Menikah Karena Kerinduan untuk Pulang
Dr. Asep Dudi Suhardini, M.Ag (Wadek 1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisba)

PERNIKAHAN bukan sekadar peristiwa sahnya hubungan dua insan di hadapan agama, adat, dan negara, melainkan sebuah ikatan suci yang memadukan dua jiwa dengan seluruh warna kehidupannya. Dalam tenangnya malam dan riuhnya siang, pernikahan menjadi wadah bagi kasih untuk tumbuh, ujian untuk mendewasa, dan rahmat untuk terus berharap.
Di balik gaung ijab kabul, terhampar tanggung jawab yang membentang seumur hidup. Pernikahan menuntun dua hati untuk saling belajar menata perbedaan, saling menguatkan di kala rapuh, saling meredam amarah, dan saling menumbuhkan harap. Ia bukan hanya pertemuan dua tubuh, tetapi pertemuan dua keluarga, dua latar, dua cara pandang yang perlahan melebur dalam sabar, maaf, dan pengertian.
Hakikat pernikahan adalah perjalanan pulang menuju kesejatian manusia sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan. Dalam pernikahan, cinta diuji: apakah tetap berbunga meski dihempas badai persoalan, atau layu karena enggan disiram oleh pengertian dan doa. Di sinilah rumah tangga menjadi madrasah keikhlasan, di mana ego ditundukkan oleh tanggung jawab, dan nafsu ditata oleh nilai kesetiaan.
Pernikahan juga ladang pahala bagi mereka yang merawatnya dengan niat ibadah. Setiap senyum yang meneduhkan pasangan, setiap letih yang diikhlaskan demi anak-anak, setiap air mata yang jatuh dalam doa malam—semuanya bermuara pada satu keyakinan: bahwa pernikahan adalah titipan suci yang kelak dipertanggungjawabkan.
Maka, ketika lelah menghampiri, ingatlah bahwa pernikahan bukan hanya soal bahagia bersama, melainkan juga berjuang bersama. Ia bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi bagaimana saling membenahi dengan cara yang penuh hormat. Ia bukan tentang siapa yang memberi lebih banyak, tetapi bagaimana saling merasa cukup dengan apa yang ada.
Dalam hening batin, pernikahan mengajarkan manusia bahwa mencintai adalah merawat, mendidik, dan mendoakan. Dan pada puncaknya, hakikat pernikahan adalah kesadaran bahwa di antara segala manis dan getirnya, di sanalah rahasia keberkahan hidup bersemayam.
Semoga setiap rumah tangga teguh di jalan-Nya, dipenuhi ketenangan, kasih, dan rahmat yang berlimpah hingga ujung usia.
Saling Melengkapi
Manusia menikah bukan semata-mata untuk memuaskan fitrah naluriah, tetapi lebih jauh: untuk menemukan setengah diri yang melengkapi setengah yang lain. Dalam kesadaran spiritual, pernikahan adalah jawaban atas kerinduan manusia pada ketenangan yang hakiki, tempat kembali setelah lelah berkelana dalam gemuruh dunia.
Manusia menikah karena cinta tetapi cinta saja tidak cukup bila tak dibingkai tanggung jawab. Maka pernikahan hadir sebagai perjanjian luhur, bukan hanya antara dua insan, melainkan juga dengan Tuhan. Ia menambatkan rasa agar tidak liar, menuntun hasrat agar tak menjerumuskan, dan menundukkan keangkuhan diri agar mau belajar saling mengalah demi kebersamaan yang lebih mulia.
Manusia menikah karena ingin menata hidup dengan arah dan tujuan yang lebih terarah. Dalam kesendirian, manusia mudah tersesat pada hasrat duniawi, tetapi dalam pernikahan, ia memiliki penuntun, penyejuk hati, dan sahabat sejati yang bersama-sama berdoa dan berjuang.
Manusia menikah pula karena di dalamnya ada ladang kebajikan yang terus bersemi. Anak-anak lahir sebagai amanah, kasih sayang menjadi benteng dari keretakan moral, dan keluarga menjadi benteng pertama peradaban. Lewat pernikahan, generasi dibentuk bukan sekadar dengan darah dan gen, tetapi juga dengan nilai, akhlak, dan teladan yang diwariskan.
Pada akhirnya, manusia menikah untuk meraih sakinah—ketenangan yang bertumbuh dari rahmat dan kasih sayang Ilahi. Ia menapaki jalan hidup yang lebih tertata, di mana suka dan duka dirajut bersama, di mana air mata dan tawa menyatu dalam kesyukuran yang berulang.
Maka, bila ditanya mengapa manusia menikah, jawaban paling dalam adalah karena fitrah, cinta, tanggung jawab, dan kerinduan untuk pulang—pulang ke pangkuan makna sejati hidup yang saling melengkapi, saling menopang, dan saling menuntun menuju ridha-Nya.
