Opini

Ampuh! Self Healing Cara Islami

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wakil Dekan 1, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan)

SELF HEALING, sebagai konsep penyembuhan diri, dapat dipahami dari berbagai perspektif. Masing-masing menawarkan sudut pandang yang unik tentang bagaimana manusia merespons luka, penderitaan, dan tantangan hidup.

Dari sudut pandang psikologi, self-healing adalah proses internal dalam diri seseorang untuk mengatasi trauma, stres, dan luka emosional. Psikologi modern mengidentifikasi beberapa strategi utama dalam penyembuhan diri, seperti:

  1. Mindfulness dan regulasi emosi. Kesadaran penuh terhadap pikiran dan perasaan tanpa menghakimi diri sendiri, membantu individu mengelola stres dan kecemasan.
  2. Self-compassion. Menerima diri dengan penuh kasih sayang, tanpa menyalahkan diri atas kegagalan atau kesalahan masa lalu.
  3. Resilience (ketahanan psikologis). Kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan, membentuk pola pikir yang lebih adaptif terhadap tantangan hidup.

Dalam psikologi Islam, konsep seperti qalbun salim (hati yang sehat) menjadi tujuan utama, di mana kesehatan mental bukan hanya ketiadaan gangguan tetapi juga keseimbangan antara nafs (keinginan), akal, dan ruh.

Self-healing tidak hanya berkaitan dengan diri sendiri tetapi juga dengan lingkungan sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain. Dalam konteks ini, proses penyembuhan diri sering kali melibatkan:

  1. Dukungan sosial. Keberadaan keluarga, sahabat, dan komunitas yang memberikan rasa aman dan pemahaman.
  2. Kearifan lokal. Tradisi dan budaya memiliki peran dalam membentuk cara manusia menghadapi penderitaan, seperti praktik gotong royong, pengajian, atau majelis ilmu yang memberikan ruang refleksi dan ketenangan.
  3. Narasi kolektif. Masyarakat sering kali membangun kisah-kisah tentang ketahanan dan penyembuhan, yang memberikan inspirasi bagi individu dalam menghadapi tantangan hidup.

Dari sudut pandang ilmu saraf, self-healing berkaitan dengan mekanisme tubuh dalam merespons stres dan trauma. Otak memiliki sistem regulasi yang secara alami membantu manusia pulih dari tekanan, seperti:

  1. Neuroplastisitas. Kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi, memungkinkan seseorang membentuk kebiasaan dan pola pikir baru yang lebih sehat.
  2. Hormon dan neurotransmitter. Hormon seperti serotonin, dopamin, dan oksitosin berperan dalam menciptakan perasaan bahagia dan tenang. Aktivitas seperti ibadah, olahraga, dan interaksi sosial dapat meningkatkan produksi hormon-hormon ini.
  3. Terapi berbasis otak . Metode seperti meditasi, terapi kognitif, dan terapi musik digunakan untuk membantu penyembuhan dari trauma dan gangguan psikologis.
See also  Mainstreaming Madrasah di Tahun Toleransi
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

Dalam Islam, konsep ini selaras dengan perintah Allah untuk menjaga keseimbangan tubuh dan jiwa, sebagaimana disebutkan dalam perintah menjaga kesehatan, makan yang halal dan baik (halalan thayyiban), serta tidak berlebihan dalam segala hal.

Dalam filsafat, self-healing sering dikaitkan dengan pencarian makna hidup. Tokoh seperti Viktor Frankl dalam logoterapinya menyatakan bahwa penderitaan dapat menjadi jalan menuju makna, bukan sekadar beban yang harus dihindari.

Dalam filsafat Islam, konsep hikmah (kebijaksanaan) mengajarkan bahwa setiap peristiwa dalam hidup memiliki makna yang lebih besar, yang sering kali tidak langsung terlihat. Ibnu Sina, dalam karyanya tentang kesehatan jiwa, menekankan pentingnya keseimbangan antara akal, ruh, dan jasad.

Sementara itu, pemikiran sufi melihat penderitaan sebagai proses penyucian diri (tazkiyatun nafs) yang mendekatkan manusia kepada Allah. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahwa luka bukanlah akhir, melainkan jalan bagi cahaya untuk masuk ke dalam hati.

Dalam dunia modern, self-healing sering kali dikomersialisasi melalui industri kesehatan mental, wellness , dan self-care . Banyak orang mencari penyembuhan dalam bentuk terapi, buku motivasi, atau layanan yang berbayar.

Namun, ada kritik terhadap komodifikasi self-healing ini, di mana konsep penyembuhan diri sering kali diarahkan pada kepuasan individu tanpa mempertimbangkan aspek spiritual atau sosial. Self-care yang hanya berfokus pada konsumsi (seperti belanja sebagai terapi) dapat menjadi pelarian sementara tanpa menyelesaikan akar masalah.

Islam menawarkan keseimbangan dalam hal ini, di mana self-healing tidak hanya tentang memanjakan diri tetapi juga memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama. Konsep seperti tafakkur (merenung) dan muhasabah (introspeksi) menekankan bahwa penyembuhan sejati terjadi ketika seseorang memahami hakikat hidupnya dan peran yang ia emban di dunia.

Self-healing bukan hanya tentang mencari ketenangan tetapi juga tentang memahami, menerima, dan bertumbuh. Dalam perspektif Islam, penyembuhan diri adalah perjalanan menuju keseimbangan antara akal, hati, dan ruh. Luka bukanlah akhir, tetapi bagian dari perjalanan menuju keutuhan diri.

