Awas, Jauhi Kebiasaan Jahat (Evil Habit)
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

BEBERAPA hal hadir dalam hidup sebagai tindakan kecil, nyaris tak tampak. Sebuah kebohongan ringan, alasan yang dibungkus untuk menghindari rasa malu, atau sikap mencela yang dibalut canda. Awalnya tampak tak berbahaya, bahkan dianggap wajar. Namun perlahan, hal-hal semacam itu menjelma menjadi pola, lalu mengakar sebagai kebiasaan. Dan ketika kebiasaan itu tumbuh dalam ruang tanpa kesadaran, ia berubah menjadi kebiasaan jahat — evil habit — yang merusak jernihnya hati dan kaburkan cahaya kebenaran.
Dalam keseharian, celaan bisa menjadi bumbu obrolan. Kata-kata merendahkan sering kali dibingkai sebagai lelucon. Namun seiring waktu, lisan tak lagi bisa berbicara tanpa menyakiti. Kepekaan tumpul, hati kehilangan arah. Itulah jalan sunyi evil habit — menyusup dalam kebiasaan kecil, tumbuh dalam ketidaksadaran, lalu mengambil alih kendali diri.
Kadang, kebiasaan buruk bersembunyi dalam bentuk yang lebih halus: kemalasan yang diberi nama istirahat, kemarahan yang disamarkan sebagai prinsip, atau dendam yang berpura-pura sebagai ketegasan. Sedikit demi sedikit, perilaku-perilaku ini membentuk jati diri baru — jati diri yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur.
Mengenali kebiasaan jahat bukanlah perkara mudah. Ia tak selalu terlihat sebagai kejahatan besar. Justru sering kali hadir sebagai kebiasaan yang terasa nyaman. Namun perubahan dimulai dari kesadaran. Ketika batin mampu menangkap kehadiran bayangan itu, perjuangan dapat dimulai — pelan, konsisten, namun sungguh-sungguh. Sebab kebiasaan, sekuat apa pun, masih bisa dikalahkan oleh cahaya tekad dan kejujuran nurani.
Bukan untuk sekadar tampak baik di mata manusia, melainkan untuk kembali jernih di hadapan jiwa sendiri — dan bersih di hadapan-Nya.
Tidak ada kebiasaan jahat yang tumbuh tiba-tiba. Seperti pohon yang menjulang ke langit, evil habit pun memiliki akar —menjalar dalam diam, menancap dalam tanah batin yang kadang tak pernah digali. Akar itulah yang menjadi sumber daya, memberi kekuatan bagi kebiasaan buruk untuk hidup, bertahan, bahkan berkembang menjadi sifat.
Sebagian akar itu tumbuh dari nafsu yang dibiarkan liar. Nafsu yang tak terdidik, seperti kuda tanpa kendali, berlari ke mana pun kesenangan memanggil. Ia tak mengenal arah, tak peduli jurang, hanya mengejar apa yang memuaskan. Di sanalah letaknya awal kejatuhan: ketika keinginan menjadi tuan, dan nurani kehilangan kuasa bicara.
Sebagian lagi berasal dari luka yang lama disembunyikan. Luka yang tak pernah sembuh, membentuk reaksi diam-diam: kebencian, sinisme, cemooh, atau ketidakpedulian. Sering kali, kebiasaan jahat bukan dilahirkan dari niat jahat, tapi dari hati yang pernah merasa tidak dihargai, tidak dimengerti, atau tidak dicintai. Maka, terbentuklah dinding—dan di baliknya, perilaku yang membentengi jiwa dari rasa sakit, meski akhirnya melukai yang lain.
Ada pula akar yang menyerap zat dari lingkungan. Dari candaan yang mencela, dari tawa atas kebohongan, dari keteladanan yang bengkok, dari sistem yang membiarkan kelicikan berbuah keberhasilan. Ketika dunia memberi tepuk tangan untuk kejahatan yang disamarkan, siapa yang masih mampu melihat bahwa itu sesungguhnya keburukan?
Namun akar terdalam, dan mungkin yang paling tak terlihat, adalah hilangnya cahaya dalam jiwa. Ketika nilai luhur tak lagi diajarkan, ketika keheningan tak lagi disediakan untuk mendengar suara hati, ketika zikir menjadi asing, dan perenungan dianggap lemah—di saat itulah ruang batin menjadi kering. Di tanah yang tandus itu, kebiasaan jahat tumbuh seperti ilalang: cepat, tak terkendali, dan sulit dicabut.
Namun sebagaimana akar bisa tumbuh, ia juga bisa dicabut. Dengan kesadaran yang jujur, dengan keberanian untuk menelusuri sumber gelap di dalam diri, dan dengan upaya sungguh-sungguh untuk menghidupkan cahaya—dalam bentuk doa, ilmu, teladan, dan pertobatan—maka evil habit tak lagi takdir. Ia adalah tantangan. Ia adalah panggilan untuk pulang.
