Shaum Menyeimbangkan Hormon Tubuh
Oleh Dr. Asep Dudi Suhradini, M.Ag (Wadek I Fakultas Tarbiyah & Keguruan Unisba)

DI antara sekian banyak kata yang menghidupkan makna, terdapat shaum dan puasa—dua istilah yang seakan bersesuaian, namun membawa nuansa berbeda. Shaum adalah bisikan langit, sebuah titah keteguhan, sebuah perjalanan menahan dan menata. Sedangkan puasa adalah gema bahasa, warisan makna dari akar tradisi yang berjalin dalam khazanah Nusantara.
Dalam wahyu suci, shaum bergema dengan kedalaman yang melampaui sekadar menahan lapar dan dahaga. Lihatlah bagaimana Maryam diperintahkan berpuasa, bukan dari makanan, melainkan dari kata-kata:
فَقُوۡلِىۡۤ اِنِّىۡ نَذَرْتُ لِلرَّحۡمٰنِ صَوۡمًا فَلَنۡ اُكَلِّمَ الۡيَوۡمَ اِنۡسِيًّا
“Maka katakanlah (kepada mereka), ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.'” (QS. Maryam: 26)
Di sini, shaum tidak hanya berbicara tentang perut yang kosong tetapi juga tentang diam yang bermakna, tentang menahan bukan sekadar dari yang tampak tetapi juga dari yang tak terlihat—kata, amarah, keinginan yang meluap.
Sementara itu, puasa, dalam perbendaharaan bahasa kita, lebih dari sekadar padanan kata. Ia adalah persemaian makna yang lahir dari upavasa, sebuah istilah yang dalam bahasa Sanskerta bermakna mendekatkan diri pada kesucian.
Namun, hakikat shaum bukan sekadar menjauhi yang haram dan halal di siang hari tetapi menyelami makna sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
Maka, shaum adalah penguasaan diri, sebuah perjalanan sunyi menuju penyucian jiwa. Ia bukan sekadar ritual, melainkan madrasah yang mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan hati.
Istilah Puasa
Dalam alur sejarah, puasa menjelma istilah yang mengakar dalam lisan masyarakat tetapi di baliknya, shaum tetap berdiri tegak sebagai ruh yang menuntun maknanya. Ia bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan menahan jiwa dari keleluasaan nafsu, mengikat lisan dari dusta, meredam amarah agar tetap dalam kendali nurani.
Begitulah shaum—bukan sekadar puasa, melainkan perahu yang membawa jiwa melintasi samudra dunia menuju pantai cahaya-Nya.
Shaum bukan sekadar ibadah yang diperintahkan, melainkan juga fitrah yang selaras dengan kebutuhan tubuh. Dalam ritme kehidupan, tubuh bukanlah mesin yang bekerja tanpa jeda. Ia butuh waktu untuk bernapas, untuk mengistirahatkan organ-organ yang terus berdenyut tanpa henti. Maka, shaum hadir sebagai keseimbangan, sebagai jeda yang menyehatkan, sebagai ruang bagi tubuh untuk merawat dan menyembuhkan dirinya sendiri.
Secara ilmiah, puasa telah terbukti memberikan berbagai manfaat fisiologis. Dalam kondisi berpuasa, tubuh memasuki fase autophagy, sebuah proses di mana sel-sel membersihkan diri dari racun dan memperbaiki jaringan yang rusak. Hal ini ditegaskan oleh Yoshinori Ohsumi, ilmuwan Jepang yang meraih Nobel dalam bidang kedokteran atas penelitiannya mengenai mekanisme ini.
Rasulullah ﷺ pun telah menyinggung pentingnya tidak berlebih-lebihan dalam makan:
فَقُوۡلِىۡۤ اِنِّىۡ نَذَرْتُ لِلرَّحۡمٰنِ صَوۡمًا فَلَنۡ اُكَلِّمَ الۡيَوۡمَ اِنۡسِيًّا
“Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam daripada perutnya. Cukuplah bagi manusia beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika harus makan lebih banyak maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Lebih dari sekadar menjaga keseimbangan makan, shaum memberikan waktu bagi tubuh untuk beristirahat dari kerja berat mencerna makanan yang terus-menerus masuk. Sistem pencernaan yang bekerja tanpa henti dapat menyebabkan berbagai gangguan, seperti resistensi insulin, peradangan kronis, hingga penuaan dini.
Tak hanya itu, shaum juga menyeimbangkan hormon tubuh. Dalam kondisi puasa, tubuh meningkatkan produksi hormon pertumbuhan (human growth hormone), yang berperan dalam regenerasi sel, metabolisme lemak, serta menjaga kekuatan otot dan tulang.
