Mengungkap Rahasia dan Keutamaan Alquran Bagi Kemaslahatan Manusia (1)
Oleh Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag
ULUMUL Qur’an adalah jendela pengetahuan yang membuka tabir hakikat wahyu. Ia tidak sekadar rangkaian ilmu tetapi juga perjalanan ruhani menuju pemahaman mendalam tentang firman Allah. Dalam sinarnya, hati digugah, akal diasah, dan jiwa disucikan. Segala ruang lingkupnya, dari definisi hingga tafsir, adalah kilauan mutiara yang memancarkan cahaya abadi.
“ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
“Itulah Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Firman ini menegaskan Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran mutlak, menuntun manusia menuju jalan ketakwaan. Maka, ilmu yang membahasnya haruslah menyentuh hakikat, baik dari aspek tekstual maupun spiritual. Secara ringkas Ulum al Qur’an ini melingkupi berbagai pembahasan:
Definisi dan Nama-nama Al-Qur’an
Al-Qur’an bermakna “bacaan yang sempurna”, nama yang mencerminkan keagungannya sebagai pedoman hidup. Ia dikenal pula sebagai Al-Furqan, pembeda antara hak dan batil, serta Al-Huda, petunjuk bagi yang mencari kebenaran. Dalam setiap nama-Nya tersirat makna yang menggugah kesadaran manusia tentang kebesaran Allah.
“إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ”
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus.”(QS. Al-Isra: 9)
Ketika nama-nama ini direnungkan, ia menuntun jiwa kepada refleksi: sejauhmana Al-Qur’an telah menjadi pelita dalam perjalanan hidup kita?
Tarikh Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, dalam dua fase: Makkiyah dan Madaniyah. Ini adalah bentuk hikmah ilahi, agar manusia mampu memahami dan mengamalkan ayat-ayatnya secara bertahap.
“وَقُرۡءَانٗا فَرَقۡنَٰهُ لِتَقۡرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكۡثٖ وَنَزَّلۡنَٰهُ تَنزِيلٗا”
“Dan (Al-Qur’an itu) Kami turunkan secara berangsur-angsur agar engkau membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS. Al-Isra: 106)
Turunnya Al-Qur’an secara gradual adalah simbol kasih sayang Allah. Ia memberi waktu kepada umat manusia untuk mencerna hikmah dan membentuk kesadaran beriman.
Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul adalah ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan peristiwa tertentu atau menjawab pertanyaan umat. Pemahaman tentang asbabun nuzul memperkaya wawasan kita terhadap konteks wahyu, sehingga mampu menangkap makna lebih mendalam.
Sebagai contoh, turunnya ayat tentang tayamum (QS. An-Nisa: 43) terjadi saat umat Islam dalam perjalanan dan menghadapi kekurangan air. Melalui ayat ini, Allah mempermudah umat-Nya tanpa mengurangi kesakralan ibadah.
Asbabun Nuzul adalah jembatan antara wahyu dan realitas. Ayat-ayat yang diturunkan adakalanya terkait dengan peristiwa tertentu sehingga memberikan konteks yang mendalam. Misalnya, perintah menunaikan zakat atau larangan riba, keduanya muncul dari kebutuhan masyarakat saat itu.
Konteks seperti ini menunjukkan betapa dinamisnya wahyu dalam merespons kebutuhan umat pada setiap zaman. Asbabun nuzul juga mencegah kesalahan dalam memahami ayat dengan cara yang keluar dari konteks aslinya.
“يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ”
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.’” (QS. Al-Baqarah: 189)
Melalui asbabun nuzul, pembaca diajak merenungi relevansi Al-Qur’an dalam kehidupan, seolah ayat-ayatnya terus berbicara di setiap zaman.
“وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۚ فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ”
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad) kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(QS. An-Nahl: 43)
Pengumpulan dan Penetapan Mushaf
Pengumpulan Al-Qur’an dari lisan ke mushaf adalah salah satu bentuk penjagaan Allah terhadap wahyu-Nya. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, mushaf standar disusun untuk menyatukan umat.
“إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ”
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.”(QS. Al-Hijr: 9)
Ini adalah bukti nyata bahwa Al-Qur’an terjaga keasliannya hingga akhir zaman, menjadi mercusuar kebenaran bagi seluruh umat manusia.
I’jaz Al-Qur’an
Keistimewaan Al-Qur’an terletak pada bahasanya yang tak tertandingi, ilmu yang melampaui zaman, dan kebenarannya yang abadi. Dalam aspek bahasa, keindahannya menggugah hati, sementara kandungannya melingkupi seluruh dimensi kehidupan.
“وَإِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن مِّثۡلِهِۦ”
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah yang semisal dengannya.”(QS. Al-Baqarah: 23)
Keajaiban ini mengajak manusia merenungi kebesaran Sang Pencipta, yang menurunkan wahyu sempurna sebagai pelita kehidupan.
Qira’at dan Ragamnya
“وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلٗا”
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)
Dalam keindahan bahasa Al-Qur’an, terhampar ragam qira’at yang tidak hanya menjaga orisinalitas wahyu, tetapi juga memuliakan fleksibilitas makna tanpa menyimpang dari keesaan maksudnya. Qira’at adalah warisan oral yang diwariskan oleh para sahabat Nabi Muhammad ﷺ, yang mendengar langsung dari lisan beliau. Di antara qira’at yang mutawatir adalah qira’at Imam ‘Ashim, Imam Nafi’, Imam Ibnu Kathir, dan lainnya.
Keanekaragaman ini tidak pernah mengurangi keharmonisan Al-Qur’an. Sebaliknya, ia menjadi bukti keajaiban wahyu yang mencakup segala dialek Arab, memudahkan pemahaman umat dari beragam wilayah.
Tartil, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, tidak hanya berarti membaca perlahan, tetapi juga menghayati setiap makna. Dalam suasana khusyu, tartil menjadi penghubung antara hati manusia dan firman Ilahi. Keberagaman qira’at menegaskan keluasan rahmat Allah bagi semua umat manusia.
Tafsir dan Takwil
“أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا”
“Maka tidakkah mereka menghayati (isi) Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka akan menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)
Dalam tradisi keilmuan Islam, tafsir dan takwil adalah dua cara utama untuk memahami Al-Qur’an. Tafsir adalah usaha untuk menjelaskan makna literal ayat, menggunakan ilmu bahasa, sejarah, dan hukum Islam. Takwil, di sisi lain, menyentuh dimensi batiniah, menggali pesan spiritual dan filosofis di balik teks.
Ayat di atas mengundang umat manusia untuk bertadabbur, mendalami harmoni pesan-pesan Al-Qur’an yang bebas dari kontradiksi. Dalam perenungan tafsir dan takwil, pembaca menemukan pesan yang abadi, relevan dengan zaman apa pun, menjawab keraguan, dan membimbing pada kebenaran.
Makkiyah dan Madaniyah
“هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦۚ”
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama.”(QS. At-Taubah: 33)
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dalam dua fase: Makkiyah dan Madaniyah. Fase Makkiyah menyoroti tauhid, akidah, dan perjuangan dalam menghadapi penentangan. Ayat-ayatnya pendek, berirama kuat, menggugah hati dan semangat. Sedangkan fase Madaniyah lebih banyak membahas hukum, interaksi sosial, dan pengaturan hidup bermasyarakat.
Perbedaan karakteristik ini menunjukkan bagaimana wahyu menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat, memberi petunjuk dalam segala kondisi. Rasulullah ﷺ, sebagai penerima wahyu, menjalani fase ini dengan hikmah, menunjukkan bagaimana Islam berkembang dari perjuangan individu menjadi peradaban global.
Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih
“هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ”
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas maksudnya); itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar maknanya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 7)
Pengetahuan ayat al Muhkam dan al Mutasyabih membantu kita memahami struktur Al-Qur’an sebagai kitab yang penuh hikmah, di mana terdapat ayat-ayat yang mudah dipahami oleh semua kalangan dan ayat-ayat yang menguji keimanan serta intelektualitas manusia. Selain itu menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan ketundukan dalam memahami wahyu. Ayat-ayat mutasyabihat mengajarkan bahwa tidak semua hal dapat dipahami sepenuhnya oleh akal manusia.
Ayat-ayat muhkamat mengajarkan kepastian, keadilan, dan ketegasan dalam menjalani agama, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat mengajarkan kerendahan hati, keimanan, dan kesediaan untuk menerima misteri ketuhanan. Kombinasi keduanya membentuk harmoni antara logika dan spiritualitas, yang menjadi inti dari pengalaman keberagamaan yang sejati.
Nasikh dan Mansukh
“مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ”
“Ayat mana saja yang Kami hapuskan atau Kami jadikan (manusia) lupa, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang serupa dengannya.” (QS. Al-Baqarah: 106)
Nasikh dan mansukh adalah prinsip yang menunjukkan dinamika syariat Islam dalam merespons kondisi umat. Ayat yang mansukh tidak berarti hilang nilainya, melainkan digantikan oleh hukum yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman. Ini mencerminkan sifat progresif Islam yang selalu relevan dalam segala situasi.
Dengan memahami nasikh dan mansukh, umat Islam belajar untuk menghargai fleksibilitas hukum Allah dan kedalaman hikmah di balik setiap perintah.(bersambung)