Dimensi-Dimensi Maknawi
Oleh Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek I Fakultas Pendidikan dan Keguruan Unisba)
SEGALA Puji bagi Allah, Pemilik segala kesempurnaan, yang menciptakan manusia dengan bentuk terbaik, mengaruniakan kepadanya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati untuk memahami.
Dalam dimensi-manusia yang kompleks, terdapat elemen-elemen mendasar yang menjadi inti keberadaannya: penalaran, perasaan, kesadaran, dan spiritualitas. Setiap aspek ini tidak hanya bersandar pada jasad yang fana tetapi juga pada hakikat batiniah yang abadi, menciptakan harmoni antara dunia fisik dan metafisik.
وَفِيٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Penalaran adalah kemampuan akal untuk memahami dan menafsirkan realitas. Dalam fisiknya, otak menjadi pusat kendali tetapi hakikat penalaran melampaui sekadar kerja saraf. Al-Qur’an mengarahkan manusia untuk menggunakan akalnya sebagai sarana mendekat kepada kebenaran.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, serta pada pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imran: 190)
Penalaran tidak hanya berfungsi untuk memecahkan masalah duniawi tetapi juga untuk menemukan keagungan Tuhan melalui tanda-tanda-Nya. Ayat ini mengajarkan bahwa penalaran adalah alat untuk memahami ciptaan sehingga manusia dapat mengenali Sang Pencipta.
Perasaan adalah getaran halus jiwa yang mencerminkan keindahan ciptaan Allah dalam bentuk kasih sayang, cinta, dan ketenangan. Secara fisik, jantung memompa kehidupan tetapi qalb (hati) menjadi pusat perasaan terdalam.
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَـٰنًۭا مَّعَ إِيمَـٰنِهِمْ ۗ
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka.” (QS. Al-Fath: 4)
Ayat ini menjelaskan bahwa perasaan tenang dan damai bukan sekadar hasil dari lingkungan eksternal, melainkan pancaran iman yang Allah tanamkan ke dalam hati orang-orang yang percaya kepada-Nya.
Kesadaran adalah cerminan kepekaan manusia terhadap eksistensi dirinya. Otak menjadi rumah bagi kesadaran tetapi ruh memberikan kehidupan sejati. Kesadaran bukan hanya tentang diri tetapi juga tentang hubungan manusia dengan Allah dan seluruh ciptaan.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”(QS. Al-Hasyr: 18)
Kesadaran tentang akhirat menjadi puncak kesadaran manusia. Ayat ini menegaskan bahwa kesadaran sejati bukan hanya terkait dunia ini, tetapi juga kesiapan menghadapi kehidupan abadi.
Spiritualitas adalah jiwa dari keberadaan manusia. Ruh menjadi elemen yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Seluruh ibadah, zikir, dan doa menjadi sarana untuk memperkaya dimensi spiritual ini.
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى فَقَعُوا۟ لَهُۥ سَـٰجِدِينَ
“Lalu Aku meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku; maka hendaklah kamu bersujud kepadanya.” (QS. Al-Hijr: 29)
Spiritualitas mengingatkan manusia akan asal-usulnya: ruh yang ditiupkan oleh Allah. Ruh inilah yang memampukan manusia untuk merasakan kehadiran Ilahi, melampaui segala batas jasadi.
Penalaran, perasaan, kesadaran, dan spiritualitas adalah anugerah ilahi yang saling berkelindan, membentuk manusia sebagai makhluk yang utuh. Mengabaikan salah satu aspek/dimensi ini berarti kehilangan harmoni yang telah Allah tetapkan dalam ciptaan-Nya.
Setiap dimensi adalah gerbang menuju hakikat diri, menuju keagungan Sang Pencipta. Dalam perjalanan meniti kehidupan, manusia terklasifikasi dalam ragam sifat berdasarkan cara mereka menyikapi dan memaknai anugerah tersebut.
Ada manusia yang menjadikan akalnya sebagai lentera untuk menguak rahasia semesta, merenungi tanda-tanda keagungan-Nya. Mereka adalah para pemilik akal yang aktif, yang dengan perenungan mendalam mampu membaca makna di balik penciptaan. Firman-Nya menggemakan panggilan ini:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)
Namun, ada pula mereka yang lalai, yang akalnya seperti cermin berdebu, tak mampu memantulkan cahaya kebenaran. Mereka berkata:
وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَـٰبِ ٱلسَّعِيرِ
“Sekiranya kami dahulu mendengarkan atau menggunakan akal, tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk: 10)
Di antara manusia, ada yang memiliki hati selembut sutra, dipenuhi cinta dan empati kepada sesama. Perasaan mereka adalah cerminan kasih-Nya, yang menghidupkan keindahan ukhuwah. Allah menyatakan:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌۭ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Namun, tak jarang hati menjadi keras, seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Ketika cinta digantikan kebencian, ketika kasih digantikan amarah, manusia kehilangan sisi kemanusiaannya. Firman-Nya mengingatkan:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِىَ كَٱلْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
“Kemudian setelah itu hati kamu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS. Al-Baqarah: 74)
Kesadaran adalah cermin di mana manusia dapat melihat hakikat keberadaan dirinya. Ada manusia yang sadar penuh akan tujuan hidupnya, memahami bahwa ia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Namun, ada pula yang tenggelam dalam kelalaian, hidup seolah hanya untuk dunia. Mereka adalah jiwa-jiwa yang melupakan Allah dan terlupakan pula oleh-Nya.
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hashr: 19)
Pada puncaknya, manusia dibedakan oleh tingkat spiritualitasnya. Ada mereka yang bertakwa, yang meniti hidup dalam keseimbangan antara cinta, harap, dan takut kepada Allah. Firman-Nya menegaskan:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka.” (QS. Fussilat: 30)
Sebaliknya, mereka yang fasik, yang menjauh dari jalan-Nya, memilih kegelapan atas terang, akan merasakan akibat dari pilihan mereka. Firman-Nya mengingatkan:
فَسَوْفَ نَحْشُرُهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ عُمْيًۭا وَبُكْمًۭا وَصُمًّۭا ۖ ”
Maka Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta, bisu, dan tuli.” (QS. Al-Isra: 97)(ADS)**