Menjadikan Madrasah Ahlu Shuffah sebagai Model
Madrasah intelektual pertama Islam sebagai lembaga “proyek peradaban” adalah Madrasah Ahlu Shuffah. Ahlu Shuffah berarti orang-orang yang tinggal di bagian shuffah, bagian masjid yang ada di dekat mimbar Masjid Nabawi yang mengarah ke Masjid Al-Aqsa, oleh karena itu kita simpulkan shuffah memang telah ada sejak awal masjid Rasulullah ini dibangun.
Ya, madrasah yang dijadikan ‘pondok pesantren’ oleh kebanyakan para shahabat kalangan kaum miskin-papa ini sudah ada sejak kiblat Islam masih menghadap ke Masjid Al-Aqsa di Palestina.
Awal mulanya, pembelajaran dan majelis ilmu telah ada sejak wahyu-wahyu pertama diturunkan di kota suci Makkah, terutama di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam yang dikenal sebagai Darul Arqam.
Bertahun-tahun berlalu, setelah peristiwa hijrah ke Madinah, proses pembelajaran pun dilanjutkan di shuffah, Masjid Nabawi, di mana para shahabat radhiyallahu’anhum ber-thalabul ilmi dan berdiskusi tentang bacaan Al-Qur’an, kandungan makna dan hukum Al-Qur’an, cara mengamalkannya; serta mempelajari sunnah Nabi. Benar jika dikatakan shuffah hanyalah salah satu tempat belajar saja, kadang Nabi mendidik para shahabat di perjalanan, atau dalam situasi-situasi lain yang cenderung tidak formal.
Para Ahlu Shuffah kebanyakan kaum faqir dan miskin, musafir, dan orang yang ingin fokus di bidang ilmu Al-Qur’an dan fiqihnya. Mereka dibina langsung oleh Rasulullahﷺ, terkadang oleh shahabat Nabi yang diberi amanah mengajar seperti Ubadah bin Shamit, Zaid bin Tsabit, Abullah bin Mas’ud, Salim Maula Abu Hudzaifah atau Ubay bin Ka’ab. Terkadang pula Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Thalib turut mengajar di Madrasah Ahlu Shuffah. Mereka bisa dikatakan tim asatidz (pengajar, pendidik) di ma’had pertama umat Islam di muka bumi tersebut.
Menurut Syaikh Akram Dhiya Al-Umari dalam kitabnya Sirah Nabawiyah Ash-Shahihah, yang mengutip Imam Al-Asbhahani, jumlah mereka yang mondok di shuffah Masjid Nabawi berkisar 70-80 orang, bahkan terkadang lebih dari 100 orang jika banyak kabilah luar Madinah yang bersafar dan tholabul ilmi.
Kegiatan Madrasah Ahlu Shuffah memang amat mirip dengan pondok pesantren dan madrasah di zaman ini. Ada pondoknya (tempat bermukim), yang berfungsi juga jadi tempat belajar; ada waktu makan bersama-sama, baik disediakan oleh Nabi atau pun para shahabat lainnya yang punya makanan lebih; ada shahabat yang diupah shahabat lain karena mengajarkan membaca dan menulis Al-Qur’an seperti Ubadah bin Shamit, di mana beliau seorang faqih yang menerima upah berupa busur panah. Membaca dan Menulis Al-Qur’an menjadi pemandangan sehari-hari, mempelajari kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, coba mentadabburi dan memahaminya, sampai belajar bagaimana cara mengamalkannya. Tidak jarang pula dari mereka ada yang menulis tafsir-tafsir ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi.
Rasulullah nampak mempersiapkan para ahlu shuffah sebagai guru peradaban di masa selanjutnya. Maka kita lihat para shahabat seperti Abu Hurairah, Salim Maula Abu Hudzaifah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Salman Al-Farisi, dan Hudzaifah ibnul Yaman, mereka semua adalah para guru di bidangnya masing-masing, keunggulan mereka sangat menonjol di fase akhir masa Rasulullah dan di zaman khulafaurasyidin.
Mereka yang mengambil sanad Al-Qur’an, akan banyak menemui di riwayat ‘ala-nya nama-nama Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, atau nama Ali bin Abi Thalib. Al-Qur’an riwayat Imam Hafsh dari qiroat Imam ‘Ashim sebagai qiroat Al-Qur’an mayoritas di dunia Islam akan menemui nama-nama mereka di rawi ‘ala-nya (perawi tertinggi kalangan shahabat).
