Hikmah Penderitaan
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)
DALAM tubuh yang tak lagi berdaya, terbaring seorang insan yang tak sekadar menanggung sakit, melainkan memikul waktu—hari-hari panjang yang bergulir lamban, seperti butiran pasir yang jatuh satu-satu dari jam yang tak berkesudahan. Ia bukan hanya sakit dalam raga, tetapi juga sedang meniti jalan sunyi ruhani, di mana suara dunia kian menjauh, dan yang terdengar hanyalah bisikan jiwa serta gema-gema takdir yang ditiupkan lembut dari langit.
Ia bukan sekadar orang sakit. Ia adalah hamba yang dipanggil untuk diam, agar mendengar lebih jernih pesan dari Tuhannya. Ketika tangan tak lagi kuat menggenggam, dan kaki tak lagi sanggup melangkah, maka jiwa pun diajak untuk bersujud lebih dalam dari yang pernah ia sangka—bukan dengan tubuh, melainkan dengan pasrah yang sebenar-benarnya pasrah.
Dalam detik-detiknya, kadang hadir sebersit tanya, “Ya Allah, mengapa Kau pilih aku?” Namun dari tanya itu, lahir rasa yang tak bisa dijelaskan oleh kata: rasa dipilih, rasa dilihat, rasa dicintai dalam bentuk yang tak biasa.
Kesunyian yang menyelubunginya bukan kehampaan. Ia adalah selimut rahmat, tempat qalbu belajar mengenal Rabb-nya bukan melalui nikmat, tapi melalui perih. Karena justru dalam perih itulah, tirai-tirai dunia mulai terbuka, dan hijab-hijab makna tersingkap. Ia kini tahu, bahwa kesembuhan hakiki bukan kembalinya kekuatan, melainkan kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang ridha dan diridhai.
Setiap malam, ia menatap langit-langit kamarnya yang pucat, namun di matanya itu adalah langit ketujuh. Ia berbicara diam-diam pada Tuhan—bukan memohon disembuhkan, tetapi memohon diberi makna. Ia menangis bukan karena tak tahan, tetapi karena rindu; rindu akan kedekatan yang ia rasakan hanya dalam kesendirian itu.
Dalam sakitnya, ia menyadari bahwa tubuh ini fana, dunia ini lalai, dan waktu adalah utusan Tuhan yang sabar. Maka ia pun mulai melepaskan, satu demi satu: ambisi, gengsi, bahkan ketakutan. Yang tertinggal hanyalah hati yang mengarah pada Nur Ilahi, yang kini terasa dekat seperti napas yang ia hembuskan pelan-pelan.
Dan bila ajal datang, ia tak akan lari. Ia telah berdamai. Ia telah mencinta. Ia telah menemukan kehidupan dalam sakit yang menanggalkannya dari dunia.
“Wahai Tuhan, jika sakit ini adalah panggilan-Mu, maka ajarilah aku untuk menyambutnya dengan hati seorang kekasih, bukan sekadar hamba yang terpaksa.”
Demikianlah suasana batin orang yang diuji menahun dalam sakit, menurut pandangan Islam yang batinnya telah merasuk dalam jiwa: bahwa derita bukanlah hukuman, tetapi madrasah para kekasih Tuhan.
وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.’”(QS. Al-Baqarah: 155–156)
Firman itu bagai embun di padang gersang. Ia pun belajar meneguk sabar, seteguk demi seteguk, meski pahit di awal, manis di ujungnya. Di tengah rasa yang meradang, ia temukan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh obat, melainkan hanya oleh keyakinan bahwa Tuhan tidak sedang menjauh, justru sedang menggenggam lebih erat.
Ia menunduk, bukan karena kalah, tapi karena sadar: segala daya telah ditanggalkan, hanya tawakkal yang masih tersisa sebagai perisai jiwa. Ia pun memeluk sabda suci itu:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka cukuplah Allah (menjadi penolong) baginya.” (QS. At-Thalaq: 3)
Dalam peluk ayat-ayat ini, hatinya mulai terjaga dari segala bisikan gelap: dari amarah pada takdir, dari dengki pada yang sehat, dari lelah yang ingin menyerah. Ia memilih sujud batin, menyerahkan derita menjadi doa, dan airmata menjadi dzikir.

Dr. Asep Dudi Suhradini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)Ia tahu, penyakitnya tak hanya mengikis tubuh, tetapi juga mengikis dosa. Maka ia pun bersyukur dalam bahasa yang hanya dimengerti para pencinta Ilahi:
مَا يُصِيبُ ٱلْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa kelelahan, penyakit, kesedihan, kesusahan, gangguan, atau kesempitan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sakit itu kini bukan lagi beban, tetapi cermin—untuk melihat betapa fana tubuh, betapa kekal jiwa. Ia mulai mengisi hari-harinya bukan dengan hitungan kesembuhan, tetapi dengan harap agar wafatnya nanti dalam keadaan husnul khatimah.
Dan jika suatu malam, ruhnya dijemput, maka ia telah menyiapkan satu permohonan dalam sujudnya yang paling lirih:
رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَـٰنًا نَّصِيرًا
“Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong.”(QS. Al-Isra’: 80)
Dan ia pun menutup matanya… bukan sebagai orang kalah, tapi sebagai pejuang sunyi yang pulang dalam damai. (ADS)



