Opini

Muallah, Tak Hanya Perkara Baru Masuk Islam

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

SEBUAH kata yang begitu sederhana di telinga tapi menyimpan jejak panjang makna, sejarah, dan kasih sayang.

Dari rahim bahasa Arab, kata ini lahir: mu’allaf , yang berarti yang hatinya dilunakkan, yang jiwanya dijinakkan. Ia berasal dari akar kata ‘allafa‘, yang mengandung makna akrab, jinak, damai . Di dalamnya tersimpan gambaran hati yang tadinya keras, bimbang, bahkan mungkin jauh, kemudian disentuh kelembutan hingga luluh dan mendekat pada cahaya kebenaran.

Secara agama, muallaf adalah mereka yang baru menemukan rumah baru dalam Islam, atau mereka yang hatinya disentuh agar tak menjauh, agar tak merasa terasing, agar tak menjadi lawan yang membenci. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai salah satu golongan yang berhak menerima zakat — bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan lahir tapi juga untuk menghangatkan pelukan rohani agar mereka merasa diterima dan dicintai.

Di tanah air kita, makna muallaf kemudian lebih menyempit. Orang mengenalnya sebagai sebutan bagi mereka yang baru memeluk Islam, yang mengucap syahadat dengan dada bergetar, yang mungkin meninggalkan kepercayaan lama demi keyakinan baru. Padahal, dalam akar maknanya, muallaf tak melulu soal agama baru — tapi soal hati yang dijembatani, hubungan yang dirajut, luka yang disembuhkan dengan kelembutan.

Kata ini melintasi zaman dan bahasa, dari jazirah Arab, menyebrangi samudra, lalu berlabuh di bumi Melayu. Di sini, ia bertransformasi, berbaur dengan budaya, hingga akhirnya menjadi bagian dari bahasa kita, bahasa hati kita.

See also  Rukun dan Ruh Pesantren

Maka muallaf bukan sekadar istilah hukum; ia adalah puisi tentang hati manusia — tentang perjalanan dari keterasingan menuju kedekatan, dari keraguan menuju keteguhan, dari gelap menuju terang.

Di dalam lembaran Al-Qur’an, Allah menyingkap makna muallaf dengan kelembutan yang memeluk hati manusia. Firman-Nya, dalam surah At-Taubah ayat 60:

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱلۡعَـٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dilunakkan hatinya…” (QS At-Taubah [9]: 60)

Ayat ini bagai jembatan kasih sayang dari langit ke bumi. Allah tidak sekadar memerintahkan untuk menolong yang lapar dan papa tapi juga mereka yang hatinya rapuh di tepian iman, yang masih belajar memeluk kebenaran, yang hatinya baru saja disentuh cahaya.

Muallaf disebut dalam ayat ini sebagai golongan yang berhak menerima zakat. Bukan semata-mata karena kekurangan harta tapi karena kebutuhan mereka akan penguatan hati, pelukan hangat dari komunitas baru, dan cahaya yang menuntun langkah mereka agar tidak kembali ke gelap yang lama.

See also  Rakyat Dibayangi Pertanyaan: Mungkinkah Komunisme-PKI Bangkit Kembali?

Dalam ayat lain, Allah menggambarkan sentuhan kelembutan itu:

وَلَوۡ كُنتَ فَظّٗا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ
“Dan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka akan lari menjauh darimu…” (QS Ali Imran [3]: 159)

Di balik ayat ini terlukis rahasia mengapa hati muallaf harus disentuh dengan kelembutan. Sebab iman itu tumbuh bukan dalam cengkeraman besi tapi dalam pelukan kasih, bukan dalam ancaman tapi dalam kehangatan.

Lihatlah juga bisikan ayat dari surah Al-Anfal:

وَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡۚ لَوۡ أَنفَقۡتَ مَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مَّا أَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيۡنَهُمۡ
“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka. Sekiranya kamu membelanjakan seluruh (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah-lah yang mempersatukan hati mereka…”(QS Al-Anfal [8]: 63)

Betapa indah makna ini: hati-hati yang tadinya retak, tercerai, bahkan saling membenci, hanya bisa dipersatukan bukan dengan emas, bukan dengan kekuasaan tetapi dengan rahmat Allah yang mengalir lembut, merambat ke relung hati.

Maka, ketika berbicara tentang muallaf, kita tidak hanya bicara soal perubahan status keyakinan. Kita bicara tentang jiwa yang sedang dipeluk, hati yang sedang dibimbing, dan perjalanan spiritual yang baru saja dimulai. Kita bicara tentang bagaimana agama ini hadir bukan untuk menaklukkan hati dengan paksaan, melainkan menautkannya dengan kasih.

See also  Kapan Saatnya "Hijrah"

Muallaf adalah simbol bahwa setiap hati berhak mendapatkan kesempatan kedua, kesempatan untuk mengenal Tuhan-Nya, untuk berjalan menuju cahaya, untuk menemukan rumah baru di bawah langit yang sama.

Ya Allah,
Engkau yang membolak-balikkan hati,
Engkau yang melunakkan yang keras,
Engkau yang menyatukan yang tercerai.

Kami mohon, ya Rabb,
Peluklah saudara-saudari kami yang baru menapaki jalan-Mu,
yang hatinya baru saja Engkau jamah dengan cahaya,
yang jiwanya masih gemetar di hadapan-Mu.

Jadikanlah mereka kokoh dalam iman,
mantap dalam langkah,
dan teduh dalam dekapan kasih-Mu.

Lindungilah mereka dari godaan yang mengguncang,
dari bisikan yang melemahkan,
dari ujian yang meruntuhkan.

Tumbuhkan di sekitar mereka tangan-tangan yang menyambut,
lisan-lisan yang mendoakan,
dan hati-hati yang memeluk mereka tanpa syarat.

Ya Allah,
Sebagaimana Engkau telah menyatukan hati kaum Muhajirin dan Anshar,
satukan pula hati kami dengan saudara-saudari kami yang Engkau tuntun menuju cahaya-Mu.
Jadikan kami sahabat mereka dalam kebaikan,
penolong mereka dalam kesulitan,
dan pengingat mereka kala lupa.

Rabbana, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk,
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu,
sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.

Amin ya Rabbal ‘alamin. (ADS)

Show More

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button