Opini

Bahaya, Orang Menjauh dari Agama

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

ADA saat ketika manusia merasa tak memerlukan pelita di tengah malam yang pekat, sebab ia menyangka telah menjadi cahaya bagi dirinya sendiri. Ia berjalan tanpa arah tapi percaya sedang menuju tujuan. Ia memutuskan hubungan dengan langit, lalu mengira akar kehidupannya telah mencengkeram bumi dengan kokoh. Itulah manusia yang menjauh dari agama—bukan karena agama tak datang kepadanya, melainkan karena ia yang memalingkan wajahnya dari cahaya wahyu.

“وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا”
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, baginya penghidupan yang sempit…”(QS. Thaha: 124)

Mereka yang menjauh dari agama sering merasa lapang hidupnya, seolah tak tergoyah oleh kekosongan ruhani. Tapi sesungguhnya mereka ditimpa hidup yang sempit—sebuah kesempitan yang tak tampak pada angka-angka kekayaan, namun mencekik di lorong-lorong batin yang sunyi. Hati mereka bising oleh kebisingan dunia, namun sepi dari makna.

Ada yang menjauh karena merasa cukup. Kesuksesan membutakan. Pangkat dan nama mengangkat dada, hingga tak ada lagi ruang untuk tunduk dan sujud. Al-Qur’an telah mengenal tabiat ini jauh sebelum zaman merasa modern.

“أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ”
“Karena dia melihat dirinya serba cukup.”(QS. Al-‘Alaq: 7)

Kesombongan bukan hanya soal gaya, ia adalah penyakit epistemik—rasa tahu yang menolak diberi tahu, rasa cukup yang menolak dituntun. Agama dianggap kekangan, bukan kebebasan. Padahal agama datang bukan untuk mengurung tapi memandu.

Lalu ada pula yang menuhankan nafsu, menjadikan hasrat sebagai kompas. Apa saja yang menyenangkan diikuti, yang menantang hawa dijauhi. Ia tidak mengingkari Tuhan secara lisan, tapi perbuatannya telah menempatkan hawa di singgasana ilahi.

“أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ هَوَاهُ…”
“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”(QS. Al-Jatsiyah: 23)

See also  Peran Penting Edukasi Tumbuh Kembang dan Kesehatan Reproduksi di Masa Remaja

Ketika hawa nafsu menjadi imam, agama tak lagi dianggap penting. Yang sakral dijadikan lelucon, yang agung dijadikan permainan.

“الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا”
“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau.”
(QS. Al-A’raf: 51)

Mereka menertawakan ketaatan, mencemooh kesalehan, dan memuliakan kebebasan semu. Agama hanya dirujuk saat sesuai dengan selera, dan ditinggal saat mengusik kepentingan.

Namun akibatnya bukan semata di akhirat. Di dunia pun, hati mereka tertutup dari cahaya. Mereka melihat tapi tak memahami, mendengar tapi tak mengindahkan.

“خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ…”
“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka ada penutup.”(QS. Al-Baqarah: 7)

Akhir dari jalan ini begitu memilukan: amal yang dilakukan pun tak tersisa nilainya, karena terputus dari iman.

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
(yaitu) orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Qs. al Kahfi 104)

Apa guna berlari cepat, jika arah langkah menjauh dari ridha-Nya? Apa arti keberhasilan, jika tak menyambung pada keabadian?

Agama itu bukan sekadar kumpulan hukum, melainkan pelita yang menyala di tengah malam batin. Ia adalah cahaya yang menyibak kabut makna, penuntun di kala arah hilang, dan penghibur kala dunia terasa sempit dan gersang. Namun dalam hiruk-pikuk dunia yang memabukkan, tak sedikit manusia yang perlahan, tanpa sadar, melangkah menjauh dari cahaya ini. Bukan karena benci, tetapi karena lupa. Bukan karena menolak, melainkan karena terlena.

