Opini

Media Sosial dan Propagasi Aib

Dr. ME Fuady, M.Ikom (Dosen Fikom Unisba, Pengamat Komunikasi Politik)

DALAM  tradisi keagamaan, membincangkan aib, cela maupun kekurangan, bukanlah perkara sepele. Larangannya ditegaskan secara jelas oleh agama. Allah dan Nabi menekankan bahwa membuka aib orang lain maupun mengumbar aib diri sendiri merupakan tindakan tercela yang membawa konsekuensi moral sekaligus spiritual.

Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Hujurat ayat 12)

Aib orang bila diceritakan kepada orang lain, menjadi ghibah. Bila tidak sesuai fakta, ia menjadi fitnah. Sementara aib diri sendiri yang diumbar kepada publik digolongkan sebagai dosa yang tidak terampuni, sebagaimana ancaman terhadap al-mujahirun, orang-orang yang menampakkan dan membanggakan maksiat.

Nabi memberikan peringatan keras bagi orang yang justru mengumbar dosanya sendiri:
“Setiap umatku akan diampuni kecuali al-mujahirun, yaitu orang yang menampakkan maksiatnya.”
(HR. Bukhari dan HR. Muslim)

Dalam kajian opini publik, curahan hati kepada satu atau dua orang terpercaya termasuk opini privat, wilayah komunikasi yang memang tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik. Namun ketika curhat yang bersifat sensitif dan berisi aib kemudian diumbar dari ruang privat ke ruang publik, hal itu berpotensi merusak marwah diri maupun keluarga.

See also  Rahasia Keberhasilan Dakwah pada Dimensi Hikmah

Tanpa disadari, seseorang sering melukai kehormatannya sendiri saat menceritakan aib diri atau orang lain. Padahal prinsip menutup aib merupakan janji perlindungan. Siapa yang menjaga kehormatan orang lain, Allah akan menjaga kehormatannya di dunia dan akhirat.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Sering pula seseorang yang merasa dirinya sebagai korban dari perlakuan orang lain, lingkungan atau sistem, kemudian merasa berhak membicarakan aib. Perasaan paling tersakiti sebagai korban kerap membuat seseorang terjatuh pada tindakan membuka aib. Lebih celakanya lagi, orang lain yang mendapat cerita meluaskan tindakan sebagai pihak “si paling tahu”, yang menyebarkan cerita kepada orang lainnya seolah itu faktual.

Seperti beberapa waktu lalu, netizen digegerkan oleh kisah seorang ibu muda yang tampil di sebuah stasiun televisi swasta nasional. Ia menceritakan persoalan rumah tangga kepada seorang ustaz sebagai narasumber. Wajah ibu tersebut tidak diblur, cerita disampaikan dengan dramatis, ditayangkan di televisi nasional, walhasil viral. Belakangan diketahui bahwa ceritanya tidak faktual. Namun jejak digital sudah terlanjur tersebar. Wajahnya dilihat jutaan orang, keluarganya menjadi pembicaraan, dan narasi rumah tangga itu menjadi konsumsi publik yang sulit dikendalikan.

See also  Tokoh Masyarakat Digandeng untuk Tingkatkan Kepedulian Kesehatan Jantung

Di jaman now, media sosial menjadi medium tercepat dalam propagasi atau penyebaran aib. Bentuknya beragam seperti direct message, kolom komentar, unggahan video dan konten yang dibungkus narasi curhat. Fenomena merasa bangga bercerita tentang aib pun semakin marak.

Platform seperti TikTok turut memperkuat tren tersebut. Banyak warganet membuka aib sendiri, aib keluarga atau aib orang lain dengan santai. Karena durasi video terbatas, kisah aib bahkan dibagi menjadi beberapa bagian (part), membuatnya seperti sebuah serial drama China. Konten yang seharusnya tabu berubah menjadi hiburan massal dan disebarkan berulang oleh algoritma.

Dosa Jariyah

Jika ditelaah lebih jauh, perilaku semacam ini berpotensi menjadi dosa jariyah, yaitu dosa yang terus mengalir selama konten tersebut beredar, dilihat, dibagikan atau disukai orang lain.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana ruang digital membentuk budaya komunikasi baru ketika batas antara ranah privat dan publik menjadi kabur. Dalam teori komunikasi digital, platform media sosial disebut sebagai amplifier of human behavior, penguat perilaku manusia. Apa pun kecenderungan kita, baik maupun buruk, akan diperbesar, dipertontonkan dan ditiru oleh pengguna lain. Ketika budaya membuka aib dianggap lumrah, perilaku tersebut berpotensi menjadi tren yang direplikasi secara massif.

See also  Self-Fulfilling Prophecy dan Prasangka kepada Tuhan

Media sosial bekerja dengan logika algoritma, bukan etika. Yang viral adalah konten yang paling memancing emosi. Cerita aib dan drama personal menjadi salah satu konten paling mudah menyebar karena menggugah rasa ingin tahu publik. Banyak orang akhirnya terjebak. Konten yang awalnya diniatkan sebagai curhat berubah menjadi konsumsi massa yang tak terkendali.

Dari perspektif etika komunikasi, tindakan membuka aib di ruang publik adalah kegagalan mengelola pesan. Komunikasi bukan hanya soal apa yang disampaikan tetapi juga di mana, kepada siapa dan dengan dampak seperti apa. Mengabaikan konteks membuat media sosial berubah menjadi ruang eksploitasi diri, self-exposure berlebihan yang pada akhirnya melukai diri sendiri maupun orang lain.

Kita perlu memahami bahwa ruang digital menyimpan jejak. Apa pun yang diposting, bahkan setelah dihapus, tetap berpotensi disimpan, diduplikasi atau disalahgunakan untuk merusak reputasi. Propagasi aib bukan hanya persoalan moral tetapi juga persoalan keamanan digital dan kesehatan mental.

Etika menutup aib sebagaimana diajarkan agama sejatinya adalah pelajaran luhur tentang menjaga martabat manusia, baik diri sendiri maupun orang lain. Dalam konteks komunikasi modern, menutup aib berarti menjaga ruang digital agar tidak menjadi lingkungan yang toksik dan budaya saling menjatuhkan. Di tengah dunia yang semakin terbuka, kemampuan menjaga privasi menjadi akhlak baru yang perlu dipelajari ulang.**

Show More

Related Articles

Back to top button