Opini

Para Pemenang Kehidupan

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

PERJALANAN yang panjang sebagaimana diurai sebelumnya perlu benar-benar dipahami dan dihayati, terutama dalam prinsip dan fundamentasinya. Tiada lain agar hidup yang dijalani tidak sia-sia.

Modal Hidup. Kehidupan bukan sekadar rentetan hari yang berlalu, melainkan sebuah perjalanan penuh makna yang menuntut persiapan dan bekal. Dalam setiap langkahnya, manusia membutuhkan “modal”—bukan hanya materi, tetapi juga kekuatan batin, nilai-nilai luhur, dan kesadaran spiritual. Modal kehidupan sejati adalah anugerah Ilahi yang harus dikenali, dikembangkan, dan dimanfaatkan secara bijak.

Modal Fitrah. Setiap manusia lahir membawa fitrah, potensi dasar yang bersih, suci, dan siap menerima kebenaran. Fitrah adalah modal bawaan dari Tuhan, sebagaimana firman Allah:

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Itulah) fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia menurutnya.” (QS. Ar-Rum: 30)

Fitrah ini adalah fondasi untuk tumbuhnya keimanan, akal sehat, empati, serta dorongan untuk mencari makna dan kebenaran. Namun fitrah tidak cukup jika dibiarkan pasif. Ia perlu disiram dengan ilmu, pengalaman, dan lingkungan yang mendukung.

Modal Akal. Akal adalah alat istimewa untuk menimbang, menalar, dan memilih. Dengannya manusia membedakan yang benar dari yang batil, yang bermanfaat dari yang merusak. Tapi akal pun perlu arah. Tanpa bimbingan wahyu, akal bisa tergelincir ke dalam kesombongan atau relativisme nilai.

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ra’d: 4)

Akal adalah modal dinamis—ia berkembang seiring proses belajar dan merenung. Maka, belajar dan membaca adalah bagian dari ikhtiar memelihara modal akal.

Modal Hati: Kompas Nurani Hati adalah pusat rasa, kepekaan, dan penilaian moral. Dalam Islam, hati yang bersih disebut qalbun salīm, dan ia menjadi syarat keselamatan abadi:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ۝ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88–89)

Hati yang kuat adalah modal untuk bersabar, bersyukur, dan memaafkan. Ia juga menjadi benteng dari keputusasaan, dendam, dan kebencian. Menjaganya tetap jernih adalah perjuangan sepanjang hayat.

Modal Iman. Iman adalah cahaya dalam gelap, penopang saat logika tak lagi menjawab, dan penguat ketika hidup terasa rapuh. Iman bukan sekadar keyakinan dogmatis, melainkan energi spiritual yang menggerakkan keberanian, harapan, dan ketundukan.

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.” (QS. At-Talaq: 3)

Iman menjadikan derita sebagai pengingat, ujian sebagai jalan pendewasaan, dan hidup sebagai ladang amal. Ia adalah modal paling kokoh karena tidak tergantung pada keadaan luar.

Modal Ilmu dan Amal. Ilmu adalah modal fungsional, sedangkan amal adalah bukti aktualisasi. Tanpa ilmu, amal bisa salah arah. Tanpa amal, ilmu menjadi beban. Maka, keduanya menjadi satu kesatuan: ilmu yang diamalkan dan amal yang dilandasi ilmu.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Ilmu dan amal adalah modal yang bisa ditumbuhkan melalui niat yang lurus, kerja keras, dan keikhlasan.

Jejaring Pergaulan yang Baik. Tak ada manusia yang hidup sendiri. Modal relasi berupa keluarga, sahabat, dan komunitas adalah kekuatan yang menopang dan saling menguatkan. Cinta yang tulus, kepercayaan, dan doa dari sesama adalah bagian dari modal yang tak kasat mata tapi nyata terasa.

> وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)

Cinta yang bersumber dari ketulusan dan kasih Ilahi membuat kehidupan menjadi layak diperjuangkan.

Modal hidup bukan sesuatu yang serba otomatis. Ia perlu dikenali, disyukuri, dan dikelola. Banyak yang punya akal, tapi tidak berpikir. Punya hati, tapi tidak merasa. Punya iman, tapi tidak bertawakal. Punya relasi, tapi tidak menghargai. Maka sejatinya, perjalanan hidup adalah tentang mengasah modal-modal itu agar menjadi jalan menuju makna dan keselamatan.

