Orang Merugi Karena Menyia-nyiakan Hidayah Allah
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakutas Tarbiyah & Keguruan Unisba)

DI antara gelapnya keabadian yang tak bertepi, tersingkaplah sebuah kisah pilu: kisah mereka yang hidup di dunia dengan dada keras membatu, menolak seruan langit yang lembut dan penuh kasih. Di dunia, mereka berjalan dengan pongah, mengejar dunia dengan segala kepalsuannya, menyembah tradisi tanpa ilmu, dan menutup telinga dari bisikan petunjuk. Namun di akhirat, ketika semua tirai disingkap, tibalah hari ketika tak ada lagi ruang untuk kembali.
Allah mengabadikan tangisan penyesalan mereka dalam lembar-lembar wahyu yang suci—sebagai pelajaran bagi mereka yang hatinya masih hidup.
Kerasnya hati mereka dan sikap acuh terhadap peringatan.
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَقُرْآنٍ مُّبِينٍ ﴿١﴾ رُّبَمَا يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَوْ كَانُوا۟ مُسْلِمِينَ ﴿٢﴾ ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا۟ وَيَتَمَتَّعُوا۟ وَيُلْهِهِمُ ٱلْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ ﴿٣﴾
Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an), dan bacaan yang jelas. Orang-orang kafir itu kelak akan sangat berharap seandainya mereka dahulu menjadi orang-orang Islam. Biarkanlah mereka makan dan bersenang-senang, serta dilalaikan oleh angan-angan kosong, kelak mereka akan mengetahui (akibatnya). Surah Al-Hijr [15]: 1–3
Ayat ini adalah gambaran tajam tentang mereka yang di dunia memilih untuk berpaling. Allah menggambarkan bagaimana orang kafir, kelak di akhirat, menyesali pilihan hidup mereka. Dulu mereka makan, tertawa, bercanda, dan mengejar ambisi duniawi tanpa peduli pada akhirat. Mereka tertipu oleh “optimisme palsu”: bahwa hidup masih panjang, bahwa waktu untuk bertobat selalu ada. Namun ternyata, maut datang tanpa peringatan, dan penyesalan pun tak mampu membayar harga iman yang dulu mereka abaikan. Pada saat kebenaran terbentang jelas di depan mata—setelah kematian menjemput dan hari pembalasan tiba—penyesalan datang menghunjam tanpa ampun. Mereka berharap andai saja dulu mereka Muslim, tunduk dan berserah kepada kebenaran. Tapi harapan itu hanya gema di ruang hampa, tanpa peluang untuk kembali.

Rintihan mereka yang ingin diberi kesempatan kedua.
* وَلَوْ تَرَىٰٓ إِذِ ٱلْمُجْرِمُونَ نَاكِسُوا۟ رُءُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ رَبَّنَآ أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَٱرْجِعْنَا نَعْمَلْ صَـٰلِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
Sekiranya engkau melihat ketika orang-orang berdosa menundukkan kepala di hadapan Tuhan mereka. (Mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kini kami benar-benar orang yang yakin. Surah As-Sajdah [32]: 12
Setelah menyaksikan kebenaran, mereka akhirnya meyakini—namun keyakinan itu datang terlambat. Mereka memohon agar dikembalikan, untuk menebus kelalaian dengan amal saleh. Tapi hukum waktu tak bisa ditawar: dunia telah tertutup bagi mereka.
Di hadapan Tuhan, setelah nyata semuanya, tak ada lagi ruang untuk kebohongan. Mata mereka telah melihat azab, telinga mereka mendengar kebenaran mutlak, namun kesempatan telah tertutup rapat. Penyesalan yang sangat dalam, namun sia-sia.
Penyesalan mendalam ketika diperlihatkan neraka.