Abu Hurairah, merupakan shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, sehingga yang belajar hadits dan mendapat sanad hadits akan menemui namanya yang mulia. Belum lagi nama-nama seperti Mush’ab bin Umair dan Hanzhalah, yang diingat karena heroisme dalam perang Uhudnya dan mereka berdua adalah syuhada perang Uhud ‘alumni’ Madrasah Ahlu Shuffah.
Tidak ketinggalan, nama Salman Al-Farisi merupakan shahabat Nabi mualaf dari Majusi-Persia yang paling bertanggung jawab terhadap majunya industri senjata militer umat Islam. Senjata mutakhir yang dimiliki umat Islam manjaniq dan dabbabah, itu adalah hasil dari design Salman karena Salman orang Persia yang senjata militernya sangat ditakuti di zamannya. Bahkan seringkali lebih unggul dari Romawi. Sebagian riwayat menyatakan bahwa manjaniq dan dabbabah mulai dipakai di Perang Thaif (bulan Syawal 8 Hijriyah), sebagian lagi menyatakan kalau sudah dipakai sejak Perang Khaibar melawan Yahudi (bulan Muharram 7 H). Atau ada juga nama Hudzaifah Ibnul Yaman, yang banyak meriwayatkan hadits tentang akhir zaman dan peperangan di masanya.
Perlu diketahui bahwa beliau adalah intelejen Rasulullah, seorang yang pemberani untuk memasuki barisan musuh serta pemegang rahasia Rasulullah. Semua nama-nama tadi tidak lain merupakan alumni Madrasah Ahlu Shuffah.
Sering kali dilupakan, Madrasah Ahlu Shuffah sangat menekankan kalau pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah sewajibnya dibarengi setelah belajar. Maka dari itu, misalnya, ketika ada perintah Allah dan RasulNya tentang sabar, mereka akan sabar dan wajib mengamalkan (praktik) sabar, belajar dari kegetiran hidup dan kemiskinan, apalagi kebanyakan mereka memang orang-orang serba kekurangan, meski ada yang Ahlu Shuffah sebenarnya ia orang mampu tapi lebih memilih hidup demikian demi thalabul ilmi. Bertalaqqi dengan Rasulullah dan para shahabat yang lebih tinggi ilmunya.
Ketika ada ayat-ayat perintah Allah dan juga perintah Rasulullah yang mewajibkan mereka berangkat dakwah dan jihad, para ‘santri’ Ahlu Shuffah sangat terdepan. Mereka yang paling dulu menjawab seruan dakwah dan jihad meski itu sangat beresiko bagi mereka.
Mereka sadar, jika menaati Al-Qur’an apalagi sudah diperintahkan Rasulullah, ketika mereka mendapat suatu tugas sama nilai imbalannya dengan kebahagiaan hidup dunia-akhirat, serta berujung Surganya Allah yang kekal abadi.
Maka praktik-praktik dakwah, saling memberi dan berbagi, memanah, berkuda, berenang, membuat visi-misi peradaban Islam, pertolongan pertama pada orang yang sakit dan terluka, sampai keterampilan-keterampian penunjang berjuang fii sabilillah juga merupakan termasuk tarbiyah (pendidikan) dalam bidang pembinaan dan perencanaan peradaban. Tidak terkecuali untuk pendidikan generasi muda di zaman sekarang.
Muatan ‘kurikulum’ dan program harus mencakup yang melatih akal serta keterampilan generasi muda dalam menghadapi tantangan dakwah dan perjuangan Islam. Itu semua harus dilatih dan dijadikan kebiasaan, sebagaimana para Ahlu Shuffah dahulu kala.
Visi-misi peradaban Islam yang berjaya yang berkaca pada Ahlu Shuffah akan menemui hasilnya ketika generasi muda ummat Islam sudah siap secara ruh, akal dan keterampilan untuk membebaskan Baitul-Maqdis Palestina dan juga siap untuk futuhat Roma. Menjadi penopang sebuah peradaban wahyu. Insyaallah. Wallahu’alam.