Yuk, Belajar Optimis
Oleh Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek I, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

HIDUP adalah kumpulan peristiwa yang tak selalu sesuai harapan. Ada saat ketika keberuntungan berpihak tetapi ada pula waktu ketika langit mendung tak kunjung cerah. Dalam perjalanan ini, manusia menghadapi dua jalan: satu mengarah pada harapan, satu lagi tenggelam dalam kepasrahan tanpa daya.
Ada mereka yang, ketika dihadapkan pada kegagalan, berkata dalam hatinya, “Ini hanya batu kecil di jalan. Aku akan melangkah lagi, mencoba lebih baik.” Keyakinan semacam ini bukan lahir begitu saja, melainkan hasil dari kesadaran bahwa setiap rintangan hanyalah ujian sementara, bukan vonis abadi. Inilah optimisme yang dipelajari— learned optimism—sebuah cara berpikir yang melihat kesulitan bukan sebagai akhir tetapi sebagai bagian dari proses pertumbuhan.
Sebaliknya, ada jiwa-jiwa yang tertunduk dalam kelelahan, bukan karena fisiknya lemah tetapi karena pikirannya telah lebih dulu menyerah. Mereka yang, setelah beberapa kali gagal, mulai berbisik pada dirinya sendiri, “Percuma, aku memang ditakdirkan gagal.” Suara itu, makin lama makin mengakar, menjadikan ketidakberdayaan sebagai rumah tempat mereka berlindung dari harapan. Inilah learned helplessness, keputusasaan yang tak lagi percaya bahwa usaha dapat mengubah keadaan.
Dua cara pandang ini membentuk nasib yang berbeda. Yang pertama melangkah dengan cahaya keyakinan, sementara yang kedua memilih diam dalam bayangan ketakutan. Namun, perbedaan mereka bukanlah perkara takdir, melainkan pilihan. Sebab optimisme, sebagaimana keputusasaan, bukanlah warisan, melainkan sesuatu yang bisa dipelajari, dihidupkan, dan disemai dalam setiap hati yang bersedia mempercayai bahwa esok masih bisa lebih baik dari hari ini.
Dalam menghadapi kenyataan, ada sebuah cara berpikir yang dapat menjadi penuntun, membantu seseorang memahami penderitaan bukan sebagai akhir tetapi sebagai bagian dari perjalanan. Ini adalah cara berpikir yang terstruktur, mengajarkan bagaimana menghadapi kesulitan tanpa tenggelam dalam keputusasaan.
Tantangan (adversity). Saat badai datang, langkah pertama bukanlah berlari atau berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja tetapi melihat dengan jernih apa yang sedang terjadi.
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ujian adalah Kepastian
Setiap insan akan merasakan goyahnya harapan, retaknya rencana, dan terjalnya perjalanan. Namun, tidakkah setiap awan menyimpan hujan? Tidakkah setiap kesedihan menyiapkan ruang bagi kebahagiaan? Mereka yang sabar adalah mereka yang menyadari bahwa di balik setiap gelap, selalu ada cahaya.
Seorang petani menanam benih di ladangnya. Ia berharap hujan turun dengan cukup, tanah tetap subur, dan panen nanti melimpah. Namun, musim tak selalu bersahabat. Hujan yang diharapkan tak kunjung datang, tanah mulai retak, dan tanaman yang ia rawat perlahan mati. Ia bisa saja mengutuk nasib, menyalahkan langit, atau memilih untuk tidak menanam lagi tahun depan. Tetapi sebelum semua itu, ia harus mengakui satu hal: sawahnya gagal panen. Itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari.
Keyakinan (belief). Setelah mengakui kenyataan, pikiran mulai menafsirkan apa yang terjadi. Apakah ini berarti tanahnya telah mati? Apakah ia memang ditakdirkan untuk gagal? Atau hanya musim ini yang buruk, dan ia bisa mencoba lagi dengan cara yang lebih baik?

Jika ia percaya bahwa segala usahanya sia-sia, ia akan menyerah dan membiarkan sawahnya kosong. Namun, jika ia berpikir bahwa kegagalan ini hanyalah bagian dari siklus alam, ia akan mulai mencari cara lain. Mungkin dengan mengolah tanah lebih dalam, memilih benih yang lebih kuat, atau menyimpan air lebih banyak untuk musim berikutnya.
Keyakinan adalah akar yang menentukan apakah seseorang akan tetap berdiri atau tumbang. Jika akarnya adalah kepasrahan yang salah, ia akan layu sebelum berbuah. Jika akarnya adalah harapan dan keberanian, ia akan mencari cara untuk tumbuh kembali.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Ada lautan rahmat yang tak berbatas. Ada pengampunan yang tak bersyarat. Jika seseorang percaya bahwa hidup masih menyisakan kemungkinan baik maka ia akan menemukan jalannya, meskipun awalnya tampak mustahil.
