Hakikat Ilmu, Kitab, dan Hikmah
Oleh: Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)
ILMU adalah cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan, dan hikmah adalah pelita yang menuntun perjalanan ilmu menuju kebajikan. Keduanya bagaikan mata air dan aliran sungai, yang satu menjadi sumber, dan yang lain menentukan arah perjalanan. Ilmu melahirkan pemahaman, sedangkan hikmah melahirkan kebijaksanaan. Tidaklah sama seorang yang mengetahui dengan seorang yang memahami, sebagaimana tidaklah sama seorang yang cerdas dengan seorang yang arif.
وَمَنْ يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًۭا كَثِيرًۭا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Barang siapa yang diberi hikmah maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidaklah ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Ilmu adalah kepemilikan manusiawi, dapat diperoleh dengan usaha, penelitian, dan observasi. Sedangkan hikmah adalah anugerah ilahi, yang tidak dapat dikalkulasi hanya dengan kecerdasan semata. Ilmu memungkinkan seseorang mengetahui hukum sebab akibat tetapi hikmah memungkinkan seseorang menempatkan sebab akibat itu dalam harmoni kehidupan. Jika ilmu adalah perangkat akal maka hikmah adalah kedewasaan jiwa.
Lihatlah bagaimana Nabi Sulaiman, dengan kelembutan akalnya, menyempurnakan putusan ayahandanya, Nabi Daud. Sebuah ladang rusak diinjak-injak kawanan kambing, dan pemiliknya menuntut keadilan. Nabi Daud, dengan ilmunya, memutuskan agar kambing diberikan sebagai ganti rugi. Tetapi Nabi Sulaiman, dengan hikmahnya, menawarkan putusan yang lebih adil—pemilik ladang merawat kambing, pemilik kambing memperbaiki ladang, hingga masing-masing kembali pada kepemilikan semula.
فَفَهَّمْنَٰهَا سُلَيْمَٰنَ وَكُلًّا ءَاتَيْنَا حُكْمًۭا وَعِلْمًۭا ۚ
“Lalu Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman, dan kepada masing-masing Kami berikan hukum (hikmah) dan ilmu.” (QS. Al-Anbiya’: 79)
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara ilmu dan hikmah. Ilmu membawa seseorang kepada kesimpulan yang logis tetapi hikmah menuntunnya kepada keputusan yang tepat. Ilmu memberikan jawaban atas “apa” dan “bagaimana” tetapi hikmah menjawab “kapan” dan “mengapa”. Ilmu bisa menjadi pedang yang tajam tetapi tanpa hikmah, pedang itu bisa melukai pemiliknya sendiri.
Maka, ilmu tanpa hikmah bisa menjadi petaka. Betapa banyak orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk keburukan, menciptakan kehancuran dengan kepintarannya sendiri. Fir’aun menguasai ilmu pemerintahan tetapi ia tak memiliki hikmah hingga ia menuhankan dirinya. Qarun memahami ilmu ekonomi tetapi tanpa hikmah, ia tenggelam dalam kerakusan.
Sebaliknya, hikmah tanpa ilmu bisa menjadi kesia-siaan. Seseorang bisa merasa bijak tetapi tanpa ilmu yang benar, ia hanya akan berputar dalam ketidaktahuan yang dianggap kebenaran. Inilah mengapa Allah menyandingkan keduanya, ilmu dan hikmah, dalam banyak ayat-Nya.
وَلُوطًا ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًۭا وَعِلْمًۭا
“Dan kepada Luth, Kami berikan hikmah dan ilmu.” (QS. Al-Anbiya’: 74)
Lihatlah para nabi yang Allah anugerahi keduanya. Nabi Muhammad, seorang yang ummi, tidak hanya diberi ilmu tetapi juga hikmah. Ilmu membuatnya tahu tentang hukum-hukum Allah dan hikmah membuatnya mampu mengajarkan hukum itu dengan kelembutan dan kasih sayang. Ia tidak hanya memahami perintah tetapi juga memahami jiwa manusia yang menerima perintah itu.
Ilmu adalah keutamaan tetapi hikmah adalah kesempurnaan. Maka, barang siapa yang mengejar ilmu, janganlah ia lupa memohon hikmah. Sebab ilmu bisa diperoleh dengan usaha tetapi hikmah adalah cahaya yang Allah letakkan dalam hati yang bersih.
يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Maka, orang yang berilmu hendaknya tidak merasa cukup hanya dengan pengetahuannya. Ia harus berdoa agar Allah menganugerahkan hikmah. Sebab tanpa hikmah, ilmu bisa menjadi beban. Sebagaimana iblis memiliki ilmu tentang Allah tetapi tanpa hikmah, ia justru menolak sujud kepada Adam.
Mari renungkan, adakah kita mencari ilmu hanya untuk memenuhi akal, atau juga mencari hikmah untuk menyempurnakan jiwa? Adakah kita ingin menjadi orang yang tahu, atau ingin menjadi orang yang bijak.
Maka kita mohonkan kepada Allah, sebagaimana Nabi Sulaiman memohon:
رَبِّ هَبْ لِى حُكْمًۭا وَأَلْحِقْنِى بِٱلصَّٰلِحِينَ
“Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh.” (QS. Asy-Syu’ara: 83)
Semoga dengan ilmu yang bermanfaat dan hikmah yang menuntun, kita tidak hanya sekadar menjadi orang-orang yang mengerti tetapi juga menjadi orang-orang yang memahami, menimbang, dan bertindak dalam kebaikan.
