Opini

Dan Ketika Sebuah Negara Hancur

Dr. Asep Dudi Suhardini, S.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

SEJARAH telah mencatat begitu banyak negara besar yang pernah berdiri megah, namun akhirnya runtuh—seperti istana pasir yang diterjang ombak. Romawi, Majapahit, Dinasti Abbasiyah, hingga negara-negara modern yang kini porak-poranda karena perang, korupsi, dan krisis. Pertanyaannya, mengapa sebuah negara bisa hancur?

Jawabannya tidak tunggal. Kehancuran suatu negara tidak terjadi dalam semalam. Ia adalah hasil dari proses panjang—gabungan dari kelemahan dalam, tantangan luar, dan hilangnya kepercayaan rakyat.

Banyak negara besar runtuh karena kehilangan rasa persatuan. Ibn Khaldun, seorang pemikir Muslim abad ke-14, menyebutnya sebagai asabiyyah, kekuatan solidaritas sosial. Negara berdiri kokoh ketika rakyatnya bersatu, saling percaya, dan saling jaga. Tapi ketika pemimpin hanya mementingkan kelompoknya, dan rakyat terpecah karena suku, agama, atau kepentingan politik sempit maka fondasi negara mulai rapuh.

Tak ada negara yang bisa bertahan jika keadilan dikhianati. Ketimpangan sosial yang melebar, rakyat yang tertindas, dan hukum yang hanya tajam ke bawah akan menumbuhkan kemarahan yang perlahan berubah menjadi perlawanan. Seperti bara dalam sekam, ketidakadilan bisa menjadi api yang membakar rumah bangsa itu sendiri.

Negara bisa hancur bukan karena rakyatnya malas tapi karena pemimpinnya mengkhianati kepercayaan. Pemimpin yang rakus, arogan, atau dikuasai hawa nafsu kekuasaan menjadikan jabatan bukan sebagai amanah, tapi alat untuk memperkaya diri dan kroninya. Seiring waktu, rakyat muak dan hilang harapan.

Hukum yang bisa dibeli, pendidikan yang asal jalan, ekonomi yang dikendalikan segelintir orang—semua ini tanda institusi negara tidak lagi berjalan untuk rakyat. Negara seperti tubuh; jika organ-organnya lumpuh maka ia akan mati perlahan.

Ada pula negara yang hancur karena tekanan dari luar: invasi militer, penjajahan ekonomi, atau jebakan utang. Dunia global saat ini tidak selalu adil. Negara kecil yang tidak punya daya tahan, akan mudah dikuasai atau dihancurkan.

Kerusakan lingkungan, krisis air, bencana alam—jika diabaikan, bisa melumpuhkan negara. Bangsa yang serakah terhadap alam, menebang tanpa menanam, mengambil tanpa memikirkan dampaknya, akhirnya akan menuai bencana yang tidak mampu ditanggulangi.

Dan yang paling sunyi tapi mematikan adalah kehancuran karena krisis moral. Ketika kejujuran dianggap bodoh, ketika korupsi dianggap wajar, ketika ibadah menjadi formalitas, dan ketika akhlak tak lagi penting maka sejatinya negara itu sedang menggali kuburnya sendiri.

Negara tidak hancur karena rakyatnya miskin. Negara hancur karena pemimpinnya kehilangan arah, institusinya kehilangan fungsi, dan rakyatnya kehilangan harapan.

Negara bertahan bukan karena tembok istana yang tinggi, tapi karena nilai-nilai yang dijaga—keadilan, kejujuran, amanah, dan cinta kepada sesama.

Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk tetapi juga kitab sejarah — bukan sejarah yang beku, melainkan sejarah yang hidup, sarat pelajaran (‘ibrah) untuk umat yang mau berpikir. Di dalamnya tercatat kisah-kisah tentang bangsa-bangsa yang kuat dan makmur, namun akhirnya binasa. Mereka dihancurkan bukan karena lemahnya ekonomi atau sedikitnya kekuatan militer, tetapi karena penyakit dalam: kesombongan, kedurhakaan, dan pengingkaran terhadap kebenaran.

See also  Fenomena Kini: Takut Menghadapi Kebenaran

Kaum Nabi Nuh adalah kaum pertama yang dibinasakan dalam sejarah kerasulan. Mereka menolak dakwah yang sabar dan penuh kasih dari Nabi Nuh selama ratusan tahun. Mereka menganggapnya gila, melecehkan ajaran tauhid, dan terus tenggelam dalam kekufuran.

