
METODE dakwah bil kitabah adalah penyampaian pesan dakwah melalui medium tulisan, baik cetak (buku, majalah, koran, buletin) maupun digital (blog, media sosial, konten visual berbasis teks). Tulisan dipandang sebagai sarana dakwah yang abadi karena terdokumentasi dan dapat dibaca berulang kali lintas generasi. Meskipun kini kita ada di era digital (paperless) tapi kekuatan medium tulisan masih kuat, meskipun medianya berubah menjadi digital. Dulu orang masih memelototi tulisan di koran atau buku. Tapi kini beralih ke tulisan yang muncul di media online, ebook, dan media sosial. Esensinya tetap sama, yaitu merenungi teks-teks yang disajikan oleh penulisnya (konten creator).
Landasan normatif metode ini terdapat pada QS. Al-Qalam [68]:1 “Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” serta prinsip dakwah bil hikmah (QS. An-Nahl [16]:125). Tulisan bukan hanya sarana informasi tetapi juga instrumen internalisasi nilai Islam yang mendidik, persuasif, dan etis.
Perubahan ini juga diakibatkan karena pengaruh Teori Mediamorfosis. Rena Puji Wahyuni dalam skrispinya yang berjudul “Studi Kasus Mengenai Peralihan Majalah HAI dari Media Cetak Menjadi Media Online (skripsi, 2019)” menyebutkan, dari dulu sebenarnya sudah banyak proses mediamorfosis yang dilakukan, contohnya saat kemunculan radio. Saat itu para aktivis surat kabar harus menyusun strategi agar surat kabar bisa tetap bertahan dan bisa bersaing dengan radio penyiaran saat itu. Hingga akhirnya dilakukan beberapa penyesuaian dan surat kabar pun masih bisa bertahan. Begitu pula hingga saat ini, kemunculan internet mendorong para pekerja media untuk menyusun kembali strategi dan kembali melakukan mediamorfosis.
Mediamorfosis berasal dari dua kata, yakni media dan metamorfosis. Metamorfosis diartikan sebagai proses transformasi sebuah makhluk hidup sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Roger Fidler pertama kali memperkenalkan konsep mediamorfosis pada artikelnya di surat kabar. Pada artikelnya Roger Fidler ingin menjabarkan pengaruh teknologi baru kepada media utama, seperti surat kabar, majalah, televisi, dan radio guna meminimalisir ketakutan atas hadirnya teknologi media yang baru ini.
Dalam bukunya ‘Mediamorfosis’, Roger menjelaskan bahwa proses mediamorfosis diakibatkan atas pengaruh yang kompleks, tidak sekadar karena satu aspek saja. Hampir segala aspek bisa memengaruhi perubahan yang terjadi tersebut. Transformasi media komunikasi, yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan dan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi. (Fidler, 2003: 35) Roger menjabarkan mediamorfosis berasal dari tiga konsep yang berkaitan dengan mediamorfosis, diantaranya adalah koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas (Fidler, 2003:36).
Roger Fidler mengembangkan konsepnya tentang Mediamorfosis yang awalnya ia kemukakan dalam sebuah artikel yang dimuat di koran. Hasil pengembangannya menyebutkan bahwa mediamorfosis bukanlah sekadar teori sebagai cara berpikir yang terpadu tentang evolusi teknologi media komunikasi. Mediamorfosis mendorong kita untuk memahami semua bentuk sebagai bagian dari sebuah sistem yang saling terkait dan mencatat berbagai kesamaan dan hubungan yang ada antara bentuk bentuk yang muncul di masa lalu, masa sekarang dan yang sedang dalam proses kemunculannya. Dengan mempelajari sistem komunikasi secara menyeluruh, kita akan menemukan bahwa media baru tidak muncul begitu lama. Ketika bentuk-bentuk media komunikasi yang lebih baru muncul, bentuk-bentuk yang terdahulu biasanya tidak mati, melainkan terus berkembang dan beradaptasi (Fidler, 2003).
Sejatinya mediamorfosis memiliki esensi, yaitu bahwa media adalah sebuah sistem yang adaptif. Hal ini berkaitan dengan tekanan dari pihak luar yang menyebabkan media perlu merespon dengan proses reorganisasi yang spontan. Layaknya sebuah spesies yang hidup, media perlu berevolusi dengan lingkungan yang terus berubah dan menuntut adanya perubahan juga. Fidler berpendapat bahwa media baru tidak muncul secara spontan dan independen, mereka muncul bertahap dari metamorphose media yang lebih lama. Fidler juga berpendapat bahwa kemunculan bentuk-bentuk media komunikasi membiakkan ciri-ciri dominan dari bentuk-bentuk sebelumnya.
