Pertemuan Rutin MUI Bandung Penuh Haru dan Inspirasi di Pesantren Baitul Hidayah
SALAMMADANI.COM — Suasana penuh kehangatan dan air mata haru mewarnai pertemuan rutin Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Kota Bandung di Pondok Pesantren Baitul Hidayah, Rabu (10/12). Agenda yang dihadiri 85 pengurus ini tidak berhenti pada kegiatan koordinasi semata, tetapi menjadi wadah bagi sebuah kisah spiritual mendalam tentang bagaimana sebuah keluarga menyalurkan duka menjadi kekuatan wakaf dan perjalanan dakwah. Acara yang dipandu KH Ali Ridwan Anshory, Lc., MA tersebut menghadirkan dua pembicara utama, yakni Ketua MUI Kota Bandung Prof. Dr. Miftah Faridh dan KH Iwan Shofyan Andi, S.E., M.Si.
Dalam sambutannya, Prof. Miftah Faridh—yang juga menjabat Ketua Umum Yayasan Pendidikan Unisba—menyampaikan rasa bangga atas tradisi MUI Bandung yang terus bersilaturahmi sekaligus belajar dari pesantren-pesantren di Kota Bandung. Namun momen paling kuat justru hadir ketika KH Iwan Shofyan Andi mulai menuturkan sejarah berdirinya Pesantren Baitul Hidayah.
Kisah tersebut berawal dari Martono dan Agnes, pasangan beragama Katolik yang mengalami cobaan berat ketika putra bungsu mereka, Rio, sakit dan dirawat di RS Borromeus. Menjelang akhir hidupnya, Rio memberikan pesan spiritual yang sangat menyentuh hati orang tuanya: “Hidup di dunia ini hanya 1,5 cm. Ayah dan Ibu harus lebih baik dari Rio. Rio tunggu di surga.” Pada detik-detik bersamaan dengan azan Maghrib—yang bahkan tidak terdengar dari ruang rawat—Rio menggenggam tangan kedua orang tuanya, meminta untuk disyahadatkan lagi, lalu menutup mata setelah mengulang pesan “1,5 cm” untuk ketiga kalinya.
Dari Penolakan terhadap Islam hingga Sujud Penuh Hidayah
Kepergian Rio membuat Agnes mengalami guncangan iman. Ia menelusuri berbagai kitab agama di Indonesia, kecuali Al-Qur’an karena rasa bencinya terhadap Islam masih besar. Namun pencarian panjang itu berakhir pada momen yang tidak pernah ia duga. Martono suatu hari menemukan Agnes tersungkur dalam sujud sambil menangis sesenggukan di lantai tiga rumah mereka, tubuhnya diselimuti jaket tebal. Dari titik itulah Agnes memilih untuk memeluk Islam.
Keputusan Agnes sempat memicu perdebatan di antara pasangan ini. Martono mempertanyakan kesungguhan istrinya, dan Agnes dengan tegas menjawab, “Kalau Bapak kecewa Ibu masuk Islam, silakan ceraikan. Modal Ibu hanya mengajar Iqro.” Keduanya bahkan sempat memperdebatkan siapa sebenarnya yang lebih dulu masuk Islam, karena Martono merasa dirinya telah lebih dulu mengislamkan Rio.
Amanat Rio dan Lahirnya Wakaf Pendidikan
Nilai spiritual kisah ini semakin menguat ketika uang duka yang terkumpul setelah kepergian Rio ternyata berjumlah tepat untuk biaya haji. Keluarga ini pun meyakini pesan Rio tentang “mobil” dan “rumah” untuk pembantu mereka (Bi Ti) sebagai simbol perjalanan menuju Tanah Suci dan rumah Allah, Baitullah.
Dari perjalanan batin dan pengorbanan itulah Martono akhirnya mewakafkan tanah seluas 7,6 hektare di bukit Panyandaan. Di tanah wakaf tersebut kemudian dibangun Pesantren Baitul Hidayah oleh para alumni Pesantren Gontor: Ustadz Iwan Shofyan Andi, S.E., M.Si., Ustadz Erik Setiawan, M.I.Kom, Ustadz Ahmad Busyro Said, serta Ustadz Ali Ridwan Anshory, Lc., MA. Pesantren ini resmi berdiri pada 9 Juli 2010 dan terus berkembang hingga hari ini.
Setelah doa dan perjuangan mereka dikabulkan Allah SWT, pasangan Martono–Agnes bertekad mengabdikan hidup mereka untuk umat. Tekad itu diwujudkan melalui pencarian ayat pembenaran yang mereka dapati dalam Surat Yunus ayat 49, pemberian hadiah umroh kepada petugas kebersihan dan pedagang bakso di lingkungan rumah mereka, serta menghajikan seorang dhuafa yang rajin salat dhuha dan sudah lama memimpikan haji.
Dalam kesempatan tersebut, KH Miftah Faridh juga menegaskan pentingnya legalitas Yayasan An-Nurul Kholis—yang berdiri sejak 2009—agar seluruh proses administrasi dan perizinan lembaga dapat berjalan lebih tertib dan mudah.
Kisah yang tersaji di hadapan para pengurus MUI se-Kota Bandung tersebut menjadi pengingat bahwa musibah bisa menjadi pintu hidayah, dan bahwa ketulusan sebuah keluarga dapat berbuah wakaf abadi yang bermanfaat bagi pendidikan dan umat.(gifa/png)