Usai ijab kabul terucap, ketika saksi mengamini dan doa dipanjatkan, barulah babak sejati pernikahan bermula. Pasca akad nikah, yang tersisa bukan lagi sekadar gemuruh rasa bahagia, melainkan panggilan untuk membuktikan janji. Janji yang singkat di lisan, namun panjang di jalan kehidupan.
Pasca akad nikah, dua insan yang tadinya hanya saling mengenal dari kejauhan kini harus membiasakan diri tidur berdampingan, berbagi ruang dan waktu, meredam rindu dengan peluk, dan meredam ego dengan sabar. Di sinilah cinta yang dulu mendebarkan perlahan berubah wujud menjadi pengertian yang mendewasakan.
Pasca akad nikah, realitas datang mengetuk: kebiasaan berbeda, cara bicara beragam, selera tak selalu sama. Namun di sanalah indahnya—sepasang hati belajar bahwa perbedaan bukan jurang yang memisah, tetapi jembatan untuk saling melengkapi.
Pasca akad nikah, tanggung jawab tumbuh di bahu. Nafkah lahir batin, perlindungan, pendidikan anak, dan kesejahteraan rumah tangga menjadi kewajiban bersama, ditopang dengan saling menghargai dan memaafkan. Setiap keputusan tak lagi sekadar aku, tetapi kita.
Pasca akad nikah, doa semakin rajin dipanjatkan. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk pasangan, anak-anak, dan keluarga besar. Di setiap sujud, terucap pinta agar rumah tangga teguh berdiri di atas nilai iman dan kasih sayang yang tak putus.
Pasca akad nikah, pernikahan menjelma ladang jihad: melawan kemalasan, menahan amarah, menepis godaan, menumbuhkan syukur meski rezeki belum selalu berlimpah. Inilah medan tempur sunyi yang hanya pejuang rumah tangga yang tahu rasanya.
Dan bila kelak uban menua, anak-anak beranjak pergi membangun hidupnya masing-masing, rumah yang dulu riuh akan menjadi saksi bisu betapa indahnya pernikahan yang dijaga sejak pasca akad nikah hingga maut menjemput.
Maka pasca akad nikah, rawatlah cinta dengan iman, siramilah kasih dengan sabar, dan pupuklah rindu dengan doa—agar bahagia tak sekadar singgah, melainkan menetap hingga akhir usia.
Tiada rumah tangga yang terbebas dari ujian. Seindah apa pun awalnya, sehangat apa pun cintanya, kehidupan berumah tangga selalu membawa tantangan sebagai penguji kesetiaan, penguat kasih, sekaligus peneguh janji yang pernah diikrarkan di hadapan saksi dan Tuhan.
Ujian rumah tangga datang dalam rupa yang beragam. Kadang berupa sempitnya rezeki, kadang hadir sebagai penyakit yang melemahkan raga, kadang berupa salah paham yang menodai rasa percaya, atau hadir sebagai perbedaan pendapat yang membakar emosi. Semua itu seolah mendesak manusia untuk memilih: menyerah pada ego, atau berjuang bersama dengan penuh kesabaran.
Di situlah letak kemuliaan pernikahan: bukan terletak pada megahnya pesta atau mewahnya rumah, melainkan pada kuatnya dua hati menahan badai, saling menenangkan kala gelisah, dan saling menggenggam saat jatuh bangun merenda harapan.
Ujian rumah tangga kadang datang dari luar: godaan dunia yang memikat hati, bisikan orang ketiga yang meretakkan kepercayaan, atau tekanan keluarga besar yang menuntut banyak hal. Namun lebih kerap ujian muncul dari dalam: rasa bosan yang merayap diam-diam, gengsi meminta maaf, malas memperbaiki diri, dan lalai menjaga komunikasi yang tulus.
Mereka yang bertahan bukanlah yang bebas dari masalah, melainkan yang rela menjadikan masalah sebagai jembatan untuk saling mendewasa. Mereka belajar memaafkan sebelum diminta maaf, belajar mendengar sebelum menghakimi, dan belajar mencintai meski luka masih terasa.
Setiap ujian rumah tangga sejatinya adalah cara Tuhan menegur: agar suami istri kembali saling bergandeng tangan, merunduk dalam doa, dan memohon bimbingan-Nya. Sebab tanpa rahmat-Nya, betapa rapuhnya hati manusia.
Maka ketika badai ujian datang, jangan biarkan ia merobohkan istana cinta yang telah dibangun susah payah. Jadikanlah sabar dan doa sebagai pelita, jadikan komunikasi sebagai jalan penawar, dan jadikan saling percaya sebagai pondasi yang tak mudah retak.
Karena di balik setiap ujian rumah tangga, tersimpan pahala, penguatan jiwa, dan hikmah yang menumbuhkan cinta menjadi lebih dewasa dan mendalam—sebuah cinta yang tak lagi sekadar rasa, tetapi telah menjelma menjadi ibadah.
Setelah melewati akad yang suci, menapaki jalan panjang bersama, dan diuji dengan berbagai badai kehidupan, setiap keluarga pada akhirnya berjalan menuju satu tujuan: berlabuh pada dermaga yang bernama sakinah, mawaddah, wa rahmah—ketenangan, kasih sayang, dan rahmat yang tak pernah putus.
