Opini

Titah Memakan Makanan Halal dan Thayyib

Drs. Abdurahman Rasna, MA ( Anggota Komisi Dakwah MUI Pusat dan Pengasuh Pesantren di Banten )

MARILAH  kita renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Al Baqarah [2] ayat 168 dan 169, yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (١٦٩) (البقرة [٢]: ١٦٨ــ١٦٩)

“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”(QS Al Baqoroh, ayat 178-179)

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan, dari Ibnu Abbas Radhialallahu anhu meriwayatkan bahwa ayat ini turun disebabkan beberapa suku di Arab seperti Tsaqif, Khuza’ah dan lainnya mengharamkan untuk mereka sebagian tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Selain itu. mereka menisbatkan pengharaman itu kepada Allah Ta’ala. Maka turunlah dua ayat ini sebagai penjelasan bahwa Allah-lah yang memberi rezeki dan karunia kepada seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir.

Sebagai Sang Pemberi karunia kepada manusia, Allah Subahanahu wa Ta’ala memperbolehkan kita semua makan dan minum dari semua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan, lagi thayib,  yang tidak membahayakan tubuh serta akal manusia.

Allah SWT  juga melarang manusia mengikuti langkah-langkah setan karena ia pasti akan menyesatkan manusia, salah satunya dengan mengharamkan apa yang dihalalkan, dan menghalalkan apa yang sudah diharamkan oleh Allah swt.

Menurut Ibnu Abbas Radhialallahu anhu, langkah-langkah syaitan dalam menyesatkan manusia adalah apa saja yang bertentangan dengan syariat-syariat, terutama yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Seorang sufi terkemuka, Sahl At-Tustari mengatakan:

مَنْ أَكَلَ الْحَرَامَ عَصَتْ جَوَارِحُهُ، شَاءَ أَمْ أَبَى، عَلِمَ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ. وَمَنْ كَانَتْ طَعْمَتُهُ حَلَالًا أَطَاعَتْهُ جَوَارِحُهُ وَوُفِّقَتْ لِلْخَيْرَاتِ

“ Barangsiapa yang mengonsumsi makanan haram maka anggota tubuhnya akan tergerak melaksanakan kemaksiatan, baik ia berkenan ataupun tidak, baik ia mengetahui ataupun tidak; dan barangsiapa yang makanannya halal maka anggota tubuhnya akan tergerak untuk melaksanakan ketaatan, dan akan diberi pertolongan untuk melakukan kebaikan (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn [Beirut, Dârul Fikr], halaman 104).

See also  Kementerian Agama dan Proklamator Bung Hatta

Makna Haram

Haram menurut Kamus Al-Mu’jam Al-Wasith diartikan sebagai barang-barang yang dilarang menurut syariat agama untuk dikonsumsi. Keharaman ini terdiri atas dua aspek, yakni pertama, haram secara dzat atau secara material telah dinyatakan haram oleh syariat, seperti babi, bangkai, dan darah. Kedua, haram bukan secara dzat-nya tetapi karena cara membeli, memperoleh, atau mengolah barang tersebut, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Adapun thayyib bentuk jamak adalah thayyibah, memiliki beberapa makna, yaitu suci dan bersih, enak dan bagus.

Imam At-Thabari Rahimahullah menegaskan bahwa makanan ‘thayyib’ tidak hanya terpaku pada aspek kehalalan tetapi juga harus terbebas dari kotoran dan najis yang dapat mencemari kesucian dan kehalalannya. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian makanan bagi umat Islam.

Sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu anhu menceritakan, “Aku membacakan surah Al-Baqarah ayat 168 itu di hadapan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam. Kemudian berdirilah Sa’ad bin Abu Waqqas, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sudilah kiranya Engkau berdoa kepada Allah, semoga Dia menjadikan diriku orang yang diperkenankan doanya.” Maka Rasulullah saw bersabda:

“Wahai Sa’ad, makanlah yang halal, niscaya do’amu diperkenankan. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya seorang lelaki yang memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya benar-benar tidak diperkenankan doa darinya selama empat puluh hari. Dan barang siapa di antara hamba Allah dagingnya tumbuh dari makanan yang haram dan hasil riba, maka neraka adalah lebih layak baginya.”

Hadits ini menunjukan bahwa memakan makanan yang halal akan menyebabkan terkabulnya do’a dan menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka.

