Opini

Mendadak Saleh

TIDAK semua orang menempuh jalan iman dengan langkah yang teratur sejak awal. Ada yang tersesat lebih dulu, lalu kembali. Ada pula yang tidak pernah menyangka dirinya akan berubah, sampai suatu hari hidup menamparnya keras. Mendadak ia mencari makna. Mencari Allah.

Perubahan itu tak selalu datang karena ketulusan yang dirancang. Kadang datang karena keterpaksaan hidup, kesakitan hati, atau kehilangan besar. Tapi agama membuka ruang seluas-luasnya. Dalam Islam, pintu taubat tidak dikunci. Yang mendadak kembali, diterima dengan tangan terbuka — selama ia sungguh-sungguh ingin berubah.

Mendadak soleh atau solehah sering kali muncul setelah guncangan psikologis. Orang yang merasa dirinya berada di titik nol, merasa butuh pegangan, butuh arah. Perubahan spiritual menjadi pelarian yang membawa kelegaan emosional. Ini bukan kemunafikan, melainkan reaksi manusiawi.

Seseorang bisa menjadi religius karena ingin menenangkan hatinya. Ia mulai shalat, mulai membaca Al-Qur’an, bukan karena tiba-tiba menjadi alim, tapi karena ia butuh tempat berpijak yang stabil di tengah ketidakpastian.

Dari luar, orang yang mendadak tampil lebih religius sering dicurigai. Apalagi jika sebelumnya ia dikenal bebas, kritis, atau bahkan nakal. Lingkungan kadang tidak siap menerima perubahan yang cepat. Masyarakat lebih mudah memaafkan kesalahan yang konsisten, daripada kebaikan yang mendadak.

Padahal, perubahan itu nyata. Hanya saja belum rapi. Orang yang mendadak berubah masih belajar menyesuaikan diri. Masih terjebak antara niat baik dan pengalaman lama. Ia butuh waktu, bukan penghakiman.

Ada satu titik dalam hidup di mana seseorang merasa semua yang ia kejar selama ini kosong. Gelar, pekerjaan, kekasih, teman — semuanya tak mampu menjawab pertanyaan paling sederhana: untuk apa aku hidup?

Pertanyaan itu bisa muncul di usia berapa pun, di tempat mana pun. Dan saat tidak ada jawaban memuaskan dari dunia, seseorang akan melihat ke dalam. Di sana, barangkali ia menemukan Tuhan. Dan saat itulah, “mendadak soleh” bukan lagi fenomena aneh, melainkan fase penting dari perjalanan eksistensial manusia.

Dalam pandangan Islam, tidak ada standar waktu yang ditentukan untuk menjadi orang baik. Perubahan bisa datang kapan saja. Yang penting adalah ketulusan dan kesungguhan.

Allah tidak melihat berapa lama seseorang berada dalam kesesatan, tapi bagaimana ia kembali.

قُلْ يَا عِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar: 53)

See also  Menikah Karena Kerinduan untuk Pulang

Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan, meski terlambat atau terkesan “mendadak”, tetap sah di hadapan Allah — bahkan disambut dengan ampunan penuh.

Dalam banyak kisah Islam, kita melihat bagaimana masa lalu seseorang bukan penghalang untuk mendapat tempat mulia. Umar bin Khattab, sebelum masuk Islam, adalah tokoh yang menentang Nabi. Tapi setelah berhijrah, ia menjadi pemimpin besar. Yang Allah nilai adalah hati dan amal setelah hidayah datang.

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا فَأُو۟لَـٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍۢ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka mereka itu, kejahatan mereka akan diganti Allah dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS Al-Furqan: 70)

Ayat ini menegaskan: bahkan dosa-dosa yang lama bisa diganti menjadi kebaikan — jika seseorang benar-benar kembali dan memperbaiki dirinya.

Islam tidak mengenal kasta dalam urusan hidayah. Tidak ada istilah “terlalu kotor untuk jadi bersih”. Setiap manusia punya peluang untuk menjadi lebih baik.

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS An-Nisa: 48)

Artinya, selama seseorang belum terjerumus ke dalam kesyirikan dan terus berusaha memperbaiki diri, pintu taubat dan perubahan masih sangat terbuka.

Kadang kita melihat orang yang baru belajar agama, baru berhijab, baru rajin ke masjid, dan kita menyangka dia sedang “pencitraan” atau tidak konsisten. Padahal kita tidak tahu apa yang sedang ia perjuangkan. Sikap Islam terhadap orang seperti ini adalah mendoakan, bukan mencibir.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌۭ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًۭا مِّنْهُمْ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, bisa jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik daripada mereka (yang merendahkan). (QS Al-Hujurat: 11)

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

Perubahan seseorang bukan urusan kita untuk diadili. Tugas kita adalah menundukkan ego, dan membuka ruang persaudaraan.