Surah Al-Ankabut (29): 14
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمْ ظَٰلِمُونَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia tinggal di antara mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”

Air bukan hanya membasahi tanah mereka tetapi menenggelamkan seluruh peradaban karena hati mereka yang keras dan telinga yang tuli terhadap kebenaran.

Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

Kaum ‘Ad dikenal dengan kekuatan fisik dan bangunan megah mereka. Namun, kekuatan itu melahirkan kesombongan. Mereka meremehkan seruan Nabi Hud, menyangka bahwa tak ada yang bisa mengalahkan mereka.

Surah Fussilat (41): 15–16
فَأَمَّا عَادٌ فَٱسْتَكْبَرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَقَالُوا۟ مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۚ أَوَلَمْ يَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِى خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۖ فَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يَجْحَدُونَ • فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًۭا صَرْصَرًۭا فِىٓ أَيَّامٍۢ نَّحِسَاتٍۢ لِّنُذِيقَهُمْ عَذَابَ ٱلْخِزْىِ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَعَذَابُ ٱلْـَٔاخِرَةِ أَخْزَىٰ ۖ وَهُمْ لَا يُنصَرُونَ
“Adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, ‘Siapakah yang lebih kuat dari kami?’ Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka lebih kuat dari mereka? Maka Kami kirimkan kepada mereka angin yang sangat dingin dan menggoncangkan pada hari-hari sial, agar Kami timpakan kepada mereka azab yang menghinakan di dunia…”

Kekuatan fisik bukan tameng dari murka Allah. Kesombongan justru menjadi sebab kehinaan.

Kaum Tsamud menuntut mukjizat, lalu Allah mengirimkan unta betina sebagai tanda. Tapi ketika mukjizat itu datang, mereka membunuhnya. Mereka tidak hanya menolak kebenaran tetapi juga menghina simbol rahmat dari Tuhan.

Surah Asy-Syams (91): 11–14
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَىٰهَا • إِذِ ٱنۢبَعَثَ أَشْقَىٰهَا • فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ نَاقَةَ ٱللَّهِ وَسُقْيَـٰهَا • فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنبِهِمْ فَسَوَّىٰهَا
“Kaum Tsamud telah mendustakan (rasul)-nya karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, maka Rasul Allah berkata, ‘Biarkanlah unta betina Allah dan minumannya.’ Tapi mereka mendustakan dan menyembelihnya, maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena dosa mereka…”

Kaum Luth bukan hanya melakukan penyimpangan seksual tetapi juga melanggengkan dosa itu sebagai gaya hidup dan menolak peringatan.

See also  Menengok Krisis Kemanusiaan

Surah Al-A’raf (7): 84
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَرًۭا ۖ فَٱنظُرْ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُجْرِمِينَ
“Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”

Kehancuran mereka adalah isyarat keras bahwa penyimpangan moral bukan sekadar dosa pribadi, tetapi bisa menjadi penyebab kehancuran komunitas dan bangsa.

Fir’aun adalah simbol tirani yang menganggap dirinya tuhan. Ia menindas, membunuh, dan menolak risalah Musa. Meski laut dan langit menjadi saksi kuasanya, akhirnya ia ditelan oleh laut yang sama.

Surah Yunus (10): 90–92
فَٱلۡيَوۡمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنۡ خَلۡفَكَ ءَايَةٗۚ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ عَنۡ ءَايَٰتِنَا لَغَٰفِلُونَ
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu agar engkau menjadi pelajaran bagi orang-orang sesudahmu. Tetapi sesungguhnya kebanyakan manusia lalai dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami.”

Setiap kisah kehancuran dalam Al-Qur’an bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah cermin bagi bangsa-bangsa setelahnya. Bahwa kekuasaan tanpa moral akan binasa, bahwa kemakmuran tanpa keadilan hanya membawa kehancuran, dan bahwa umat yang melupakan nilai-nilai luhur akan tergilas oleh sejarahnya sendiri.

Allah memberi waktu, peringatan, dan utusan. Tetapi ketika peringatan diabaikan, maka kehancuran bukan lagi takdir yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari pilihan manusia sendiri.

