanya paling banyak hafal teori, tetapi yang siswanya pulang dengan hati gembira karena merasa didengar, dipercaya, dan diberi ruang untuk tumbuh. Ketika kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler tidak lagi dipandang sebagai pelengkap, melainkan sebagai bagian dari inti pendidikan, saat itulah sekolah benar-benar menjadi ruang kehidupan: tempat anak-anak belajar, berproses, dan bertumbuh menjadi manusia yang utuh dan merdeka.

Akhirnya, ketika guru wali dan kegiatan ekstrakurikuler memperoleh legitimasi pedagogis, sesungguhnya yang terjadi bukan sekadar pembaruan administratif, melainkan rekonstruksi ruh pendidikan. Ia mengembalikan posisi guru sebagai pamong yang menuntun jiwa, bukan sekadar penyampai kurikulum; dan menegaskan bahwa karakter tidak dapat diajarkan, melainkan ditumbuhkan melalui relasi, pengalaman, dan keteladanan.  Sekolah sejati bukanlah tempat anak dipaksa tahu, tetapi tempat mereka merasa aman untuk bertumbuh. Di ruang di mana guru menjadi pendamping dan kegiatan menjadi pengalaman bermakna, di sanalah pendidikan karakter menemukan bentuk paling mulianya — pendidikan yang menumbuhkan manusia merdeka, berakal sehat, berhati bening, dan beradab.**

Show More

Related Articles

Back to top button