Al-Qur’an, yang diturunkan sebagai petunjuk dan rahmat, telah lama menyingkap rahasia penyembuhan ini. Firman-Nya mengandung kekuatan yang menenangkan, meneguhkan, dan mengangkat jiwa yang terpuruk.

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, tetapi bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (Quran Surat Al-Isra’ ayat 82)

See also  Beasiswa dan Penguatan Kebangsaan

Al-Qur’an adalah obat bagi jiwa yang gelisah, bagi hati yang diliputi kegelapan. Ia bukan sekadar bacaan, melainkan sumber cahaya yang menyapu kabut duka, membuka jalan bagi ketenangan. Saat dunia menawarkan pelarian sementara—hiburan yang semu, motivasi yang fana—Al-Qur’an menawarkan penyembuhan sejati: pemahaman mendalam tentang makna hidup, penerimaan terhadap ketetapan-Nya, dan ketundukan kepada kehendak-Nya.

Di tengah kesibukan zaman, di mana manusia begitu mudah tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, Allah mengingatkan bahwa ketenangan sejati tidak ditemukan dalam gemerlap materi atau pencapaian duniawi tetapi dalam mengingat-Nya.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Quran Surat Ar-Ra’d ayat: 28)

Dzikir adalah terapi batin yang telah lama diajarkan dalam Islam. Mengulang-ulang asma-Nya, merenungi kebesaran-Nya, menautkan hati kepada-Nya—semua itu bukan sekadar ritual, melainkan mekanisme penyembuhan yang menenangkan gelombang kecemasan. Ketika dunia seolah menuntut manusia untuk terus berlari, dzikir adalah ruang jeda, tempat di mana jiwa beristirahat dan menemukan kembali keseimbangan.

Tetapi hidup tidak selalu tentang ketenangan; ada saatnya ia mengguncang, merobohkan harapan, menghempaskan manusia dalam cobaan yang terasa melampaui batas. Dalam kesedihan mendalam, sering kali manusia merasa tak sanggup bertahan, seolah beban yang ditanggung begitu berat. Namun, Allah telah menegaskan bahwa tidak ada satu pun ujian yang melebihi batas kemampuan hamba-Nya.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Quran Surat Al-Baqarah ayat: 286)

Pernyataan ini bukan sekadar janji tetapi juga jaminan bahwa manusia lebih kuat dari yang ia kira. Luka yang dialami, beban yang dipikul, bukanlah sesuatu yang tak teratasi. Ada hikmah di balik setiap kepedihan, ada pelajaran di balik setiap kehilangan. Bahkan, dalam derita yang paling dalam, selalu ada cahaya kemudahan yang menyertainya.

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Quran Surat Al-Insyirah ayat: 5-6)

Janji ini bukan sekadar penghiburan tetapi kepastian bahwa setiap luka membawa peluang untuk tumbuh, bahwa setiap air mata bukanlah sia-sia. Dalam dunia yang terus bergerak, dalam realitas kehidupan yang tak selalu ramah, ayat ini menjadi pegangan bagi mereka yang merasa kehilangan arah.

See also  Mengungkap Rahasia dan Keutamaan Alquran Bagi Kemaslahatan Manusia (1)

Dan ketika luka yang dirasakan bukan sekadar ujian tetapi juga akibat dari kesalahan masa lalu, Allah membuka pintu selebar-lebarnya untuk kembali. Banyak jiwa yang terperangkap dalam penyesalan, dihantui oleh dosa yang terasa tak terampuni. Namun, Allah mengingatkan bahwa rahmat-Nya lebih luas dari segala keburukan yang pernah dilakukan manusia.

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (Quran Surat Az-Zumar ayat: 53)

 

Inilah penyembuhan sejati—bukan hanya ketenangan sementara tetapi kebangkitan jiwa yang menemukan kembali makna hidup dalam rahmat-Nya. Setiap luka batin yang dirasakan, setiap air mata yang jatuh, setiap kekecewaan yang dialami, semuanya bukanlah akhir. Mereka hanyalah bagian dari perjalanan menuju kesadaran yang lebih dalam, menuju penghambaan yang lebih tulus.

Nabi Ayyub AS adalah contoh nyata dari kesabaran yang membawa kesembuhan. Beliau menderita sakit bertahun-tahun, kehilangan segalanya tetapi tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Doanya begitu singkat tetapi mengandung kepasrahan yang mendalam:

“(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (Quran Surat  Al-Anbiya’ ayat 83)

Allah pun mengabulkan doanya, menyembuhkannya, dan mengembalikan apa yang hilang darinya. Kisah ini adalah pengingat bahwa dalam kesabaran ada keajaiban, dalam ketundukan ada penyembuhan, dalam penghambaan ada kebangkitan jiwa.

Maka, dalam perjalanan self-healing, jangan hanya mencari ketenangan di dunia yang fana. Kembalilah kepada sumber segala penyembuhan, kepada Dia yang memiliki hati-hati yang luka, kepada Dia yang Maha Menyembuhkan segala duka.

Dengan memahami berbagai perspektif ini, seseorang dapat menemukan cara yang paling sesuai untuk menyembuhkan dirinya—baik melalui pendekatan spiritual, psikologis, sosial, maupun ilmiah. Pada akhirnya, self-healing bukan hanya tentang mengatasi luka tetapi juga tentang menemukan makna, membangun ketahanan, dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan penuh kesadaran. (ADS)

Show More

Related Articles

Back to top button