Menjadi soleh atau solehah bisa terjadi seketika. Tapi menjadi tetap soleh — di situlah ujian sebenarnya dimulai. Banyak orang tergerak hatinya oleh hidayah, oleh musibah, oleh momen penting dalam hidup. Tapi setelah itu, dunia tetap berjalan seperti biasa, dan tantangan kesalehan tidak datang dalam bentuk dramatis, melainkan dalam bentuk godaan sehari-hari: kemalasan, pengaruh lingkungan, hilangnya motivasi, dan rutinitas yang menggerus semangat.

See also  Dahsyatnya Sodaqoh dan Amal Saleh Bagi Manusia

Kesalehan bukan benda mati. Ia seperti tanaman yang, setelah tumbuh tunas, harus disiram dan dijaga dari hama. Bila dibiarkan, ia akan layu. Bila dirawat, ia akan tumbuh menjadi kekuatan yang menetap dalam diri.

Allah memperingatkan bahwa hati manusia bisa berbolak-balik. Tidak cukup hanya satu kali berubah. Perubahan harus terus dijaga.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi karunia.” (QS Ali Imran: 8)

Doa ini adalah bentuk kesadaran bahwa hidayah harus dijaga, dan kesalehan harus terus dipohonkan.

Iman manusia tidak stabil. Bahkan para sahabat Nabi pun mengakui bahwa iman mereka naik dan turun. Karena itu, salah satu cara merawat kesalehan adalah dengan menciptakan lingkungan yang mendukung — memilih teman yang baik, mengikuti majelis ilmu, dan menjauh dari hal-hal yang bisa memadamkan semangat ibadah.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّـٰدِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS At-Taubah: 119)

Lingkungan bukan hanya memperkuat perilaku, tapi juga membentuk kepribadian. Kesalehan yang dibiarkan sendirian mudah padam.

Seringkali orang merasa kesalehan cukup ditandai dengan rajin shalat atau memakai simbol agama. Padahal, Islam memandang kesalehan secara holistik. Ia harus tampak juga dalam kejujuran, tanggung jawab, akhlak terhadap orang lain, dan kesungguhan dalam menepati janji.

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS Al-‘Ankabut: 45)

Artinya, ibadah bukan sekadar gerakan, tapi harus berpengaruh nyata pada perilaku. Jika tidak, maka kesalehan itu rapuh.

Kesombongan spiritual adalah penyakit tersembunyi. Orang yang merasa dirinya sudah baik bisa terjebak dalam stagnasi. Ia tidak lagi merasa perlu belajar, atau memperbaiki diri. Dalam Islam, seseorang diminta untuk selalu merasa butuh pertolongan Allah dalam mempertahankan kesalehan.

فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32)

See also  Yuk, Belajar Optimis

Kesalehan sejati tumbuh dalam kerendahan hati, bukan dalam perasaan lebih baik dari orang lain.

Berubah menjadi lebih baik adalah langkah awal. Tapi merawat perubahan itulah ujian seumur hidup. Dalam Islam, kesalehan bukan status tetap. Ia harus diperjuangkan setiap hari — dalam pikiran, perasaan, dan tindakan nyata.

Jika hari ini seseorang mendadak soleh, maka esok harinya ia harus mulai belajar untuk bertahan dalam kesalehan. Dan itu bukan perjalanan mudah — tapi sangat mungkin, selama Allah masih menjadi tujuan utamanya.

Ada yang menunda taubat karena merasa dirinya belum siap. Ada yang ragu-ragu untuk mulai shalat karena takut dianggap sok suci. Ada pula yang enggan berubah karena khawatir disebut munafik. Padahal, dalam Islam, tidak ada istilah terlalu cepat menjadi baik. Yang ada adalah terlalu lama menunda perbaikan.

Rasa malu untuk menjadi baik seringkali bukan karena iman, tapi karena gengsi dan takut dihakimi. Padahal yang patut ditakuti bukanlah pandangan manusia, melainkan penilaian Allah.

قُلْ يَـٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar: 53)

Ayat ini bukan hanya tentang ampunan, tapi juga tentang keberanian untuk kembali ke jalan yang benar, tanpa menunda.

Berubah secara mendadak ke arah kebaikan bukanlah aib. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tahu kebenaran, tetapi terus menolaknya.

Nabi Muhammad ﷺ pun mengingatkan bahwa setiap manusia bersalah, dan sebaik-baik orang bersalah adalah mereka yang segera bertaubat:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi)

Bila ada orang yang “mendadak soleh,” maka sesungguhnya ia telah mengambil keputusan besar. Ia memilih untuk mengubah arah hidupnya ke jalan yang diridhai Allah. Ia layak didukung, bukan dicibir. Karena kesalehan — meski datang mendadak — bisa menjadi titik balik yang menyelamatkan hidup seseorang, dunia dan akhirat.

Kesalehan tidak menunggu waktu yang sempurna. Tapi ia datang kepada siapa saja yang berani melangkah — hari ini, sekarang, bahkan meski baru satu langkah. Maka jangan malu untuk mendadak soleh. (ADS)

Show More

Related Articles

Back to top button