Dari sisi mental dan spiritual, shaum mengajarkan tubuh dan jiwa untuk menahan diri. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan godaan konsumtif—makanan berlimpah, kebiasaan ngemil tanpa rasa lapar—shaum menjadi pelatihan agar tubuh kembali mengenali kebutuhan sejatinya, bukan sekadar tunduk pada keinginan sesaat.
Maka, benarlah bahwa tubuh membutuhkan shaum, bukan hanya sebagai perintah dari langit tetapi juga sebagai kebutuhan alamiah yang telah tertanam dalam sistem biologis manusia. Seperti bumi yang membutuhkan musim kering untuk memulihkan kesuburannya, tubuh pun membutuhkan puasa untuk menyegarkan kesehatannya.
Shaum bukan hanya perhentian bagi raga tetapi juga perjalanan bagi jiwa. Jika tubuh memiliki batas ketahanan dan membutuhkan istirahat, begitu pula jiwa yang terus bergulat dengan keinginan, amarah, dan kegelisahan duniawi. Dalam hiruk-pikuk kehidupan, jiwa sering kali terbebani oleh hasrat yang tak terpuaskan, ambisi yang tak berujung, dan beban emosi yang menumpuk. Maka, shaum hadir sebagai pembersih, sebagai penyaring yang mengembalikan kejernihan hati dan ketenangan batin.
Dalam cahaya wahyu, shaum bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menundukkan hawa nafsu. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Puasa adalah perisai.” (HR. Bukhari & Muslim)
Perisai dari apa? Dari dominasi syahwat, dari godaan dunia yang mengalihkan manusia dari kesadaran hakikinya. Ketika seseorang berpuasa, ia berlatih untuk tidak tunduk pada dorongan instingtif, membentuk disiplin batin yang menjadikan jiwanya lebih tenang dan lebih kuat dalam menghadapi ujian kehidupan.

Shaum juga membangun kesadaran spiritual yang lebih dalam. Dengan mengurangi asupan fisik, manusia lebih peka terhadap suara hatinya. Ia lebih mudah merasakan kehadiran Ilahi, lebih tulus dalam berdoa, dan lebih sadar akan keterbatasan dirinya sebagai makhluk. Di sinilah letak rahasia shaum sebagai sarana penyucian diri.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan tujuan shaum:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Takwa adalah kesadaran tertinggi dalam jiwa seorang hamba. Ia bukan hanya ketakutan tetapi juga kecintaan, bukan sekadar kepatuhan tetapi juga keberserahan. Dengan shaum, jiwa yang selama ini terhijab oleh kesibukan dunia menemukan ruang untuk bercermin, melihat dirinya dengan lebih jernih, mendekat kepada Rabb-nya dengan hati yang lebih bersih.
Di sisi lain, shaum juga melatih empati. Lapar yang dirasakan bukan sekadar bentuk pengorbanan, tetapi jendela untuk memahami penderitaan mereka yang kekurangan. Jiwa yang sering kali keras oleh kenyamanan hidup kembali melunak oleh rasa syukur dan kepedulian.
Maka, benarlah bahwa shaum adalah kebutuhan jiwa, sebagaimana ia adalah kebutuhan raga. Ia bukan hanya ritual tetapi perjalanan spiritual yang membawa jiwa kembali kepada kesejatian—menuju keheningan yang sarat makna, menuju kepasrahan yang melahirkan ketenangan.
Ya Allah, Rabb yang Maha Pengasih, di bawah cahaya kasih-Mu, hamba datang berpasrah, membiarkan tubuh ini merasakan lapar, agar jiwa tidak kelaparan dari rahmat-Mu.
Ya Ilahi, dalam sunyi shaum ini, hamba ingin merasakan sepi yang mendekatkan, bukan sepi yang menjauhkan, sepi yang membuat hati lebih mendengar bisikan langit, bukan riuh dunia yang menyesakkan dada.
Tuhanku, jika dengan menahan dahaga, hamba belajar tentang nikmat-Mu yang sering dilupakan, jika dengan menahan lapar, hamba memahami arti syukur dan kesederhanaan maka kuatkanlah hamba dalam shaum ini, agar hati tidak hanya berpuasa dari makanan, tetapi juga dari segala yang merusak ketenangan.
Ya Rabb, jangan biarkan puasa ini sekadar menahan lapar tetapi biarkan ia menjadi lentera yang menerangi hati, membersihkan debu-debu dosa, menjadikan hamba lebih sabar, lebih tenang, lebih berserah.
Tuhan yang Maha Lembut, jadikan shaum ini penawar bagi jiwa yang letih, jadikan ia perisai dari godaan dunia, jadikan ia jalan menuju takwa, agar ketika fajar kemenangan datang, hamba kembali kepada-Mu, dengan hati yang tenang, jiwa yang tenteram, dan iman yang semakin dalam.
اللهم تقبل صيامنا، واغفر لنا ذنوبنا، وبارك لنا في أيامنا، واهدنا إلى صراطك المستقيم.
(ADS).