Jika ilmu dan hikmah adalah dua sayap yang menerbangkan manusia ke puncak kebijaksanaan maka kitab dan hikmah adalah dua pilar yang menegakkan bangunan peradaban. Kitab adalah wahyu yang tertulis, dan hikmah adalah pemahaman yang menyingkap maknanya. Kitab adalah hukum, dan hikmah adalah jiwa yang menghidupkannya. Kitab adalah garis batas, dan hikmah adalah keseimbangan yang menjaga agar hukum tidak menjadi beban, dan kebebasan tidak menjadi kesesatan.
Allah menyebut kitab dan hikmah dalam beberapa ayat-Nya, menandakan bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًۭا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kalanganmu, yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikan kamu, mengajarkan kepadamu kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang sebelumnya tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 151)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan misi Rasulullah: membacakan ayat, menyucikan jiwa, mengajarkan kitab, dan mengajarkan hikmah. Ada tahapan dalam memahami agama: mendengar ayat-Nya, membersihkan hati agar layak menerima ilmu, memahami hukum yang tertulis dalam kitab, lalu menghayati dan menerapkan dengan hikmah.
Kitab Allah
Kitab adalah wahyu yang turun dari langit, hikmah adalah pemahaman yang tumbuh di bumi. Kitab adalah petunjuk yang menuntun manusia, hikmah adalah kesadaran yang membuat manusia menerima petunjuk itu dengan penuh kesadaran.
Betapa banyak orang yang menghafal kitab tetapi tidak memiliki hikmah? Mereka memahami teks, tetapi tidak memahami esensi. Mereka mengetahui hukum tetapi tidak memahami makna di balik hukum. Seperti seorang yang memiliki pedoman tetapi tidak tahu bagaimana menggunakannya.
Maka Allah mengajarkan bahwa kitab tanpa hikmah dapat menjadi kering, dan hikmah tanpa kitab bisa menjadi liar. Oleh karena itu, setiap kali Allah menyebut kitab dalam konteks pendidikan wahyu, Dia selalu menyertakannya dengan hikmah.
لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًۭا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍۢ مُّبِينٍۢ
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, padahal sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)
Sebelum datangnya wahyu, manusia berada dalam kegelapan yang nyata. Mereka memiliki peradaban tetapi tanpa tuntunan wahyu. Mereka memiliki hukum tetapi tanpa keadilan. Mereka memiliki ilmu tetapi tanpa petunjuk. Lalu Allah mengutus Rasul-Nya dengan dua bekal utama: kitab sebagai pedoman, hikmah sebagai penerang jalan.
Betapa banyak umat terdahulu yang binasa bukan karena mereka tidak memiliki kitab tetapi karena mereka kehilangan hikmah. Kaum Yahudi memiliki Taurat tetapi mereka menafsirkannya dengan hawa nafsu. Kaum Nasrani memiliki Injil tetapi mereka meninggalkan keseimbangan dalam hukum. Lalu Allah mengutus Rasul terakhir yang tidak hanya membawa kitab, tetapi juga mengajarkan bagaimana memahami dan mengamalkannya dengan hikmah.
Maka, siapa yang ingin memahami wahyu, jangan hanya membaca kitab tetapi carilah juga hikmahnya. Jangan hanya menghafal ayat tetapi renungkan kandungannya. Jangan hanya mengetahui hukum tetapi pahami juga tujuan di baliknya.
Di antara hikmah terbesar yang diberikan Allah kepada Rasulullah adalah kemampuannya untuk menerapkan kitab dengan keseimbangan. Ketika seorang datang dan berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku berzina,” Rasul tidak hanya berkata, “Itu haram.” Tetapi beliau mendekat, berbicara dengan hatinya, hingga orang itu sendiri menyadari kesalahannya. Itulah hikmah yang menyempurnakan kitab.
Inilah yang diajarkan oleh Islam. Bukan sekadar kitab yang tertulis tetapi juga hikmah yang menjelma dalam kehidupan nyata. Bukan sekadar hukum yang kaku tetapi juga kelembutan yang membimbing manusia untuk menerimanya dengan hati terbuka.
Sebagaimana yang Allah firmankan:
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًۭا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍۢ مُّبِينٍۢ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, padahal sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Maka, siapa yang ingin mendapatkan cahaya wahyu, ia harus menyelami kitab dan meresapi hikmah. Sebab kitab adalah teks, sedangkan hikmah adalah makna yang tersirat di dalamnya. Kitab adalah batasan hokum tetapi hikmah adalah kebijaksanaan dalam menerapkannya. Kitab adalah jalur yang harus ditempuh tetapi hikmah adalah cara berjalan di jalur itu agar sampai ke tujuan dengan selamat.
Sebagaimana ilmu tanpa hikmah bisa menjadi beban maka kitab tanpa hikmah bisa menjadi alat untuk menyesatkan. Seorang yang hanya berpegang pada teks tanpa memahami ruhnya, bisa terjatuh dalam fanatisme buta. Tetapi seorang yang hanya mengandalkan hikmah tanpa kitab, bisa terjebak dalam pemikiran bebas tanpa aturan.
Maka sempurnalah agama ini, ketika kitab dan hikmah bersatu. Sebagaimana kesempurnaan seorang hamba terletak pada kemampuannya memahami hukum dengan ilmu, dan menerapkannya dengan kebijaksanaan.
Ya Allah, sebagaimana Engkau telah mengajarkan kepada Rasul-Mu kitab dan hikmah, anugerahkan pula kepada kami pemahaman yang benar atas kitab-Mu, dan kebijaksanaan dalam mengamalkannya. Agar kami tidak hanya menjadi orang-orang yang tahu tetapi juga menjadi orang-orang yang arif. Tidak hanya memahami hukum tetapi juga memahami maksud-Mu di balik hukum itu. Tidak hanya berpegang pada teks tetapi juga berjalan dalam cahaya-Nya. (ADS)**