Bagi seorang muslim, makan bukan hanya sekadar untuk mengisi perutnya tetapi sebagai bentuk ibadah melaksanakan perintah agama, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lainnya:

فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

See also  Kolaborasi Tim PKM dan Dokter Alumni FK Unisba untuk Mewujudkan Pesantren Sehat

“Makanlah sebagian apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai (rezeki) yang halal lagi baik dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya” (Q.S. An-Nahl [16]: 114)

Bentuk syukur yang dimaksud dalam ayat di atas, menurut tafsir Al-Wajiz adalah dengan memanfaatkan nikmat sesuai tuntunan Allah dan rasul-Nya sebagai perwujudan iman.

Rasulullah Shalallahu alaihi Wasallam bersabda: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sikap sombong.” (HR. Abu Dawud)

Berhati-hati dalam masalah halal dan haram  karena hal itu mencerminkan ketakwaan seorang hamba. Dengan menjaga diri dari makanan haram, hal itu akan menjadi kebaikan dan terjaga agamanya.

Imam Al-Bukhari dalam kitab Jȃmi’us Shahih meriwayatkan sebuah hadist, dari Ibunda Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: “Dahulu, Abu Bakar mempunyai seorang pembantu yang bertugas mengambil pajak untuknya. Abu Bakar pernah memakan dari bagian pajak itu. Pada suatu hari pembantunya itu datang dengan membawa makanan, lalu Abu Bakar memakanya. Maka pembantunya itu berkata kepada Abu Bakar; Apakah engkau mengetahui tentang apa yang engkau makan itu? Abu Bakar bertanya; Apakah itu? Pembantunya berkata; Dahulu pada zaman Jahiliyyah aku adalah orang yang pernah meramal untuk seseorang. Padahal aku tak pandai dalam perdukunan kecuali aku menipunya. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu ia memberikan (hadiah) kepadaku (yaitu) makanan yang Anda makan ini.” Maka, Abu Bakar spontan memasukkan jarinya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam perutnya.

Umar bin Khattab rRadhiyallahu ‘anhu juga pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana yang ada dalam riwayat di atas. Ketika dia meminum susu dari seekor unta yang disedekahkan, namun karena merasa ada yang keliru, maka beliau kemudian memasukkan jari-jarinya ke mulut dan berusaha memuntahkannya sehingga bersih isi perutnya. Hal tersebut menunjukkan betapa takutnya para salafus shaleh terhadap makanan yang haram.

Adanya hal-hal yang haram adalah sebuah ujian dari Allah Ta’ala untuk melihat sejauhmana kesungguhan seorang hamba dalam memerangi hawa nafsunya dan mengharap ridhai Allah SWT.

See also  Pensiunan Unisba Kini Punya Sumber Penghasilan Baru Lewat Shopee Affiliate

Menghindari makan dan minum yang haram dan hanya mengonsumsi makanan yang halal dan thayib adalah tanda ketaatan dan kesalehan seorang hamba. Dengan begitu, seorang hamba dapat menjaga dirinya dari dosa dan maksiat, serta memperoleh keberkahan, rahmat dan ampunan-Nya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya mayoritas ummat Islam. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu untuk memastikan sebuah produk terutama makanan dan kosmetik memiliki legalitas halal, maka didirikanlah Lembaga penjamin halal di Indonesia yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama, serta Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertugas memeriksa dan menguji kehalalan produk sebelum disertifikasi. LPH dapat berupa pemerintah maupun Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam seperti LPH Muhammadiyyah, LPH Nahdhatul Ulama, LPH Mathla’ul Anwar, LPH Hidayatullah, dan lain-lain serta  harus mendapatkan izin dari BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).

Beda MUI dan BPJPH

Sebagai warga negara yang beragama Islam dan serba selalu ingin memastikan kehalalan sebuah produk makanan dan kosmetik sering muncul pertanyaan “Apa bedanya MUI dan BPJPH?”

Secara garis besar, BPJPH berfungsi sebagai lembaga pemerintah yang menerbitkan sertifikat halal, sementara MUI memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa halal sebagai dasar utama penerbitan sertifikat tersebut.25 Agu 2025

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) adalah elemen penting dalam pelaksanaan layanan sertifikasi halal dan implementasi jaminan produk halal. LPH merupakan lembaga yang bertugas untuk melakukan kegiatan pemeriksaan dan atau pengujian terhadap kehalalan produk termasuk penugasan terhadap auditor halal.

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang didirikan ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama,  Ormas Mathla’ul Anwar, Hidayatullah dan lain-lain adalah  dalam rangka mendukung penerapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 yaitu kewajiban sertifikasi halal untuk produk yang beredar di Indonesia.

Semoga Allah Subahanahu Wa Ta’ala selalu menjaga kita dari segala hal yang diharamkan, dan membimbing kita dalam meniti jalan ketaatan kepada-Nya. Aamiin ya Rabbal Alamiin.

Show More

Related Articles

Back to top button