Rintangan dan Godaan

Jika hidup adalah perjalanan, maka di sepanjang jalannya akan ditemui rintangan yang menghambat, serta godaan yang mengalihkan arah. Tidak semua rintangan tampak berat, tidak semua godaan terlihat jahat. Beberapa bahkan datang dalam rupa nikmat, prestasi, atau kenyamanan. Namun semuanya adalah ujian yang mengungkap kualitas jiwa.

Diri Sendiri sebagai Musuh Tersembunyi. Musuh yang paling dekat adalah diri sendiri. Nafsu yang belum tertata, ego yang belum tunduk, dan ketakutan yang mengekang bisa menjadi penghambat utama dalam menapaki jalan hidup.

أَعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ
“Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri yang berada di antara dua lambungmu.” (Hadis Riwayat al-Bayhaqi)

Rasa malas, cinta dunia yang berlebihan, serta kecenderungan membenarkan diri bisa menggiring pada stagnasi spiritual. Rintangan batin ini sering kali lebih sulit diatasi dibanding serangan dari luar.

Lingkungan yang Menggerus Prinsip. Manusia hidup di tengah masyarakat. Ketika lingkungan mendukung kebaikan, hidup menjadi lebih ringan. Tapi jika masyarakat menormalisasi kesalahan, menertawakan ketaatan, atau menyingkirkan kejujuran, maka ia menjadi rintangan sosial.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’” (QS. Al-Baqarah: 170)

See also  Misteri Hari Akhir

Konformitas sosial—ikut arus tanpa pertimbangan nilai—bisa menjadi rintangan besar dalam mempertahankan idealisme hidup.

Ketimpangan dan Ketidakadilan. Sebagian rintangan hidup datang dari struktur yang tidak adil—kemiskinan sistemik, akses pendidikan dan kesehatan yang timpang, serta korupsi yang menindas yang lemah. Hidup menjadi perjuangan yang berat, bukan karena kurang usaha, tapi karena sistem tidak berpihak.

Namun di situlah manusia dituntut untuk memperjuangkan kebaikan, bukan menyerah dalam ketidakberdayaan. Menjadi bagian dari perubahan adalah panggilan nurani.

Godaan Kenikmatan Dunia. Godaan tidak selalu tampak buruk. Ia sering muncul dalam bentuk kenikmatan yang menjebak: harta, jabatan, pujian, dan popularitas. Semuanya tampak indah, namun bisa menjerumuskan jika tak dikendalikan.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ…
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, seperti wanita, anak-anak, harta yang banyak…” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Bukan kenikmatannya yang salah, tapi ketika hati diperbudak olehnya, itulah awal kemunduran.

Godaan Keangkuhan Spiritual. Bagi orang-orang yang sudah melewati godaan dunia, muncul bentuk baru: kesombongan rohani. Merasa paling benar, merasa amalnya paling suci, meremehkan orang lain yang tampak ‘lebih berdosa’. Ini adalah godaan halus yang sangat berbahaya, karena menyamar sebagai kealiman.

فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Godaan ini menipu pelakunya hingga merasa tak perlu lagi memperbaiki diri. Padahal ia telah tergelincir ke dalam jebakan iblis yang paling halus.

Godaan Keputusasaan. Godaan tak selalu datang dalam bentuk kenikmatan. Kadang ia berupa keputusasaan—rasa ingin menyerah, merasa tak layak, atau merasa Tuhan telah menjauh. Ini adalah titik rawan dalam hidup. Mereka yang tak punya sandaran iman bisa terjerumus dalam kehampaan atau bahkan bunuh diri.

وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّوْحِ اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Menghadapi ujian dengan sabar dan terus menjaga harapan adalah bentuk keberanian spiritual yang sejati.

Rintangan dan godaan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diwaspadai dan dijadikan sarana pertumbuhan. Setiap ujian membawa kemungkinan kematangan. Setiap godaan menguji keteguhan pilihan. Kunci utamanya bukan bebas dari rintangan, melainkan berhasil melewatinya dengan tetap membawa nurani yang hidup dan iman yang teguh.

Tanda Jalan Kebenaran

Setiap perjalanan butuh arah, dan setiap arah perlu petunjuk. Dalam hidup, tidak cukup sekadar bergerak; yang utama adalah bergerak ke arah yang benar. Namun, bagaimana seseorang tahu bahwa jalan yang ditempuhnya adalah benar? Apa penandanya?

Jalan hidup yang benar tidak selalu mudah. Ia bahkan sering sunyi, tidak populer, dan menuntut pengorbanan. Tapi ia membawa ketenangan batin, kejernihan akal, dan kelapangan jiwa. Ia menumbuhkan, bukan hanya menguntungkan.

