Awas, Tergelicirnya Para Agamawan
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

DALAM lekuk sejarah peradaban, selalu terhampar kisah para penjaga firman yang pada akhirnya tergelincir karena godaan dunia. Mereka yang mestinya menjadi lentera bagi umat, terkadang justru menjelma menjadi kabut yang mengaburkan cahaya. Al-Qur’an, sebagai petunjuk paripurna, merekam dengan tajam fenomena ini melalui sejumlah ayat yang mengkritik para pemuka agama Ahlul Kitab —bukan semata sebagai celaan, melainkan sebagai cermin universal bagi siapa saja yang memikul amanah risalah.
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَـٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًۭا قَلِيلًۭا ۖ فَوَيْلٌۭ لَّهُمۡ مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيْلٌۭ لَّهُمۡ مِّمَّا يَكۡسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang ditulis tangan mereka, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan.” Surah Al-Baqarah (2): 79
Di sinilah awal mula kehancuran dimulai—ketika pena tidak lagi mengalirkan kebenaran, melainkan kebohongan yang dikemas dalam nama Tuhan. Ulama yang seharusnya menjadi pembawa risalah Ilahi malah menjadi penjual kata-kata suci demi harga murah dunia. Mereka menciptakan teks dan memaklumatkannya sebagai wahyu, menukar kemurnian dengan mata uang. Maka Al-Qur’an mencatat bahwa kehancuran bukan hanya terletak pada dusta yang ditulis, tetapi juga pada niat yang menyertainya—sebuah niat untuk memperdagangkan kebenaran.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ كَثِيرًۭا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ
“Sesungguhnya banyak di antara para rahib dan pendeta memakan harta manusia dengan cara yang batil dan mereka menghalang-halangi dari jalan Allah.” Surah At-Taubah (9): 34
Kesalehan, ketika dipoles demi pencitraan, berpotensi menjadi alat kekuasaan yang paling kejam. Para rahib dan pendeta yang tampil dalam jubah kesucian, sejatinya memanen kekayaan dari umat yang mempercayakan mereka sebagai penjaga moral. Mereka menjadikan agama bukan sebagai jalan penyelamatan tetapi sebagai komoditas. Maka terjadilah pengingkaran dua lapis: pengingkaran atas harta yang dirampas, dan pengingkaran atas jalan Tuhan yang mereka kaburkan dengan retorika.
وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَـٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَـٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَٱشْتَرَوْا۟ بِهِۦ ثَمَنًۭا قَلِيلًۭاۚ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari orang-orang yang telah diberi Kitab: ‘Hendaklah kamu menjelaskan (isi) Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,’ lalu mereka melemparkannya ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Maka amat buruklah tukaran yang mereka terima itu.” Surah Al-Imran (3): 187
Keburukan tak selalu hadir dalam bentuk pengingkaran terang-terangan. Kadang ia menyusup dalam bentuk pembiaran dan pengabaian. Para pemuka yang telah diambil sumpah untuk menjelaskan kebenaran justru memilih diam, menyembunyikan firman demi kepentingan sempit. Mereka tidak mengingkari secara verbal, tetapi menempatkan amanah Ilahi sebagai beban yang layak ditinggalkan. Ketika perjanjian Ilahiah dianggap bisa ditukar dengan keuntungan dunia, maka rusaklah sendi moral kepemimpinan spiritual.
لَوْلَا يَنْهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّـٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ عَن قَوْلِهِمُ ٱلۡإِثْمَ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَصْنَعُونَ
“Mengapa para pendeta dan ahli-ahli agama mereka tidak melarang mereka dari perkataan dosa dan memakan yang haram? Sungguh amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” Surah Al-Ma’idah (5): 63
Kritik tajam ini menyasar pada sikap permisif para tokoh agama yang memilih diam dalam menghadapi kemungkaran. Bukannya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, mereka justru membiarkan maksiat berurat akar. Dalam diam mereka terkandung konspirasi, dalam pasif mereka tersembunyi pengkhianatan. Padahal, tanggung jawab keilmuan dan spiritual menuntut keberanian menyuarakan kebenaran meski berisiko kehilangan kenyamanan.
أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمۡ تَتْلُونَ ٱلۡكِتَـٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? Surah Al-Baqarah (2): 44
Ironi paling memilukan adalah ketika lisan menyerukan kebaikan sementara perilaku menjauh darinya. Ucapan dan tindakan berjalan di dua kutub yang bertentangan. Ayat ini mengkritik kelaziman hipokrisi di kalangan pemuka agama—mereka yang fasih mengajarkan nilai, namun lalai menerapkannya pada diri. Ketidakkonsistenan ini mencederai pesan Ilahiah lebih dalam dari sekadar kesalahan logika; ia meruntuhkan kepercayaan umat.
Kelima ayat tersebut membentuk satu jalinan naratif teologis yang mengungkap keretakan moral dalam tubuh otoritas keagamaan. Kritik ini tak semata tertuju pada kaum terdahulu, melainkan menyasar siapa saja yang memegang kendali spiritual atas umat. Dalam konteks kekinian, ayat-ayat ini harus dibaca ulang sebagai peringatan keras akan bahaya manipulasi agama, pembiaran kemungkaran, hipokrisi spiritual, serta komersialisasi nilai-nilai ketuhanan.

