Opini

Menelusuri Makna Jihad Para Santri

Drs. Abdurahman Rasna, MA (Anggota Komisi Dakwah MUI Pusat, Pengasuh Ponpes di Banten)

SETIAP 22 Oktober kita memperingati Hari Santri Nasional dengan penghargaan dan syukur. Tahun ini, tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” mengapresiasi peran santri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kontribusi para Ulama seperti KH Ahmad Dahlan dengan mendirikan ormas Muhammadiyyah (18 November 1912 di Yogyakarta), KH. Mas Abdurrahman bin K Mas Jamal dengan mendirikan ormas Mathla’ul Anwar (10 Juli 1916 di Menes Banten) dan KH Hasyim Asy’ari dengan mendirikan ormas Nahdhatul ‘Ulama (31 Januari 1926 di Surabaya). Salah satu kontribusi penting para ulama adalah Resolusi Jihad yang digagas KH Hasyim Asy’ari sebagai tonggak semangat perjuangan bangsa.

Makna santri secara umum adalah pribadi yang beribadah secara baik. Oleh karena itu, tanggung jawab santri sangat besar, yaitu menggantikan peran kiai dalam membimbing umat dan menjaga keutuhan bangsa apabila para kiai telah wafat.

Dalam kitab Alfiyah karya Ibnu Malik, terdapat bait yang menggambarkan makna kesiapan ini:

وَمَا يَلِـــىْ الْـمُضَافَ يَــأْتِى خَلَفَا – عَنْهُ فِى اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا حُذِفَا

Sebagai Mudlaf Ilaih, santri harus siap menggantikan posisi Mudlaf, yaitu menggantikan kiai apabila telah tiada.

Dahulu, para kiai berjuang dengan mengangkat senjata melawan penjajah melalui Resolusi Jihad, kini santri berjuang dengan mengangkat pena dan memanfaatkan seluruh fasilitas penyebaran ilmu,terutama ilmu agama untuk melawan kebodohan dan kemunduran agama dan bangsa.

Jika pada zaman dahulu perjuangan dilakukan melalui jalur fisik, seperti pada peristiwa Resolusi Jihad maka di era kini, para santri dituntut untuk berjuang dengan cara yang lebih relevan yaitu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua ini dilakukan untuk melawan segala bentuk kebodohan dan kemunduran yang dapat mengancam agama dan bangsa.

Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِيْ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?.” (QS At-Taubah ayat 122)

See also  Presiden Trump dan Mistifikasi Tragedi Los Angeles

Perjuangan untuk meraih kemerdekaan tidak hanya terbatas  peperangan fisik semata.
Perjuangan intelektual melalui pengembangan ilmu pengetahuan juga sangatlah penting.Sebab, hakikat kemerdekaan tidak hanya membebaskan masyarakat dari penjajahan fisik semata, melainkan juga membebaskan mereka dari belenggu kebodohan yang dapat menghambat kemajuan bangsa.

Arti Jihad

Secara bahasa, jihad berasal dari kata jahd yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan.

Dalam konteks yang lebih luas, makna jihad tidak hanya terbatas pada perjuangan fisik melawan musuh belaka, namun juga mencakup upaya melawan godaan setan dan hawa nafsu yang ada dalam diri manusia.
Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam hadits:

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ

Artinya,“Kita pulang dari pertempuran yang kecil menuju pertempuran yang besar.” (HR  Ad-Dailami).

Meski begitu, jihad bukan hanya melulu berarti peperangan. Jihad mencakup segala bentuk usaha keras untuk kebaikan, seperti mendakwahkan Islam, berdiskusi mencari kebenaran, berkarya untuk umat, dan melawan ketidakadilan. Mufasir terkemuka Imam Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani menuturkan:

وَيُسْتَدَلُّ بِالْآيَةِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَأْثُوْرِ عَلَى عَظْمِ جِهَادِ الْعُلَمَاءِ لِأَعْدَاءِ الدِّينِ بِمَا يُوْرِدُوْنَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْأَدِلَّةِ

Artinya,“Dan ayat ini dapat dijadikan dalil terhadap cara yang telah disebutkan, perihal agungnya jihad para ulama dalam memerangi musuh-musuh agama, yaitu dengan cara menyampaikan argumen-argumen yang mereka kemukakan.”

Jihad dalam Islam semata-mata merupakan wasilah (perantara) untuk mencapai tujuan utama, yakni memberikan hidayah (petunjuk) bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, metode penyampaian ilmu seperti berdakwah dan mengembangkan ilmu pengetahuan jauh lebih efektif dan dianjurkan dibandingkan dengan peperangan.

