KEBERADAAN Kementerian Agama yang resmi didirikan pada tahun 1946 merupakan wujud solusi atas tantangan mendasar tentang hubungan agama dan negara di Indonesia. Sebagai negara yang multietnis, multiagama, dan memiliki aspirasi politik beragam, para pendiri bangsa berhasil menemukan titik temu untuk menyelaraskan keberagaman tersebut. Peran Kementerian Agama sangat penting dalam membangun dan membina kehidupan beragama, sejalan dengan kebijakan nasional.
Nama “Agama” pada kementerian ini diambil langsung dari pasal 29 UUD 1945, menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Keberadaannya menjadi bukti bahwa perbedaan agama atau keyakinan tak pernah menjadi penghalang untuk bersatu. Dengan motto “Ikhlas Beramal”, kementerian ini resmi berdiri di masa revolusi, saat cita-cita proklamasi kemerdekaan masih segar dalam perjuangan bangsa.
Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta pada November 1945 menjadi momentum penting usulan pembentukan kementerian ini. Tokoh seperti K.H.M. Saleh Su’aidy, Mohammad Natsir, dan lainnya mendorong agar urusan agama memiliki kementerian sendiri, lepas dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Presiden Soekarno, didukung Wakil Presiden Mohammad Hatta, memberikan persetujuan. Akhirnya, pada 3 Januari 1946, berdirilah Kementerian Agama melalui Penetapan Pemerintah No. 1/S.D.
K.H.A. Wahid Hasjim, Menteri Agama periode awal, menegaskan bahwa kementerian ini bertugas memperbaiki berbagai kebijakan kolonial yang telah memicu perpecahan umat. Dalam sejarah, Kementerian Agama juga berperan dalam diplomasi internasional, termasuk penyelenggaraan Misi Haji pertama Indonesia pasca-kemerdekaan pada 1948. Delegasi ini, yang dikirim atas perintah Bung Hatta, berhasil membawa simbol Merah Putih berkibar di Tanah Suci.
Tak hanya itu, perhatian Bung Hatta terhadap pelaksanaan ibadah haji dan pengelolaan zakat juga sangat besar. Beliau pernah mengusulkan kepada Kerajaan Arab Saudi penataan ulang kawasan Masjidil Haram, termasuk pemisahan jalur sa’i di Safa-Marwa agar lebih teratur. Gagasannya juga menjadi inspirasi bagi lahirnya Undang-Undang Zakat di Indonesia.
Pidatonya di Banda Aceh tahun 1970 menyoroti pentingnya pengelolaan zakat untuk mengentaskan kemiskinan, sejalan dengan pasal 34 UUD 1945. Hatta menyarankan zakat tidak hanya disalurkan untuk bantuan langsung, tetapi juga untuk pembangunan sumber ekonomi baru.
Sebagai seorang Pancasilais yang saleh, Bung Hatta memberi teladan moral yang terus menjadi inspirasi. Beliau selalu hadir dalam perayaan hari besar agama dan mendukung penuh peran Kementerian Agama dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Pesannya tentang menjaga kesucian Al-Qur’an menjadi penegas komitmennya terhadap kehidupan beragama yang bermartabat.
Kementerian Agama kini menjadi simbol pengamalan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui tugasnya yang melayani seluruh agama, kementerian ini berperan penting dalam memperkuat moral politik nasional dan menjaga persatuan bangsa.