Jalan yang Meningkatkan Kesadaran dan Kemanusiaan. Jalan yang benar membuat seseorang lebih sadar—bukan hanya sadar terhadap dirinya, tapi juga terhadap sesama dan terhadap Tuhannya. Ia tak lagi hidup hanya untuk makan dan kenyamanan, melainkan untuk makna dan kebermanfaatan.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Semakin seseorang menyadari bahwa hidupnya bukan miliknya sendiri, melainkan amanah, maka semakin ia berada di jalan yang benar.

Jalan yang Membuat Hati Lapang, Meskipun Tidak Mudah. Tanda lain dari jalan yang benar adalah ketenangan jiwa, bukan karena bebas dari masalah, tapi karena tahu bahwa langkahnya bermakna dan tidak sia-sia. Allah berfirman:

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَـٰمِ
“Barang siapa yang dikehendaki Allah untuk mendapat petunjuk, maka Dia akan melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam.” (QS. Al-An’am: 125)

Jalan yang benar sering kali tidak memanjakan hawa nafsu. Tapi ia melapangkan dada karena selaras dengan fitrah dan nilai yang benar.

Jalan yang Menumbuhkan Rasa Takut dan Harap kepada Tuhan. Jalan yang benar akan menumbuhkan keseimbangan antara takut dan harap (khauf dan raja’). Takut untuk tergelincir, tapi tetap berharap pada kasih sayang-Nya. Keseimbangan inilah yang menjadikan seseorang tidak sombong saat berhasil, dan tidak putus asa saat terjatuh.

يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا
“Mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap.” (QS. As-Sajdah: 16)

Jika perjalanan hidup seseorang hanya diisi oleh rasa percaya diri tanpa takut tergelincir, ia bisa jatuh ke dalam kesombongan. Sebaliknya, jika hanya ketakutan tanpa harap, ia bisa lumpuh dalam keputusasaan. Jalan yang benar memelihara keduanya.

Jalan yang Menjaga Hak dan Adab terhadap Sesama. Tanda jalan yang benar bukan hanya tampak dari hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi juga dari adab dan tanggung jawab sosial. Orang yang berjalan pada jalan benar akan menjaga lisan, menunaikan amanah, menolak kezaliman, dan menebar kasih sayang.

See also  Awas, Jauhi Kebiasaan Jahat (Evil Habit)

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kepada manusia kata-kata yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)

Jalan yang benar tidak membolehkan kebenaran disampaikan dengan cara yang kasar, atau membenarkan tujuan meski dengan cara yang salah.

Jalan yang Konsisten walau Tidak Populer. Banyak jalan yang tampak benar karena ramai pengikut. Tapi kebenaran sejati tidak ditentukan oleh jumlah, melainkan oleh nilai dan niat. Orang yang berjalan di jalan yang benar akan teguh, bahkan ketika sendiri, karena ia yakin sedang mengikuti cahaya, bukan bayang-bayang kerumunan.

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka tetaplah engkau pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan.” (QS. Hud: 112)

Kesetiaan pada nilai adalah tanda bahwa seseorang sedang menempuh jalan yang lurus.

Jalan yang Meninggalkan Jejak Kebaikan. Jalan yang benar meninggalkan bekas yang memberi manfaat. Bukan sekadar prestasi yang dibanggakan, tapi warisan nilai yang dikenang. Mereka yang melalui jalan ini akan menjadi penyambung kebaikan, bukan pusat pujian.

وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)

Jalan yang benar bukan hanya menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menjadi jembatan keselamatan bagi orang lain.

Dalam Islam, jalan yang benar adalah shirāṭ al-mustaqīm—jalan lurus yang setiap hari dimohonkan dalam shalat:

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)

Jalan itu tidak selalu rata, tidak selalu nyaman. Tapi ia selalu aman bagi yang sabar, lapang bagi yang jujur, dan penuh cahaya bagi yang ikhlas.

Salah Arah Perjalanan

Tak semua langkah membawa ke tujuan. Tak semua gerak berarti kemajuan. Ada banyak orang yang tampak sibuk, tetapi sesungguhnya sedang menjauh dari makna. Kesalahan dalam menentukan arah hidup bukan hanya soal sesat jalan, tetapi juga kehilangan orientasi tentang untuk apa hidup ini dijalani.

Kesalahan ini bisa terjadi secara perlahan, tanpa terasa. Ia menyelinap dalam rutinitas, membungkus diri dalam ambisi, dan meninabobokan jiwa dengan kenyamanan palsu. Maka merenungkan kesalahan arah bukanlah pesimisme, tetapi langkah sadar untuk kembali ke jalan yang benar.

