Profile KH. Masykur
Lahir di Singosari pada tahun 1315 H / 1900 M. Wafat 18 Desember 1992 Dimakamkan di Pemakaman Keluarga Pondok Bungkuk, Singosari. Pendidikan Pesantren Bungkuk-Singosari, Pesantren Sono-Sidoarjo, Pesantren Siwalan, Panji-Sidoarjo, Pesantren Tebuireng-Jombang, nyantri ke KH Cholil Bangkalan, Pesantren Jamsaren, Solo. Mempunyai Putra/Putri 1 (satu) Orang
Perjuangan/Pengabdian : Ketua NU Cabang Malang, Ketua Yayasan Unisma, Ketua Umum PBNU, Pendiri dan Panglima Barisan Sabilillah, Anggota Syou Sangkai (DPRD) sebelum masa kemerdekaan, anggota PPKI, anggota Konstituante, Wakil Ketua DPR RI, Menteri Agama, Perintis berdirinya Masjid Sabilillah Malang. Dewan Kurator Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ).
Panglima Barisan Sabilillah, Pejuang Konsisten
“Kerjakan sesuatu sampai tuntas. Sekecil apapun pekerjaan, jika ditangani secara tuntas akan sangat berarti.” Itulah sebuah prinsip yang dipegang teguh KH. Masykur. Prinsip ini kemudian sangat mempengaruhi sikap hidup kiai yang lahir di Singosari Malang pada tahun 1900 M/1315 H ini. Prinsip itu dilakukan dengan konsisten ketika dia terlibat dalam dunia kemiliteran, politik, dan ketika menangani dunia pendidikan.
Sejak masih dalam kandungan, sudah diperkenalkan dengan pengalaman spiritual. Dalam usia kandungan yang cukup tua, ibunya menunaikan ibadah haji. Padahal betapa sulitnya perjalanan haji saat itu. Pada usia sepuluh tahun, oleh orang tuanya diajak kembali ke Tanah Suci.
Ayahnya dikenal sangat anti terhadap kolonial. Karena itu, dia tidak mau menyekolahkan Masykur ke sekolah Belanda. Sekembalinya dari Tanah Suci, Masykur kecil dimasukkan Pesantren Bungkuk, Singosari.
Setelah menamatkan pendidikan di Pesantren Bungkuk, melanjutkan nyantri di Pesantren Sono, Sidoarjo, Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari Jombang melanjutkan nyantri ke KH Cholil Bangkalan, dan terakhir mondok di Pesantren Jamsaren, Solo. Pada usia 27 tahun, Masykur menikah dengan cucu Kiai Thohir, Pengasuh Pesantren Bungkuk.
Riwayat pendidikannya dimulai dari madrasah yang hanya memiliki delapan orang murid. Dijajaran Jam’iyah NU, dia terlibat dari bawah, dengan menjadi Ketua NU Cabang Malang, sebagai cabang ke-6, yang pada waktu itu merupakan kurun awal berdirinya organisasi kaum ulama sekitar 1926. Keterlibatannya dalam upacara keprajuritan juga dimulai dari bawah, yaitu menjadi anggota Barisan Pelajar (Sim Sim Tai).
Meniti seluruh karier dan pengabdian serba dari bawah itu menjadikan Masykur tampil sebagai tokoh yang matang dan disegani. Beberapa posisi puncak pun berhasil diraihnya. Di dunia pendidikan, disamping menjadi Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (UNISMA), dia juga memimpin lembaga pendidikan di kota kelahirannya. Di organisasi, pernah menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan posisi KH Abdul Wahid Hasyim, Ayahanda Gus Dur, yang wafat karena kecelakaan. Di bidang keprajuritan, KH Masykur adalah pendiri sekaligus sebagai Panglima Barisan Sabilillah yang memiliki divisi di 14 provinsi.
Demikian juga kariernya dalam dunia politik. Selain pernah menjadi anggota Syou Sangkai (DPRD) sebelum masa kemerdekaan, anggota PPKI dan anggota Konstituante, dia juga dipercaya menjadi Wakil Ketua DPR RI pada 1978-1983. Karier puncaknya dalam bidang pemerintahan, santri yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal ini ditunjuk menjadi Menteri Agama.
Menurut H. Sarwo Wibisono, Ketua I Masjid Sabilillah Malang, perjuangan dan pengabdian KH Masykur, tak mengenal lelah hingga usia senja. Sekitar tahun 1974 merintis pendirian Masjid Sabilillah bersama KH Nachrowi yang terletak di Jalan Ahmad Yani 15 Malang.
Sebagai prasasti perjuangannya masjid yang diresmikan oleh Menteri Agama, H Alamsyah Ratuprawiranegara pada 8 Juli 1980 itu diberi nama Masjid Sabilillah. “Waktu itu, beliau juga menjabat Ketua Yayasan Sabilillah,” kata Sarwo, yang masih kerabat dekat dengan KH Masykur.