Konsekuensi (consequence). Dari keyakinan lahir tindakan. Jika seseorang percaya bahwa segalanya telah berakhir, maka ia akan berhenti mencoba. Tetapi jika ia yakin bahwa masih ada kesempatan, ia akan mulai bergerak.
Petani itu yang memilih untuk belajar dari kegagalan akan mulai bertanya, “Apa yang bisa kulakukan agar ini tak terulang?” Ia akan mencari cara untuk bertahan, mungkin dengan menanam tanaman yang lebih tahan kekeringan, atau dengan menggali sumur yang lebih dalam. Ia tidak membiarkan kegagalan menjadi warisan yang terus berulang, melainkan menggunakannya sebagai pelajaran untuk melangkah lebih baik.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ketika keyakinan telah tertanam, ia akan membuahkan konsekuensi. Orang yang percaya pada harapan, akan melangkah menuju harapan. Orang yang percaya pada keputusasaan, akan tenggelam dalam keputusasaan.
Dunia ini adalah cermin: ia memantulkan kembali apa yang ada dalam diri manusia. Siapa yang berusaha mengubah nasibnya, akan mendapati bahwa takdir pun mengubah jalannya.
Seorang pengembara yang hilang di padang pasir tidak akan menemukan oasis jika ia hanya duduk meratap. Namun, jika ia bangkit dan berjalan, meski tersandung dan haus, langkahnya akan membawanya ke mata air kehidupan.
Penyanggahan (disputation). Namun, di tengah usahanya, suara kecil dalam benaknya mungkin berbisik, “Apa gunanya mencoba? Bukankah tahun depan bisa saja sama?”
Di sinilah seseorang harus menantang pikirannya sendiri. Apakah benar semua usahanya tak ada gunanya? Apakah musim kemarau berarti tanahnya telah mati selamanya? Ataukah hanya perlu cara yang lebih bijak dalam bercocok tanam?
Dengan menolak keyakinan yang keliru, ia mulai melihat bahwa kesulitan ini bukanlah tanda bahwa ia harus berhenti, melainkan panggilan untuk lebih memahami alam dan mencari jalan baru.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Adakalanya, pikiran-pikiran kelam berbisik. “Tidak ada gunanya.” “Ini terlalu sulit.” “Aku sudah terlalu jauh jatuh.” Jika seseorang membiarkan suara-suara itu menguasai pikirannya, maka ia akan hancur sebelum sempat melangkah. Namun, ada satu cara untuk menolaknya: mengingat bahwa setiap kesulitan membawa kemudahan.
Tidakkah kita pernah melihat sungai yang mengalir di antara batu-batu? Ia tidak menyerah. Ia menembus, mengikis, mencari jalan, hingga akhirnya mencapai samudra. Begitulah jiwa yang menolak tunduk pada keputusasaan—ia akan menemukan jalannya.
Energi Baru (energization). Saat pikiran mulai terbuka, sesuatu berubah dalam hati. Yang tadinya merasa hancur kini mulai menemukan keberanian. Yang semula putus asa kini merasakan nyala kecil yang perlahan membesar.
Ia bangkit, mengolah tanahnya dengan semangat baru. Tak ada jaminan bahwa musim depan akan sempurna, tetapi ia tahu satu hal: jika ia tak mencoba, ia telah kalah bahkan sebelum pertempuran dimulai.
Begitulah cara pikiran membentuk perjalanan hidup. Musibah, kehilangan, kegagalan—semuanya adalah bagian dari alur kehidupan yang tak bisa dihindari. Namun, cara seseorang menafsirkan dan menyikapinya akan menentukan apakah ia akan terpuruk atau bangkit kembali.
Tidak ada satu musim yang bertahan selamanya. Hujan yang pergi akan kembali, tanah yang kering akan menjadi subur lagi, dan mereka yang percaya bahwa harapan masih ada akan selalu menemukan jalan. Yang perlu dilakukan hanyalah bertahan sejenak, melihat dunia dengan lebih jernih, dan percaya bahwa setelah gelap, fajar akan datang.
وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Ketika keputusasaan berhasil ditolak, maka semangat baru pun lahir. Seperti mentari yang kembali setelah badai, seperti burung yang mengepakkan sayapnya setelah terkurung dalam sarang.
Tidak ada yang benar-benar hilang bagi mereka yang masih berharap. Tidak ada yang benar-benar berakhir bagi mereka yang masih percaya.
Maka, meski langit tampak gelap, jangan berhenti berjalan. Meski ombak tampak tinggi, jangan berhenti berlayar. Karena di ujung sana, ada cahaya yang menunggu. Dan ia selalu ada, bagi siapa pun yang mau mencarinya.(ADS)