See also  Kehamilan sebagai Tahap Kritis Awal Kehidupan Anak dan Generasi Selanjutnya
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah & Keguruan Unisba)

Lalu apa yang harus dilakukan agar tak menjauh dari agama?

Pertama, peliharalah dzikir—ingatlah Allah dalam segala keadaan.
Dzikir bukan semata lafaz yang diucapkan, melainkan kesadaran ruhani yang hidup. Orang yang terus mengingat Tuhannya, tak akan terperangkap dalam kesunyian makna atau kekosongan nilai.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”(QS. Al-Hasyr: 19)

Lupa kepada Tuhan adalah permulaan dari lupa akan jati diri. Maka dzikir adalah penjaga kemanusiaan kita.

Kedua, teruslah belajar dan memahami wahyu.
Jangan biarkan Al-Qur’an hanya menjadi hiasan di rak buku atau bacaan di kala senggang. Buka lembar-lembarNya dengan hati yang tunduk. Renungi tiap ayatnya seakan sedang bercakap dengan langit. Sebab siapa yang menjadikan wahyu sebagai teman perjalanan, tak akan kehilangan arah.

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
“(Ini adalah) sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.”(QS. Ibrahim: 1)

Ketiga, bersahabatlah dengan orang-orang yang menjaga agama.
Karena lingkungan adalah ladang ruhani. Bila kita tumbuh di tanah yang subur, hati kita ikut subur. Tapi bila kita hidup di tengah gurun kesia-siaan, iman kita perlahan mengering tanpa terasa. Pilihlah teman yang mengingatkan pada kebaikan, yang mengangkat saat lalai, yang menguatkan saat lemah.

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم…
“Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya…” (QS. Al-Kahfi: 28)

Keempat, rawatlah salat seperti merawat jantung kehidupan.
Salat bukan rutinitas tapi pertemuan suci dengan Dia yang Mahakasih. Salat adalah pengingat lima kali sehari bahwa kita ini makhluk yang terbatas dan lemah, yang membutuhkan kekuatan dari langit untuk tetap berdiri tegak di bumi.

See also  Bahaya Sakit Hati

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
(QS. Al-‘Ankabut: 45)

Jika salat dijaga, agama tak akan menjauh. Sebab salat adalah jembatan antara hamba dan Tuhan.

Kelima, minta hidayah setiap waktu.
Jangan angkuh dengan ilmu, jangan merasa aman dengan amal. Hidayah adalah anugerah yang harus terus diminta, sebab hati bisa berbolak-balik. Maka mohonlah selalu agar langkah tidak melenceng, agar cinta kepada agama tak pernah pudar.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”(QS. Al-Fatihah: 6)

Jalan yang lurus bukan sekadar jalan yang benar secara logika tapi jalan yang mengantarkan jiwa pada kedamaian, amal pada keberkahan, dan hidup pada keridhaan.

Ya Allah, Teguhkan hati kami dalam iman, Beningkan jiwa kami dengan dzikir, Suburkan hidup kami dengan amal yang Kau ridhai. Jangan Kau biarkan kami jauh dari agama-Mu, Jangan Kau cabut cahaya petunjuk dari hidup kami. Jika kami lalai, ingatkan kami. Jika kami lemah, kuatkan kami. Jika kami salah arah, bimbinglah kami kembali. Sebab tanpa-Mu, kami tersesat. Dengan-Mu, kami menemukan makna sejati.

Ya Rabb, Jika kami pernah berpaling, tariklah kami kembali. Jika hati kami telah beku, lembutkanlah dengan sentuhan wahyu-Mu. Jika kami merasa cukup, ingatkan kami akan kefakiran hakiki. Jika kami jauh dari-Mu, dekatkan kami dengan cinta-Mu. Jadikan kami pecinta kebenaran, pengikut jalan-Mu, yang tak hanya mengaku beriman, tapi sungguh-sungguh hidup dalam iman (ADS)

Show More

Related Articles

Back to top button