Keluarga tidak hanya berlayar di samudra dunia yang fana; di balik hiruk pikuk menjemput nafkah, membesarkan anak, dan menua bersama, keluarga sejatinya sedang menyiapkan bekal untuk pulang ke kampung abadi: ridha dan surga-Nya. Itulah pelabuhan tertinggi yang ingin disandari oleh setiap rumah tangga yang dibangun di atas pondasi iman.
Keluarga akan berlabuh pada kesejatian bila sejak awal layar diarahkan pada kompas yang benar: keikhlasan, pengorbanan, dan kebersamaan. Di sinilah pentingnya suami dan istri senantiasa menjaga arah—menjaga niat agar tetap ibadah, menjaga tutur kata agar tetap lembut, menjaga hati agar tetap setia, dan menjaga anak-anak agar tumbuh dalam benteng nilai yang kokoh.
Keluarga akan berlabuh pada ketenteraman bila di setiap lelah ada sabar, di setiap jatuh ada saling menopang, dan di setiap perselisihan ada ruang untuk saling memaafkan. Sebab rumah tangga bukan untuk mencari siapa yang menang, tetapi bagaimana bisa saling memeluk meski salah dan luka pernah singgah.
Keluarga akan berlabuh pada ridha-Nya bila setiap detik kebersamaan dihayati sebagai ladang amal. Menafkahi istri adalah sedekah, mendidik anak adalah jihad, membahagiakan pasangan adalah ibadah. Dalam setiap tawa, ada doa; dalam setiap air mata, ada pengharapan.
Dan pada akhirnya, keluarga akan berlabuh di hadapan Tuhan, mempertanggungjawabkan setiap janji, setiap peran, setiap kasih yang pernah dititipkan. Bila layar dijaga tetap lurus, insya Allah rumah tangga menjadi perahu kokoh yang membawa seluruh penumpangnya selamat, menepi di dermaga surga yang dijanjikan.
Maka jagalah layar, pastikan arah, perbaiki dayung bila retak, tambal perahu bila bocor, dan kuatkan tali kasih agar tak putus di tengah ombak. Sebab keluarga tak hanya berlayar untuk hari ini, tetapi berlayar untuk sebuah kepulangan—menuju pelabuhan damai di dunia dan akhirat.
Rumah tangga dalam Islam bukan sekadar ikatan lahir, tetapi jalinan batin yang dijiwai oleh ayat-ayat cinta Ilahi. Al-Qur’an memaparkan betapa sakralnya pernikahan, betapa luhur kedudukan suami istri, serta betapa berharganya keluarga sebagai taman pertama pendidikan iman dan akhlak. Berikut beberapa ayat yang menjadi suluh penuntun, peneduh hati, dan pengingat arah bagi keluarga yang mendambakan sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Allah Ta‘ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini adalah fondasi spiritual rumah tangga: suami dan istri diciptakan sebagai pasangan penenteram jiwa, diikat dengan mawaddah (cinta mendalam) dan rahmah (kasih sayang luas) yang lahir dari rahmat Allah.
Allah berfirman:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain sebagai suami istri, dan mereka (isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kokoh.” (QS. An-Nisa: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa akad nikah bukan sekadar kontrak sosial, melainkan mitsaqan ghalizha —ikatan yang kokoh, berat tanggung jawabnya, dan sakral di sisi Allah.
Allah Ta‘ala menasihati:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
Ayat ini menanamkan akhlak luhur dalam rumah tangga: saling menghormati, memperlakukan pasangan dengan baik, bersabar dalam perbedaan, dan meyakini bahwa di balik kekurangan pasti ada kebaikan yang Allah titipkan.
Allah Ta‘ala mengingatkan:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15)
Dan juga:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Keluarga adalah fitnah (ujian) sekaligus ziinah (perhiasan). Harta dan anak-anak yang melalaikan bisa menjerumuskan, tetapi bila dijaga dalam koridor iman, mereka menjadi ladang pahala yang terus mengalir.
Al-Qur’an mengajarkan doa indah:
> رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami penyejuk mata (qurrata a‘yuni), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Doa ini menjadi zikir keluarga beriman: memohon pasangan dan anak-anak yang menentramkan pandangan, sekaligus memohon kemampuan untuk memimpin diri dan keluarga menuju ketakwaan.
Ayat-ayat cinta inilah pelita penuntun bagi keluarga Islam. Dengan memahami, menghayati, dan mengamalkannya, rumah tangga bukan hanya sekadar tempat bernaung, tetapi taman yang menumbuhkan kasih, ladang pahala, dan titian menuju surga-Nya.
Semoga keluarga yang dibangun selalu dirahmati, dijaga dalam sabar, diliputi mawaddah wa rahmah, dan kelak berlabuh di pelabuhan abadi: ridha Allah dan surga yang dijanjikan. Aamiin. (ADS)