Menelusuri Sejarah Kelam Bani Israil
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

AYAT-AYAT QS Al-Isrā’ 17: 4–8 menceritakan pola sejarah yang dialami Bani Israil. Allah menetapkan dalam kitab bahwa mereka akan melakukan dua bentuk kerusakan besar yang disertai dengan kesombongan moral dan politik. Para mufassir klasik menjelaskan bahwa kerusakan itu tidak hanya berupa pelanggaran ajaran agama tetapi juga tindakan sosial-politik yang menimbulkan ketidakadilan dan penindasan.
Ketika kerusakan yang pertama terjadi, Allah mengutus suatu kekuatan besar sebagai alat hukuman. Tafsir menyebut mereka sebagai pasukan Babilonia yang dipimpin Nebukadnezar. Kota-kota dihancurkan, struktur sosial runtuh, dan Bani Israil mengalami masa kelam sebagai akibat dari perilaku mereka sendiri. Namun setelah masa kehancuran itu, Allah memberikan kesempatan bangkit. Mereka kembali membangun peradaban, populasi bertambah, dan kekuatan sosial mereka pulih. Ini dipahami para mufassir sebagai bukti bahwa azab tidak menutup jalan rahmat.
Tetapi sejarah berulang: kerusakan kedua muncul. Kali ini lebih parah karena lahir dari akumulasi kesombongan dan penyimpangan yang kembali meluas. Maka datanglah pasukan Romawi di bawah Titus yang menghancurkan Yerusalem dan tempat ibadah mereka. Para mufassir sepakat bahwa inilah “hukuman kedua” yang disebut dalam ayat.
Sampai di sini, tafsir klasik menegaskan bahwa dua hukuman besar itu telah terjadi. Akan tetapi satu bagian ayat tetap relevan sepanjang zaman, yaitu pernyataan Allah: “Jika kalian kembali (berbuat kerusakan), maka Kami pun akan kembali (menghukum).”
Ini menandai bahwa sunnatullah dalam sejarah tidak berhenti pada dua peristiwa tersebut; pola moralnya berlaku untuk semua masyarakat dan semua zaman.
Multitafsir
Dalam konteks dunia modern, sebagian mufassir dan pemikir kontemporer melihat adanya resonansi antara pola sejarah yang disebutkan ayat dengan fenomena Zionisme. Mereka tidak menyebut ayat tersebut sebagai nubuwat langsung bagi Israel modern, namun menilai bahwa beberapa karakter yang ditampilkan dalam konflik Palestina—klaim supremasi, dominasi politik, penindasan warga sipil, serta ekspansi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan—serupa dengan pola kerusakan sosial dan kesombongan yang pernah dicatat sejarah sebelumnya.
Pendekatan ini bukan tafsir nubuwat yang bersifat tegas atau literal tetapi bacaan moral-historis bahwa setiap kekuatan yang membangun hegemoninya melalui kezaliman dan perampasan hak, cepat atau lambat akan berhadapan dengan putaran sejarah yang meruntuhkan kezaliman tersebut.
Ayat ini tidak menunjuk kelompok tertentu secara eksplisit, namun pesan universalnya jelas: ketika kerusakan dan keangkuhan kembali dilakukan oleh suatu bangsa, negara, kelompok, atau kekuasaan apa pun maka hukum sejarah yang sama akan kembali menimpa mereka.
Dengan demikian, ayat ini tetap relevan di tengah konflik modern—bukan karena ia menubuatkan politik masa kini tetapi karena ia menggambarkan hukum moral yang tak berubah bahwa kekerasan yang dibungkus klaim kebenaran, dominasi yang mengabaikan nilai kemanusiaan, serta kekuasaan yang berdiri di atas penindasan, pada akhirnya akan menghadapi konsekuensi yang sama sebagaimana terjadi pada umat-umat terdahulu.
Yang menarik, ayat tersebut tidak ditutup dengan ancaman tetapi dengan harapan: “Mudah-mudahan Tuhan kalian merahmati kalian.” Kalimat ini menunjukkan bahwa perubahan moral dan sosial selalu mungkin, dan rahmat Allah tetap terbuka bagi siapa pun yang meninggalkan kesombongan dan kembali kepada keadilan.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, ayat ini mengajarkan bahwa sejarah bergerak mengikuti hukum keadilan; bangsa atau kelompok mana pun bisa maju bila berpegang pada kebenaran; dan kekuatan apa pun yang dibangun di atas kezaliman akan menemukan kehancurannya sendiri.
Ya Allah, Rabb yang menuntun sejarah sebagaimana Engkau menata perjalanan langit dan bumi,
Engkau yang mengalirkan hikmah di balik setiap peringatan, menyingkap makna di balik setiap janji, dan mengabadikan jejak setiap kaum agar menjadi cermin bagi generasi setelahnya.
Kami memohon kepada-Mu wahai Dzat Yang Maha Lembut,
jadikanlah firman-Mu dalam Surah al-Isrā’ ayat 4–8 sebagai cahaya yang menuntun pemahaman kami—
bahwa kesinambungan ujian dan pertolongan adalah bagian dari sunnah-Mu;
bahwa keangkuhan selalu menjadi awal keruntuhan;
dan bahwa kezaliman, siapa pun pelakunya dan kapan pun terjadinya, pasti Engkau hadapkan pada akibatnya.
Ya Allah,
ketika sejarah bergerak dan tanda-tanda zaman berkelindan,
teguhkan hati kami agar tidak terperangkap dalam kegaduhan,
namun mampu membaca pergerakan dunia dengan kejernihan wahyu dan keluasan ilmu.
Lindungilah tanah-tanah suci-Mu,
tanah yang Engkau muliakan dengan tapak para Nabi,
tanah yang kini menjadi saksi bagi kesombongan kekuatan dan jeritan mereka yang tak berdaya.
Curahkan penjagaan-Mu atas orang-orang tertindas, dan selimutilah mereka dengan sabar, lapang, dan kemenangan yang Engkau janjikan bagi hamba-hamba yang istiqamah.
Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan keadaan,
kami berlindung kepada-Mu dari kezaliman dan dari menjadi bagian dari lingkaran kezaliman.
Bukakanlah bagi kami jalan untuk menjadi bagian dari perbaikan,
bukan perusak;
menjadi penegak keadilan,
bukan pengikut kesombongan;
menjadi pembawa rahmat,
bukan pemicu keretakan antar anak manusia.
Ya Allah,
jadikanlah kami hamba yang membaca ayat-ayat-Mu dengan mata yang jernih,
menafsirkan sejarah dengan hati yang takut kepada-Mu,
dan mengambil hikmah dengan kebijaksanaan yang Engkau tanamkan dalam dada mereka yang Kau kehendaki.
Dan ketika dunia semakin berat,
ketika tanda-tanda semakin rapat,
jadikan kami termasuk golongan yang berpegang teguh pada janji-Mu,
yang bersandar pada-Mu dalam segala ketidakpastian,
dan yang tidak pernah putus dari harapan kepada-Mu.
Rabbanā, la tuzigh qulūbanā ba‘da idh hadaytanā, wahab lanā min ladunka rahmah, innaka anta al-Wahhāb.
Amin. (ADS)