See also  Metode Dakwah Bil Kitabah (Tulisan)

Syekh Bakri bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menyebutkan dalam kitabnya Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin:

وَوُجُوْبُ الْجِهَادِ وُجُوْبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ إِذِ الْمَقْصُوْدُ بِالْقِتَالِ إِنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةِ وَمَا سِوَاهَا مِنَ الشَّهَادَةِ وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُوْدٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيْلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنَ الْجِهَادِ

Artinya,“Kewajiban jihad adalah wasilah bukan tujuan karena tujuan perang aslinya adalah untuk memberikan petunjuk kebenaran. Dengan begitu, maka membunuh orang-orang kafir bukanlah tujuan yang sebenarnya, sehingga seandainya hidayah bisa disampaikan dan dihasilkan dengan cara menunjukan dalil-dalil tanpa adanya peperangan maka hal ini lebih utama daripada berperang.”

Oleh karena itu, menifestasi jihad santri di masa kini ialah dengan menyebarluaskan ilmu agama yang diperolehnya untuk mencerdaskan masyarakat dan membentengi mereka dari pengaruh ideologi yang menyimpang.
Sebagaimana tentara dibekali keterampilan militer, santri juga harus dibekali ilmu agama yang mendalam di bawah bimbingan para kiai.

Tugas santri masa kini adalah “berperang” dalam menyebarkan ilmu yang diperoleh kepada masyarakat luas agar kebodohan dan penyesatan ideologi agama dapat ditepis. Sama seperti tentara yang mempersiapkan diri berperang dengan kemampuan dan senjata, santri harus membekali diri dengan ilmu agama yang kuat dan kompeten dari para kiai.

Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munirnya, beliau mengatakan:

يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ المَقْصُوْدُ مِنْ التَّفَقُّهِ وَالتَّعَلُّمِ دَعْوَةَ الخَلْقِ إِلَى الحَقِّ، وَإِرْشَادَهُمْ إِلَى الدِّيْنِ القَوِيْمِ وَالصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ

Artinya, “Maksud dari memahami dan mempelajari ilmu agama harusnya adalah mengajak masyarakat kepada kebenaran dan membimbing mereka kepada agama yang lurus dan ajaran yang benar.”

Peringatan Hari Santri Nasional bukan hanya seremoni mengenang perjuangan masa lalu tetapi ajakan nyata untuk melanjutkan perjuangan demi menegakkan agama dan bangsa.

See also  Menengok Krisis Kemanusiaan

Dalam semangat itu, mari renungkan syair “Sifate Murid Ingkang Bagus” yang mengajarkan lima sifat mulia bagi santri dan siapa saja yang mengharapkan kebaikan serta keberkahan.

Pertama, berbaik sangka kepada guru dan mencontoh akhlak mulianya. Berprasangka positif kepada guru adalah fondasi penting dalam menuntut ilmu. Dengan meneladani akhlak mulia guru, kita tidak hanya mendapatkan ilmu secara formal tapi juga membentuk pribadi yang beradab dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

Kedua, melaksanakan perintah guru dengan ketulusan hati. Mengikuti instruksi guru bukan sekadar kewajiban formal semata tetapi harus datang dari keikhlasan. Ketulusan ini menjadikan setiap perbuatan kita bernilai ibadah dan membawa manfaat, tidak hanya bagi diri kita sendiri tetapi juga bagi umat.

Ketiga, menjauhi maksiat dan taat pada syariat Islam. Santri sejati harus senantiasa menjaga kebersihan hati dan jiwa dengan menaati ajaran Islam secara menyeluruh. Menjauhkan diri dari perbuatan maksiat adalah bagian dari menjaga diri agar selalu diridhai Allah SWT.

Keempat, menerima nasihat guru dengan sikap tawadhu dan menahan diri. Sikap rendah hati dan kesanggupan membuka hati untuk menerima koreksi sangat penting agar kita terus belajar dan memperbaiki diri. Jangan sampai rasa sombong atau membangkang menghalangi proses pembelajaran yang membawa kita kepada kebaikan.

Kelima, menghormati guru serta selalu mendoakan kebaikannya. Hormat dan doa kepada guru merupakan bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanan yang telah diberikan dalam mendidik dan membimbing kita. Doa yang tulus menjadi sebab keberkahan ilmu yang kita peroleh.

Kelima sifat mulia tersebut bukan sekadar cermin akhlak seorang santri, melainkan jalan menuju insan yang berilmu dan berakhlak luhur.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan atas perjuangan kita. Amin Ya Rabbal Alamin.

Show More

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button