وَلَوْ تَرَىٰٓ إِذْ وُقِفُوا۟ عَلَى ٱلنَّارِ فَقَالُوا۟ يَـٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِـَٔايَـٰتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Sekiranya engkau melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, “Andai saja kami dikembalikan (ke dunia), tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami dan kami akan termasuk orang-orang yang beriman.” Surah Al-An’am [6]: 27
Kini mereka percaya, tapi keimanan itu tidak lagi bernilai. Kata “ya laitana” (andai saja…) menjadi jeritan paling memilukan dari jiwa-jiwa yang tertinggal. Penyesalan di ambang neraka tak mampu menukar nasib.
Ada rasa yang lebih perih dari luka, lebih sunyi dari kehilangan, dan lebih gelap dari malam tanpa cahaya. Itulah penyesalan —sebuah jeritan batin yang tak bersuara, tapi menggema dalam ruang-ruang jiwa yang pernah mengabaikan kebenaran.
Di dalam lubuk hati manusia, Allah letakkan fitrah: kecenderungan pada kebaikan, bisikan halus yang membimbing pada cahaya. Namun, dunia seringkali terlalu bising. Gemerlapnya menenggelamkan suara nurani. Saat iman mengetuk, banyak yang tidak membuka. Saat kebenaran hadir, banyak yang berpaling. Mereka berkata, “Nanti.” Tapi waktu tidak pernah berjanji untuk menunggu.
Lalu, hari itu pun tiba—hari di mana kesadaran datang, tapi kesempatan telah pergi. Penyesalan muncul, menyayat nurani seperti bayangan tajam dari masa lalu yang tak bisa dijangkau kembali.
Mereka berkata dalam hati, “Seandainya aku memilih jalan itu… Seandainya aku mendengar… Seandainya aku percaya…”. Tapi hidup tidak dibangun di atas “seandainya.” Ia dibangun dari keputusan yang nyata.
Secara psikologis, penyesalan adalah luka dalam pikiran: Ia lahir dari sadar bahwa kita bisa memilih lain, tapi tidak melakukannya; Ia tumbuh dari penglihatan ke belakang, dari skenario yang tak terjadi namun membayangi; Ia menyiksa karena tahu bahwa kerugian itu bukan karena nasib, tapi karena pilihan diri sendiri.
Dan yang paling menyakitkan adalah penyesalan eksistensial: ketika seseorang menyadari bahwa seluruh jalan hidup yang ia tempuh adalah keliru—bukan sekadar satu kesalahan, tapi keseluruhan arah.
Bayangkanlah: Seorang pemuda menghabiskan hidupnya mengejar gelar, gengsi, dan gairah. Seruan azan baginya hanyalah latar suara. Kitab suci baginya hanyalah buku kuno. Dakwah dianggap gangguan, ibadah adalah beban. Tapi ketika nafas terakhirnya tiba, dan kelopak matanya terbuka di alam yang baru, barulah ia tahu: segalanya bukan mimpi, dan semua telah terlambat.
Lalu lahirlah penyesalan, bukan dari kehilangan dunia, tapi karena ia tak menjadi hamba yang seharusnya.
Ya Allah, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Mengingatkan. Jangan biarkan hati kami tertutup seperti mereka yang telah menyesal namun tak bisa kembali.
Jangan biarkan kami termasuk mereka yang menyesal ketika cahaya telah hilang. Bimbinglah kami untuk memilih kebenaran sebelum maut menutup waktu. Berilah kami hati yang lembut, yang mau mendengar suara kebaikan, dan mata yang basah oleh taubat sebelum terlambat.
Jadikanlah hati kami lembut menerima kebenaran sejak di dunia, sebelum ajal menjemput dan penyesalan tak berguna. Tunjukkan kami jalan yang lurus, dan kokohkan langkah kami dalam Islam hingga akhir hayat. Jauhkan kami dari tipu daya dunia yang meninabobokan jiwa, dan bangunkan kami sebelum terlambat. Rabbana, karuniakan kami husnul khatimah, dan masukkan kami ke dalam golongan mereka yang Kau cintai dan ridai. (ADS)