Menjadikan Dunia sebagai Tujuan, Bukan Sebagai Sarana. Kesalahan paling umum adalah memutlakkan dunia sebagai tujuan akhir—seolah harta, jabatan, dan kesenangan lah segala-galanya. Dunia adalah ladang, bukan tempat tinggal abadi. Ketika dunia dijadikan orientasi utama, manusia kehilangan jati diri sebagai makhluk ruhani.

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَـٰلَهُمْ فِيهَا…
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan berikan balasan atas amal mereka di dunia, dan mereka tidak akan dirugikan.” (QS. Hud: 15)

Tapi Allah melanjutkan, bahwa di akhirat, mereka tidak mendapatkan apa pun kecuali kerugian. Itulah bentuk kesalahan arah yang fatal.

Mengira Banyaknya Amal Berarti Benarnya Jalan. Kesalahan berikutnya adalah tertipu oleh kuantitas amal, tanpa menakar niat, cara, dan tujuannya. Banyak orang sibuk berbuat, tapi tak tahu untuk siapa ia berbuat. Banyak orang menumpuk amal, tetapi tak pernah merenungi hakikatnya.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَـٰلًا ۝ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Maukah Aku kabarkan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi amalnya? Yaitu mereka yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sementara mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103–104)

Mereka salah bukan karena kurang kerja, tetapi karena salah orientasi kerja.

Membenarkan Tujuan dengan Cara yang Salah. Kesalahan arah juga terjadi ketika tujuan mulia dicapai dengan cara-cara keliru. Demi kebaikan, seseorang menghalalkan tipu daya. Demi maslahat, seseorang rela menyingkirkan nilai. Ini bukan sekadar taktis, tapi sudah kehilangan ruh etik.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Dalam pandangan ilahi, cara yang benar adalah bagian dari kebenaran itu sendiri. Maka kesalahan arah bisa terjadi bukan hanya dari tujuan, tapi juga dari jalannya.

Hidup Mengikuti Tren, Bukan Prinsip. Kesalahan arah berikutnya adalah terseret arus zaman, mengikuti tren tanpa menyaring nilai. Yang viral diikuti, yang ramai dipercaya, yang populer dijadikan panutan. Padahal jalan kebenaran sering sunyi, dan prinsip tidak selalu menang di suara mayoritas.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)

Hidup tanpa prinsip menjadikan manusia rapuh. Ia berubah setiap kali lingkungan berubah, tanpa arah tetap yang mengakar.

Menjadikan Diri sebagai Pusat Segala Kebenaran. Ketika ego dijadikan kompas, maka arah hidup bergantung pada keinginan diri sendiri. Ini adalah bentuk kesalahan arah yang paling halus namun paling berbahaya. Ia membuat seseorang sulit menerima nasihat, alergi terhadap kritik, dan menolak pertobatan.

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ
“Maka bagaimana pendapatmu tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Kesalahan arah terjadi ketika manusia lebih percaya pada dorongan nafsu daripada petunjuk wahyu.

Kesalahan arah bukan akhir dari segalanya. Justru menyadarinya adalah awal kebangkitan. Banyak orang tersesat, tapi hanya sedikit yang sadar bahwa mereka tersesat. Maka memeriksa arah hidup adalah bagian dari taubat, dari perenungan, dan dari tanggung jawab sebagai makhluk yang diberi akal.

See also  Dan Ketika Sebuah Negara Hancur

Para Pemenang Kehidupan

Setiapq1 manusia ingin menang. Tapi tidak semua kemenangan membawa kemuliaan. Sebagian menang dalam perebutan dunia, tapi hancur di dalam jiwa. Sebagian menang dalam persaingan, tapi kehilangan kepekaan. Sebagian lagi mengejar piala dan panggung, tapi lupa bahwa hidup sejatinya adalah perlombaan menuju ridha Tuhan, bukan sekadar pencapaian dunia.

Kemenangan hakiki bukan tentang mengalahkan orang lain, tapi tentang mengalahkan diri sendiri, menaklukkan hawa nafsu, dan tetap teguh di jalan kebenaran, meskipun sendiri. Kemenangan sejati adalah menjadi manusia yang utuh, bukan hanya sukses di luar, tapi juga tenang dan selamat di dalam.

Menang dari Nafsu dan Ego. Musuh terbesar dalam hidup bukan orang lain, tapi nafsu dan ego yang bercokol dalam diri. Menang atasnya adalah kemenangan terdalam, dan itulah jihad terbesar.

