Self-Fulfilling Prophecy dan Prasangka kepada Tuhan
Dr. ME Fuady, M.Ikom (Dosen Fikom Unisba, Pemerhati Komunikasi Politik)
SEORANG pemuda yang motornya mogok berjalan di keremangan malam. Ia berjalan sambil menuntun motornya. “Tuhan, sial banget aku hari ini. Apes banget. Tuhan, mengapa Kau tak adil? Sudah tak Kau beri motor bagus, Kau beri aku mogok pula. Kau beri aku sedikit rezeki. Selalu Kau timpakan aku dengan kesulitan dan kemalangan. Selalu Kau buat hidupku merana. Rasanya tak ada kebahagiaan yang tersisa. Kau siksa diriku. Oh Tuhan, sungguh kejam dan tak adil rasanya ini buatku. Kau begitu kejam!!” tuturnya dalam hati. Sambil terseok mendorong motornya di keremangan malam, pikirannya selalu mengutuk ketidakadilan Tuhan yang dirasakannya.
Seseorang lainnya di tempat yang sama berjalan kaki sambil melayang pikirannya. “Alhamdulillah Tuhan, Engkau beri aku nikmat yang amat banyak. Kau masih beri aku kesempatan untuk melihat dunia meski hanya dengan satu mata saja. Meski gelap, Kau berikan bulan yang begitu terang malam ini. Kau berikan bintang untuk menemaniku berjalan malam ini. Angin pun tak sekencang biasanya. Kau berikan aku nikmat berjalan kaki malam ini. Thanks Tuhan,” katanya dalam hati sambil tersenyum seolah memberikan senyuman itu pada Tuhannya.
Benarkah Tuhan kejam? Benarkah Tuhan tak adil? Benarkah Tuhan ingin hamba-Nya menderita? Benarkah Tuhan ingin hamba-Nya sakit dan tersiksa? Benarkah Tuhan memberikan kemalangan-kemalangan itu pada hamba-Nya?
Ataukah Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kaya, Maha Lembut, Maha Mengobati, Maha Menyembuhkan, dan Maha Menyehatkan? Juga Maha Pemberi Rezeki, Maha Pemberi Nikmat, Maha Adil, dan dengan segala ke-Maha-an-Nya?
Tuhan menyatakan dalam sebuah hadits qudsi, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675). Jika kita berpikir bahwa Tuhan tidak adil, kejam, tidak memberi rezeki, dan membuat kita merana karena takdir-Nya, maka itu yang akan terjadi. Bila kita berpikir sebaliknya, bahwa Tuhan Mahakasih, Mahasayang, Maha Memberi Rezeki, dan Mahaadil, maka itu pula yang akan menjadi kenyataan.
Berpikir Positif
Secara tidak langsung Tuhan meminta kita untuk selalu berpikir positif tentang diri-Nya, dan memang begitulah seharusnya. Wajah Tuhan dengan kasih dan sayang-Nya jauh lebih nyata dibanding kemurkaan-Nya. Keagungan Tuhan dengan kemahalembutan-Nya jauh lebih memancar. Kenyataan yang dikehendaki manusia bisa digapai melalui pikiran-pikiran positif tentang Tuhan.
Dalam filsafat Islam modern, Muhammad Iqbal memandang manusia sebagai subjek kreatif yang diberi peran aktif untuk ikut membentuk realitas hidupnya. Iqbal menegaskan manusia sebagai “a self-creator” yang berperan aktif dalam pembentukan realitas hidup dan penciptaan makna.
Annemarie Schimmel menafsirkan Iqbal dengan menyebut bahwa manusia “berpartisipasi dalam kreativitas ilahi” sehingga turut menciptakan arah hidupnya melalui pikiran, kehendak, dan kesadaran batin.
Dalam teori komunikasi dikenal konsep “nubuat yang terpenuhi sendiri” atau “self-fulfilling prophecy” , yang menyatakan bahwa kenyataan yang kita alami bisa tercipta berdasarkan pikiran dan harapan kita sendiri. Jika kita berpikir bahwa kita orang bodoh maka kita akan benar-benar menjadi orang bodoh. Jika kita berpikir kita mampu mengatasi persoalan, persoalan apa pun bisa kita hadapi. Jika kita berpikir kita adalah korban dalam sebuah sistem, tak kuasa menolaknya, hanya bisa menerima saj, maka itu yang akan menjadi kenyataan. Jika kita berpikir bisa menghadapi permasalahan itu dan menyelesaikannya, maka itu yang akan terjadi. Ingatlah bahwa “You don’t think what you are, you are what you think.”
Jika seseorang merasa bahwa sebuah sistem mempersulit dirinya, menjadikannya korban, dan ia menderita karenanya maka itu yang akan terjadi. Padahal, mungkin saja “penderitaan” itu hanya persepsi. Itu hanya “kenyataan” yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, yang terjadi tidak seperti itu. Karena pikiran negatif tentang lingkungan, maka kenyataan yang ia dapatkan menjadi seperti yang ia pikirkan.
Jika kita mempersepsi bahwa puasa adalah sebuah siksaan dan penderitaan maka itu yang akan kita rasakan. Puasa akan terasa menjemukan dan melelahkan. Puasa menjadi sebuah kesia-siaan. Sebaliknya, bila kita berpikir bahwa puasa itu adalah kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan, maka itu yang akan kita rasakan. Akan terasa manisnya puasa dan berbagai kenikmatannya.
Mengapa itu bisa terjadi? Sekali lagi, sesungguhnya semua berpulang pada pikiran kita. Maka hendaklah segera hentikan pikiran-pikiran buruk tentang diri kita, tentang orang lain, tentang siapa pun. Berpikirlah positif tentang diri kita dan lingkungan maka itu pula yang akan kita dapatkan.
Manusia adalah makhluk pencerita dan mempercayai apa yang diceritakannya. Manusia dapat menciptakan kenyataan berdasarkan pikirannya dan apa yang diucapkannya pada orang lain. Pikiran negatif akan menguras banyak energi manusia. Pikiran negatif akan membawa manusia untuk selalu was-was, menyalahkan orang lain, dengki, dan hasad. Sebaliknya, berpikir positif akan menjadi sebuah energi yang dahsyat bagi kita. Energi dahsyat untuk menciptakan kenyataan.**