Pemuka agama adalah pelita yang seharusnya memandu umat menembus kabut zaman. Namun bila pelita itu padam karena kerakusan, umat akan berjalan dalam gelap meski mereka mendengar suara-suara yang mengatasnamakan terang. Maka, pembacaan ayat-ayat ini menuntut kejujuran, keberanian, dan kerendahan hati untuk menjadikan agama bukan sebagai alat, tetapi sebagai arah—bukan sebagai panggung, melainkan sebagai jalan pulang menuju Tuhan.
Dalam gemuruh zaman yang sering kehilangan arah, pemuka agama adalah lentera yang seharusnya tak pernah padam. Mereka bukan sekadar penyampai dalil atau penjaga kitab-kitab suci, tetapi jiwa-jiwa agung yang menjadi jembatan antara langit dan bumi. Lidah mereka mestinya menyejukkan, bukan menghakimi; langkah mereka menuntun, bukan menyesatkan; dan hati mereka penuh takut kepada Tuhan, bukan haus pujian manusia.
Pemuka agama yang sejati tak akan menjadikan ilmu sebagai mahkota untuk meninggi, tetapi sebagai beban amanah yang mereka pikul dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Ilmunya melahirkan ketundukan, bukan kesombongan. Ia tak sibuk menghitung berapa orang yang mendengarnya, tapi resah jika satu saja kalimatnya menyesatkan. Setiap ucapannya lahir dari kedalaman jiwa yang terbenam dalam dzikir, bukan dari hasrat meraih pujian atau bayaran dunia.
Mereka tak akan menukar kebenaran dengan kemewahan sesaat, tak akan menyulap ayat menjadi alat dagang atau tunggangan kuasa. Mereka tahu, kata-kata mereka bisa menggugah hati, tapi juga bisa menghancurkan iman—jika keluar dari niat yang keruh. Maka mereka menjaga lisannya seperti menjaga nyawa, karena mereka sadar, satu dusta dari mereka bisa memadamkan cahaya di seribu jiwa.
Mereka bukan hanya mengajak pada kebaikan, tapi lebih dulu menanamkan kebaikan dalam dirinya. Tak ada perintah dari mulut yang tidak dilaksanakan oleh raga. Tak ada nasihat yang tak dijalani lebih dulu oleh nurani. Mereka adalah orang-orang yang keberadaannya menjadi tanda hadirnya rahmat, dan kepergiannya meninggalkan luka dalam dada umat.
Dan ketika umat tersesat dalam kabut zaman, para pemuka agama inilah yang semestinya menjadi peta—bukan menjadi bagian dari labirin. Ketika keburukan merajalela, mereka bersuara dengan keberanian yang lembut dan hikmah yang dalam. Mereka tak bungkam karena takut kehilangan kedudukan. Mereka tak tunduk karena rayuan kekuasaan. Hati mereka tetap teguh seperti karang, meski arus zaman menghantam tak henti.
Inilah wajah pemuka agama dalam cermin Al-Qur’an: jernih, kuat, lembut, dan lurus. Mereka bukan manusia biasa yang dimuliakan gelar, tapi manusia yang memuliakan ilmunya dengan akhlak. Dan hanya mereka yang menjaga amanah ini, yang pantas berdiri di mihrab kehormatan di sisi Tuhan.
Ya Allah,
Wahai Dzat yang menjadikan ilmu sebagai cahaya
dan menjadikan ulama sebagai pelita zaman,
Kami memohon kepada-Mu,
Dengan segala kerendahan dan harap,
Limpahkanlah rahmat dan berkah-Mu kepada para ulama,
penjaga warisan nubuwah,
penyambung tali langit dan bumi,
penuntun hati yang gelap menuju cahaya petunjuk-Mu.
Ya Rabbi,
Jadikan ilmu mereka ilmu yang bermanfaat,
yang menghidupkan jiwa dan mengangkat martabat manusia.
Karuniakan kepada mereka hati yang bersih dari cinta dunia,
lisan yang jujur dalam menyuarakan kebenaran,
dan keberanian menegakkan keadilan di tengah badai zaman.
Ya Allah,
Pelihara mereka dari kesombongan yang memadamkan hikmah,
dari kefaqiran yang menghinakan,
dan dari fitnah dunia yang memalingkan mereka dari amanah.
Jadikan mereka pemilik ilmu yang lembut tutur katanya,
kuat akhlaknya,
dan luas kasih sayangnya kepada umat.
Ya ‘Alim al-Khabir,
Teguhkan mereka dalam istiqamah,
berikan mereka kekuatan memikul beban zaman,
dan sabarkan mereka dalam mendidik umat dengan cinta.
Jangan Kau biarkan mereka sendirian dalam perjuangan,
iringi setiap langkah mereka dengan pertolongan dan penjagaan-Mu.
Ya Rahman,
Bagi para ulama yang telah kembali kepada-Mu,
lapangkanlah kuburnya,
angkat derajatnya bersama para shiddiqin,
jadikan ilmu yang mereka ajarkan sebagai amal jariyah,
yang terus mengalir sebagaimana sungai di taman surga.
Dan bagi para ulama yang masih Engkau hidupkan,
jadikan usia mereka berkah,
ilmunya menyejukkan bumi,
dan dakwahnya mempersatukan hati.
Amin, amin, ya Rabbal ‘Alamin. (ADS)