Surah Al-Anfal (8): 53
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًۭا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍۢ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Menghindari kehancuran sebuah kaum, bangsa, atau negara bukan hanya soal kebijakan teknokratis, melainkan menyangkut dimensi nilai, moral, spiritual, dan sosial secara utuh. Al-Qur’an dan sejarah peradaban memberi banyak pelajaran bahwa kebangkitan dan kejatuhan suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan kualitas manusianya—bukan hanya kekayaan alam atau kecanggihan teknologi.

Bagaimana menghindari kehancuran?
Setiap bangsa yang menghormati nilai Ketuhanan memiliki fondasi moral yang kokoh. Tauhid bukan sekadar akidah, tetapi menjadi pusat etika politik dan sosial. Ketika pemimpin merasa diawasi Tuhan, maka kekuasaan akan dijalankan dengan tanggung jawab, bukan kesewenang-wenangan.

Surah Al-Baqarah (2): 2
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ
“Inilah Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Tanpa kesadaran ilahiyah, hukum mudah dimanipulasi, dan kekuasaan menjadi alat tirani.

Keadilan adalah penyangga utama peradaban. Ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, rakyat kehilangan kepercayaan, dan negara retak dari dalam.

Surah An-Nahl (16): 90
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَـٰنِ…
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”

Bangsa yang adil akan kokoh, meski tidak religius; sedangkan bangsa yang zalim akan rapuh, meski makmur lahiriah.

See also  Juz 3 Adalah Kisah Perjalanan Manusia

Ketahanan bangsa dibangun oleh karakter rakyatnya. Kejujuran mencegah korupsi, amanah menjamin kepercayaan, dan kepedulian menyuburkan solidaritas.

Surah Al-Ahzab (33): 72
إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ…
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung…”

Negara bukan hanya soal sistem, tapi siapa yang menjalankan dan sejauh mana mereka memikul amanah.

Keluarga adalah pondasi bangsa. Jika keluarga rusak, maka sekolah dan negara akan kerepotan memperbaiki. Pendidikan karakter sejak dini adalah investasi jangka panjang.

Surah At-Tahrim (66): 6
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا…
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”

Kehancuran bangsa sering bermula dari lunturnya nilai di rumah tangga.

Zina, riba, korupsi, dan penyimpangan seksual bukan hanya dosa individual, tapi bisa membawa bala kolektif bila dibiarkan menjadi budaya.

Surah Al-Isra’ (17): 16
وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا۟ فِيهَا…
“Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu, tetapi mereka berbuat fasik di dalamnya…”

Kehancuran datang saat dosa tak lagi dianggap dosa, dan penyimpangan diberi panggung.

Perpecahan internal adalah jalan cepat menuju kehancuran. Sejarah mencatat, imperium besar runtuh bukan karena serangan luar, tapi karena perang saudara.

Surah Al-Hujurat (49): 10
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌۭ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ…
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu…”

Bangsa yang tercerai-berai oleh politik identitas, hoaks, dan kebencian akan lemah dari dalam.

Ketimpangan ekonomi dan penindasan politik menimbulkan kemarahan rakyat, yang bisa berujung pada huru-hara atau kehancuran sistem.

Surah Al-Qasas (28): 4
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى ٱلْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًۭا يَسْتَضْعِفُ طَآئِفَةًۭ مِّنْهُمْ…
“Sesungguhnya Fir‘aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka…”

Bangsa yang mengabaikan keadilan sosial, cepat atau lambat, akan diguncang amarah rakyatnya sendiri.

Salah satu pelindung bangsa dari murka adalah budaya istighfar. Umat Nabi Yunus terselamatkan karena mereka bertobat sebelum azab datang.

Surah Yunus (10): 98
فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ ءَامَنَتْ فَنَفَعَهَآ إِيمَـٰنُهَآ إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ…
“Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya, selain kaum Yunus…”

Taubat bukan sekadar ritual pribadi, tapi bisa menjadi penyelamat kolektif ketika dilakukan secara sosial dan sistemik.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ بَلَدَنَا آمِنًا مُطْمَئِنًّا، وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

“Ya Allah, jadikanlah negeri kami aman, tenteram, dan penuh berkah. Limpahkan rezeki kepada penduduknya dari berbagai sumber, dan jadikan kami orang-orang yang mendengar nasihat, lalu mengikuti yang terbaik darinya.”(ADS)

Show More

Related Articles

Back to top button