Roger membagi mediamorfosis dalam enam prinsip dasar dari hipotesisnya, yakni (1). Koevolusi dan Koesistensi. Bentuk komunikasi berkembang pada sistem yang adaptif dan kompleks. Setiap bentuk baru yang lahir akan memengaruhi perkembangan bentuk lain yang sudah ada dalam sistem. (2). Metamorfosis media baru muncul secara bertahap, saat bentuk yang baru muncul, bentuk terdahulu terus beradaptasi, tidak mati. (3). Pewarisan bentuk media komunikasi baru mewarisi sifat dominan dari bentuk sebelumnya, sifat ini menyebar melalui kode-kode komunikator, yaitu bahasa. (4). Kemampuan bertahan. Semua bentuk media komunikasi dipaksa untuk beradaptasi agar bisa bertahan hidup (5). Peluang dan kebutuhan. Selalu ada kesempatan dan alasan-alasan sosial, politik, dan atau ekonom yang mendorong perubahan. (6). Pengadopsian yang tertunda. Teknologi media baru membutuhkan waktu yang cukup lama, sedikitnya satu generasi untuk mencapai kesuksesan bisnis.
Konsep dan teori Mediamorfosis ini relevan sekali dengan metode dakwah yang kita bahas saat ini, terutama kaitannya dengan bentuk medianya.
Praktik dan Implementasi
Metode bil kitabah dapat diterapkan dalam berbagai bentuk: artikel keislaman di media cetak/ online menggunakan format jurnalistik (berita, feature, opini). Misalnya analisis rubrik “Munara Cahya” majalah Manglé yang mengandung pesan akidah, syariah, dan akhlak.
Buletin dan mading sekolah/ komunitas mengorganisir tim redaksi, memilih tema, menyusun naskah, hingga publikasi. Isinya bisa berupa artikel, puisi, cerpen, maupun berita singkat.
Konten digital-visual tulisan singkat (caption, micro-essay) dipadukan dengan ilustrasi, infografik, atau komik dakwah.
Tulisan untuk anak/ remaja buku cerita pendek atau serial fiksi anak yang menyisipkan nilai akhlak, menggunakan bahasa sederhana dan naratif.
Tujuan pembelajaran melalui penguasaan dakwah bil kitabah, mahasiswa dan masyarakat diharapkan mampu merumuskan pesan dakwah (akidah, akhlak, syariah) ke dalam tulisan. Menerapkan teknik jurnalistik dan kreatif sesuai target audiens. Mengelola alur editorial (riset, penyuntingan, publikasi). Menjalankan penulisan yang etis, akurat, dan sesuai dalil dan mengadaptasi pesan ke dalam medium digital yang menarik dan mudah dipahami.
Metode Operasional
Sebelum menjalankan eksyen dalam bentuk dakwah bil kitabah, kita harus melakukan beberapa tahapan. Pertama, perencanaan pesan dengan cara menentukan tujuan dakwah, audiens, media publikasi. Melakukan riset dan validasi, yakni mencari sumber terpercaya, mengutip ayat/ hadist secara tepat.
Kedua, penulisan, yakni menyusun tulisan dengan struktur logis (judul, lead, isi, penutup). Saat ini dengan bantuan teknologi AI (Artificial Intellegence) kita bisa menyiapkan materi dakwah secara mudah. Namun, pengalaman dan pengetahuan kita akan jauh lebih baik dibanding AI. Di sini AI hanya berfungsi sebagai asisten dalam mencari ide dan tema.
Tahap ketiga penyuntingan, berupa usaha memperbaiki alur, koherensi, kebahasaan dan logika naskah agar tetap sistematis dan logis. Keterampilan editing biasanya akan berkembang seiring dengan intensitas dan pengalaman menulis.
Keempat, publikasi yaitu menyesuaikan format (artikel panjang, micro-essay, buletin) untuk dimuat atau ditampilkan dengan berbagai platform media sosial dan media massa. Kredibilitas kedua jenis media ini juga berpengaruh terhadap kredibilitas isi pesan. Jika publisitas di media massa jauh lebih kredibel dibanding di media sosial.
Terakhir, evaluasi dengan cara mengukur efektivitas dengan analisis isi, engagement, dan umpan balik. Setelah kita melakukan dakwah bil kitabah, kita coba melakukan evaluasi agar berikutnya kita bisa memilih media tempat publikasi materi dakwah kita.
Waallahu a’lam Bissowab.