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ ۝ فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ
“Adapun orang yang takut akan kedudukan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka sungguh surga adalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)

Kemenangan hakiki tidak tampak di mata banyak orang, karena ia terjadi dalam kesunyian batin, dalam pergulatan panjang tanpa sorak-sorai.

Kesetiaan kepada Nilai. Orang yang bertahan menjaga kejujuran, kasih sayang, kesabaran, dan integritas, meski tergoda atau ditekan untuk sebaliknya, adalah pemenang sejati. Karena ia tetap memilih nilai, bukan hanya hasil.
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raf: 128)

Di tengah dunia yang gemar menghalalkan segala cara, orang yang tetap berpegang pada prinsip adalah simbol kemenangan moral.

Bersyukur dalam Sempit, Tidak Sombong dalam Lapang. Kemenangan hakiki tampak dalam ketangguhan jiwa—ketika diuji kesempitan tetap bersyukur, dan ketika diberi kelapangan tidak menjadi angkuh. Inilah kemenangan batin yang memelihara kebeningan hati dari dua ekstrem: putus asa dan takabur.

فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ۝ وَأَمَّا إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ
“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, ia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Tetapi bila Tuhannya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’” (QS. Al-Fajr: 15–16)

Kemenangan bukan tentang posisi di dunia, tapi tentang posisi hati di hadapan ujian.

Memberi Manfaat Bagi Sesama. Pemenang sejati adalah mereka yang hidupnya menjadi berkah—membuka jalan bagi kebaikan, menjadi pelipur lara, dan hadir sebagai penyambung cahaya.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)

Kemenangan bukan soal mengungguli yang lain, tapi tentang menghadirkan makna dan manfaat yang ditinggalkan setelah kepergian.

Menang di Hari Pengadilan . Puncak kemenangan hakiki adalah selamat di hadapan Allah, saat semua topeng terbuka, semua gelar tanggal, dan yang tersisa hanyalah nilai hakiki yang dibawa jiwa.

فَمَن زُحْزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدْخِلَ ٱلْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلْغُرُورِ
“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah menang. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”_ (QS. Ali ‘Imran: 185)

Inilah kemenangan puncak: selamatnya jiwa, diterimanya amal, dan dekatnya diri kepada Rabb Yang Maha Penyayang.

Kemenangan hakiki tidak selalu terlihat oleh mata dunia. Ia tidak selalu viral, tidak selalu diliput, tidak selalu mendapat penghargaan. Tapi di mata Allah, ia tercatat. Ia menjadi saksi bahwa manusia pernah memilih jalan kebenaran, walau sepi dan menantang.

Ya Rabb, di jalan panjang ini aku melangkah, dengan tubuh fana yang menua dan jiwa yang sering lupa arah. Kau titipkan aku di dunia yang memesona, tapi seringkali aku terlena, menyangka ia tempat tinggal, padahal hanya persinggahan semata.

Ya Allah, jika langkahku pernah menjauh dari-Mu, itu karena mataku terlalu sibuk memandangi dunia. Jika doaku tak setia, itu karena hatiku belum sungguh-sungguh berserah. Ampuni aku, karena terlalu sering memilih jalan yang ramai, bukan jalan yang Engkau ridhai.

Tuhanku, Aku sadar bahwa hidup ini bukan perlombaan menuju tepuk tangan, tapi perjalanan sunyi menuju perjumpaan dengan-Mu. Bekalku masih sedikit, tapi rahmat-Mu tak terbatas. Ilmuku sedikit, tapi Kalam-Mu adalah cahaya. Jiwaku rapuh, tapi cinta-Mu tak pernah letih memanggilku pulang.

Ya Rahman, Ya Rahim, Jadikan langkahku terarah, meski aku sering tersesat dalam kelengahan. Jadikan hatiku bersih, meski ia pernah dipenuhi dendam, tamak, dan sia-sia. Jadikan waktuku berkah, meski aku pernah banyak menyia-nyiakannya.

Ya Rabb al-‘Alamin, Jika esok ajalku datang, jangan biarkan aku pergi dalam keadaan lalai. Kuatkan aku untuk mati dalam husnul khatimah, dan bangkit kelak dengan wajah yang Engkau kenali, karena ia tak pernah berpaling dari-Mu.

Tuhanku, izinkan aku menjadi musafir kehidupan yang selamat sampai akhir, yang pulang dengan tangan tak penuh, tapi hati yang tunduk. Yang tak membawa gelar, tapi membawa niat yang tulus. Yang tak selalu menang di mata manusia, tapi Engkau anggap menang di sisi-Mu. (ADS)

Show More

Related Articles

Back to top button