Pulang kepada versi diri yang lebih murni. Pulang kepada suara batin yang dulu sering dibungkam. Pulang kepada nilai-nilai suci yang pernah ditinggalkan di persimpangan. Sebab sejauh apapun kebiasaan buruk telah berjalan, jalan kembali akan selalu ada. Asal mau melihat ke dalam, dan berani menumbangkan akar yang selama ini disembunyikan.
Tidak satu pun kebiasaan jahat tumbuh dalam sekejap. Ia mengendap seperti racun dalam sungai yang tenang. Ia menjalar seperti akar dalam tanah hati yang tak diairi cahaya. Dalam Islam, kebiasaan jahat bukan sekadar perbuatan berulang, melainkan pertanda bahwa jiwa sedang direnggut oleh tiga kekuatan: nafsu yang liar, bisikan setan, dan kelalaian terhadap Allah .
Al-Qur’an menyebut jenis nafsu yang menjadi asal dari kebiasaan jahat sebagai nafsu ammarah bis-sū’, yakni nafsu yang senantiasa menyuruh kepada keburukan:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Quran Surat Yusuf: 53)
Inilah dorongan batiniah yang mengajak pada kemalasan, keangkuhan, iri hati, dan kerakusan. Jika dibiarkan, nafsu ini melahirkan pola pikir dan perilaku yang mengulang dosa tanpa rasa bersalah, dan dari sanalah kebiasaan jahat mengakar.
Setan tidak mengajak secara terang-terangan kepada kejahatan. Ia menipu dengan cara bertahap (tadarruj), memperindah maksiat, dan menjadikan dosa tampak ringan. Al-Qur’an memperingatkan tipu dayanya:
“Setan menjanjikan kepadamu kemiskinan dan menyuruhmu berbuat keji (fahsyāʼ), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), Maha Mengetahui.” (Quran Surat Al-Baqarah: 268)
Setan membisikkan justifikasi terhadap dosa kecil: “Ini bukan masalah besar,” “Semua orang juga melakukannya.” Dari situ, perilaku dosa menjadi biasa, dan akhirnya menjadi kebiasaan yang merusak batin.
Ketika hati jauh dari zikir dan lupa bahwa Allah senantiasa melihat, kebiasaan jahat tumbuh subur. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa ketika rasa malu kepada Allah hilang, maka batas moral pun runtuh:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika engkau tidak merasa malu, maka lakukanlah sesukamu.” (Hadist Riwayat Bukhari, nomor 3483)
Hilangnya rasa malu bukan hanya membuka pintu maksiat, tapi juga menjadikan perbuatan jahat sebagai rutinitas. Ia tak lagi menimbulkan rasa bersalah, karena hati telah tertutup oleh dosa berulang.
Al-Qur’an menegaskan, saat hati tidak dipelihara dengan zikir, maka setan mudah menguasainya:
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ ٱلرَّحْمَـٰنِ نُقَيِّضْ لَهُۥ شَيْطَـٰنًۭا فَهُوَ لَهُۥ قَرِينٌۭ
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan Tuhan Yang Maha Pengasih, Kami jadikan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah teman yang selalu menyertainya.” (Quran Surat Az-Zukhruf: 36)
Islam bukan hanya mendiagnosis penyakit ruhani ini, tetapi juga menyediakan jalan penyembuhan: Tazkiyah an-Nafs. Allah berjanji keberuntungan bagi jiwa yang disucikan:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (Quran Surat Asy-Syams: 9–10)
Tazkiyah mencakup:
* Muhāsabah : introspeksi diri secara jujur setiap hari
* Mujāhadah : melawan kecenderungan buruk secara konsisten
* Tawbah Nashūha : tobat tulus yang dibarengi perubahan
* Shuhbah Shāliḥah : menjalin pergaulan dengan orang-orang yang baik
* Dzikir dan Tadabbur Qur’an : menghidupkan hati yang mulai beku
Kebiasaan jahat adalah kabut tebal yang menghalangi cahaya fitrah. Islam mengajarkan bahwa tiada jiwa yang bebas dari potensi keburukan, tapi tiada pula yang terkunci dari kemungkinan kembali. Setiap kebiasaan buruk dapat dicabut dengan keteguhan hati dan pertolongan Allah.
Kunci utamanya adalah kesadaran dan kemauan untuk kembali kepada Allah. Karena sejauh apa pun jalan telah ditempuh dalam kegelapan, cahaya selalu menunggu di sisi yang lain—bagi siapa saja yang mencarinya dengan jujur, berani, dan penuh harap. (ADS)