Memaknai Istidraj dan Komunikasi Kontemplatif : Jalan Kembali dalam Keheningan
Dr. ME Fuady, M.Ikom ( Dosen Fikom Unisba dan Pengamat Komunikasi Politik )
SUATU hari seorang kawan lama menyapa. Tak disangka puluhan tahun kami tak berjumpa, malah bertemu secara tak sengaja. Obrolan ringan kami pun berlanjut ke pembicaran yang lebih berat. Berceritalah ia tentang masalah yang tengah dihadapi, pekerjaan, bisnis yang ia rintis, dan keluarga.
Ia bercerita, penghormatan pada atasan membuat ia manut saja saat ditawari minum miras, bersenang-senang hingga terjadi pergaulan bebas. Kemudian, ada masalah dengan atasan di tempat kerja yang membuatnya dipecat dari pekerjaan tapi ia yakin jika itu bukan akhir dari segalanya. Ia meyakini kasih sayang Allah begitu besar padanya. Berkali-kali jatuh namun ia selalu bangkit. Menurutnya, Allah selalu memberi jalan buat dia dalam berbisnis. Rejeki selalu ada meski ia menyadari selalu jatuh pada persoalan yang sama, yakni pergaulan bebas. Ia sadari dalam situasi yang penuh kekeliruan, namun Allah tetap memberi banyak rejeki kepadanya. “Allah sayang ama saya”, begitu katanya.
Istidraj, itu terlintas di benak saat ngobrol dengannya. Saat Tuhan memberi kita banyak kesenangan, kenikmatan, sementara kita bergelimang dosa, melakukan kemaksiatan, masih berjalan di tempat yang keliru, kita harus berhati-hati. Jangan-jangan itu bukan nikmat Allah yang hakiki, bukan bentuk Maha Kasih Allah tapi istidraj.
Istidraj dapat dimaknai sebagai kesenangan yang diperoleh seseorang yang menjauh dari Tuhan dan hukuman tidak diberikan langsung kepadanya. Allah biarkan orang tersebut dan tidak disegerakan azab atas dirinya.
Kata Nabi,َ “Apabila engkau melihat Allah memberi karunia dunia kepada seorang hamba sesuai dengan yang ia inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu hanya istidraj dari-Nya.” (HR. Ahmad)
Kita memaknai semua pemberian Tuhan adalah bentuk Rahman dan Rahim, itu tidak salah tetapi kita harus tanyakan pada diri sendiri seperti apa perilaku kita. Kita perlu bercermin, apa kita sudah beranjak dari jalan yang keliru ke jalan yang diridhoi Allah. Apa kita tetap membiarkan diri kita di jalan yang tidak maslahat. Bila iya, jangan berpikir itu adalah sayangnya Allah pada diri kita. Boleh jadi itu adalah sebuah hukuman dari Allah.
Seperti yang sudah Allah firmankan dalam al-Qur’an. “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.Al-An’am: 44).
Pada istidraj, orang tertimpa masalah. Boleh jadi ia mendekat pada Tuhan lalu terbebas dari masalah, kemudian ia malah lupa diri, menikmati kesenangan duniawi hingga semakin menjadi-jadi. Ketika ia mengabaikan ketentuan Allah, diberikanlah semua kesenangan padanya. Setelah kesenangan demi kesenangan datang, tiba-tiba datang hukuman dari Allah dalam berbagai bentuknya. Mungkin ada yang jatuh miskin, dibuka aib, nama baik hancur, jatuh dari posisi puncak seperti terjun ke kubangan lumpur, dan siksaan pedih yang menanti saat/setelah ajal datang.
Allah berfirman, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsuur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44).
Jadi, semua tindakan maksiat seseorang, Allah balas dengan kenikmatan semu, dan Allah membuatnya lupa untuk mengingat Allah. Dijauhi Allah adalah sebuah tragedi bagi seorang hamba.
“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raaf : 178).
Komunikasi Kontemplatif: Jalan Kembali dalam Keheningan
Dalam memaknai segala pemberian Allah, kita membutuhkan ruang dan momen untuk mendengarkan kembali suara hati. Hadirnya kesadaran untuk berdialog dengan diri sendiri, menelusuri ulang arah hidup, dan membaca pesan-pesan ilahi yang kerap tersembunyi di balik peristiwa yang kita alami. Itulah komunikasi kontemplatif.
Melalui keheningan dan perenungan, manusia belajar mencermati ulang setiap nikmat dan ujian sebagai cara Tuhan mengirimkan pesan. Apakah rezeki yang datang telah mendekatkan kita pada Allah, atau justru menjerumuskan kita ke dalam kelalaian. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab ketika kita berhenti sejenak dari berbagai hiruk-pikuk kehidupan dan menatap cermin batin kita sendiri.
Komunikasi kontemplatif bukan perkara kata, melainkan kejujuran dan kejernihan hati. Ia menuntun manusia untuk menyadari bahwa istidraj sering kali hadir sebagai peringatan yang dikemas dalam bentuk kenikmatan. Dengan kontemplasi, manusia berhenti berlari mengejar kesenangan yang semu, lalu memberi ruang bagi kesadaran baru bahwa setiap karunia harus diiringi rasa syukur, ketaatan, dan setiap cobaan adalah panggilan halus dari Tuhan agar kita kembali kepada-Nya.
Melalui komunikasi yang kontemplatif, manusia berdialog dengan dirinya sendiri untuk sampai kepada Tuhannya, membaca pesan-pesan Allah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa, dan menolak segala bentuk kenikmatan yang menyesatkan. Dalam keheningan, manusia dapat menemukan jalan pulang menuju Allah.
Kembali pada kisah kawan saya tadi, semoga kita tak keliru dalam memaknai kenikmatan yang diberikan Allah. Belum tentu nikmat itu adalah bentuk kasih sayang-Nya, bisa jadi itu istidraj bila kita termasuk orang yang membiarkan diri terus bergelimang dalam kekeliruan yang disengaja.
Akhir kata, semoga rezeki yang kita peroleh benar-benar bagian dari Rahman dan Rahim Allah. Bukan istidraj, bukan kenikmatan semu yang diberikan Allah karena kelakuan seperti si ucing garong dan di akhir ada azab menanti. Dan, selalu terbuka jalan kembali bagi seorang hamba menuju Tuhannya.**



