Opini

Bahaya Pejabat Sombong

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

DALAM kehidupan sosial, jabatan sejatinya adalah amanah, bukan kemewahan atau kebanggaan. Akan tetapi, realitas sering menampilkan wajah yang sebaliknya: ada pejabat yang terjebak dalam sifat songong — arogan, merendahkan, merasa paling benar, dan memamerkan kuasa.

Padahal, jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian, justru berubah menjadi alat untuk menunjukkan superioritas. Inilah cermin rapuhnya hati dan jauhnya seorang pemimpin dari akhlak mulia.

Allah telah memperingatkan manusia agar tidak berlaku sombong dan arogan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu setinggi gunung.” (QS. Al-Isrā’: 37)

Ayat ini memberi pesan mendalam: sehebat apa pun manusia, ia tetap terbatas. Kekuasaan, kedudukan, dan popularitas tidak bisa mengangkat dirinya setinggi gunung atau menguasai bumi. Maka, kesombongan seorang pejabat hanyalah fatamorgana — tampak megah, padahal rapuh dan fana.

Lebih jauh, Al-Qur’an juga mengaitkan kesombongan dengan kebinasaan. Fir’aun adalah simbol pemimpin yang songong, merasa dirinya paling tinggi:

فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Maka (Fir‘aun) meremehkan kaumnya, lalu mereka mematuhinya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf: 54)

Fir’aun yang menyepelekan rakyatnya berakhir dengan kehinaan. Kisah ini menjadi cermin bahwa pejabat songong hanya akan membawa dirinya dan kaumnya pada kerusakan.

Seorang pemimpin ideal justru adalah yang rendah hati, dekat dengan rakyat, mendengar keluh kesah, dan melayani dengan tulus. Rasulullah ﷺ yang mulia memberi teladan: meski beliau adalah pemimpin agung, hidupnya sederhana, tutur katanya lembut, dan tidak membanggakan diri.

See also  Hisab, Perhitungan Tanpa Alpa

Mengapa ada pejabat yang terjebak dalam sifat songong? Dorongannya berlapis, baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sekitarnya.

Dorongan dari hawa nafsu. Nafsu kekuasaan sering kali menipu. Ia membuat seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain. Al-Qur’an menyebut bahwa kesombongan itu berakar dari nafsu yang membutakan hati:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, yang menuruti hawa nafsunya, dan keadaannya melampaui batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)

Ayat ini mengingatkan bahwa ketika seorang pejabat lebih menuruti hawa nafsu daripada mengingat Allah maka lahirlah sikap arogan dan songong.

Dorongan dari lingkungan yang menyanjung berlebihan

Banyak pejabat jatuh pada kesombongan karena lingkungannya membiarkan bahkan memupuk arogansi itu. Sanjungan, pujian, dan pencitraan membuat pejabat lupa bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Fir’aun tidak akan menjadi sangat songong tanpa kaum yang selalu menuruti dan mengagungkannya.

Dorongan dari kekayaan dan kemewahan

Jabatan sering membuka jalan bagi akses harta dan kemewahan. Kekayaan yang tidak dibingkai dengan kesadaran amanah akan menumbuhkan sifat meremehkan orang miskin. Padahal Allah sudah memperingatkan:

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ . أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya merasa cukup.” (QS. Al-‘Alaq: 6–7)

Kesongongan tumbuh dari rasa cukup yang menipu, seolah-olah tidak lagi butuh Allah, padahal segala sesuatu tetap dalam genggaman-Nya.

See also  Peran Penting Edukasi Tumbuh Kembang dan Kesehatan Reproduksi di Masa Remaja

Dorongan dari rasa takut kehilangan kuasa

Pejabat yang songong sering menutup telinga terhadap kritik karena ia takut kehilangan jabatan. Maka arogansi dijadikan tameng. Padahal, justru dengan rendah hati dan transparansi, seorang pemimpin akan semakin dihormati.

Dengan demikian, pejabat songong bukanlah sekadar fenomena perilaku, melainkan hasil dari nafsu yang tidak terkendali, lingkungan yang salah, harta yang menipu, dan rasa takut kehilangan kuasa. Semua itu adalah jebakan yang harus diwaspadai setiap pemimpin.

Jika dorongan kesongongan itu nyata maka obatnya pun harus jelas. Al-Qur’an dan teladan Nabi ﷺ memberi resep bagaimana seorang pejabat bisa terhindar dari sifat arogan.

Menanamkan kesadaran amanah

Jabatan bukan hak milik, melainkan titipan Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا ۖ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya …” (QS. An-Nisā’: 58)

Seorang pejabat harus terus diingatkan: jabatan adalah ujian, bukan kebanggaan.

Menghidupkan sifat tawadhu’

Tawadhu’ berarti rendah hati, tidak merendahkan orang lain meski memiliki kuasa. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang bertawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.”

Tawadhu’ adalah penawar paling mujarab untuk kesombongan karena menempatkan diri sebagai hamba, bukan penguasa mutlak.

Menjaga kesederhanaan hidup

Songong sering muncul karena gaya hidup berlebihan. Padahal, Allah mencintai kesederhanaan dan melarang tabdzir (pemborosan).

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An‘ām: 141)

See also  Beasiswa dan Penguatan Kebangsaan

Membuka telinga untuk kritik

Pemimpin songong biasanya anti kritik. Padahal, kritik yang sehat adalah bagian dari nasihat dan kontrol agar tidak tergelincir. Allah memuji kaum mukmin yang bermusyawarah:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“… dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka …” (QS. Asy-Syūrā: 38)

Dengan musyawarah, seorang pejabat tidak mudah terjebak dalam arogansi pribadi.

Mengingat akhirat

Obat utama bagi kesombongan adalah kesadaran bahwa jabatan di dunia fana, sedangkan pertanggungjawaban di akhirat kekal. Nabi ﷺ bersabda: “Pemimpin adalah penggembala, dan ia akan ditanya tentang gembalaannya.”

Mengingat hari hisab membuat seorang pejabat malu jika bersikap songong karena semua akan diadili di hadapan Allah.

اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ، وَيَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا إِلَى طَاعَتِكَ.

Ya Allah,
Jangan Engkau jadikan hati para pemimpin kami keras dan songong,
jangan Engkau jadikan mereka buta oleh harta, kuasa, dan sanjungan.

Ya Rabb,
Tanamkan dalam diri setiap pejabat kami sifat tawadhu’, amanah, dan kasih sayang.
Bukakan telinga mereka untuk mendengar suara rakyat,
bukakan mata mereka untuk melihat penderitaan umat,
dan bukakan hati mereka untuk selalu mengingat-Mu.

Ya Allah,
Lindungi negeri ini dari pemimpin yang zalim dan sombong,
dan karuniakan kepada kami pemimpin yang takut kepada-Mu,
yang memimpin dengan adil,
dan yang menjadikan jabatan sebagai ladang ibadah, bukan panggung kesombongan.

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا، إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ.
والحمد لله رب العالمين. (ADS)

Show More

Related Articles

Back to top button